Tindakan kekerasan terhadap siapapun secara legal formal tidak dibenarkan, baik oleh hukum negara, maupun oleh hukum Agama. Kita sebagai manusia pun, maksudku -manusia yang berperikemanusiaan- merasa berdosa jika melakukan penganiayaan terhadap sesama, bahkan terhadap seekor binatang sekalipun. Meski, terkadang rasa belas kasihan, rasa bersalah itu tertutupi oleh angkara murka yang meraja lela di jiwa, yakinlah bahwa ”hati nurani” setiap orang akan senantiasa mengingatkan dirinya bila ada perbuatannya yang bertentangan dengan norma-norma yang ada.
Hati nurani yang bersemayam di lubuk terdalam setiap insan, setiap saat senantiasa menyuarakan ”kebenaran” yang hakiki. Sayang, kumandang suara hati nurani lebih banyak dikubur di alam bawah sadar hingga ke dasar keniscayaan. Akibatnya, kita manusia menjadi cenderung untuk berbuat menentang hati nurani. Padahal, ”kata hati nurani”, tidak lain adalah sebuah ”memori” petunjuk yang dianugerahkan oleh Al Khaliq kepada makhluk-Nya yang kita kenal dengan sebutan ”manusia”.
Pada awal Oktober 2008, di hari ketiga Lebaran, anak saya yang masih duduk di kelas 3 SMP berpamitan pada saya untuk ”badhan” ke rumah teman sehabis shalat Maghrib. Saya sudah punya firasat tidak ”jenak”, namun saya harus bijaksana, sambil menasihatinya agar berhati-hati dan jangan lewat jalur Tertib Lantas, karena dia belum berhak punya SIM. Anak saya menjawab ”Nggih” kemudian berangkatlah dia mengendarai sepeda motor bersama teman sekelasnya yang juga bersepeda motor.
Selang kurang lebih lima belas menit, HP saya berdering, ternyata anak saya menelpon. Katanya dia kena Tilang di Pos Widowati. Saya bilang, iya sudah, berikan saja suratnya dan kamu segera pulang. Namun dijawab bahwa sepeda dan suratnya ditahan oleh petugas (Pak Polisi), dan dia disuruh pulang dengan jalan kaki. Bayangkan, jalan kaki dari Widowati ke rumah saya, jaraknya tidak kurang dari sembilan kilometer! Akhirnya, saya minta tolong tetangga untuk menjemputnya. Biar peristiwa ini jadi pelajaran berharga bagi anak saya, begitu kata saya pada istri saya di rumah.
Tetapi, ketika tetangga saya masih di perjalanan menuju posisi anak saya, saya menelepon anak saya agar menunggu di Pos akan dijemput oleh Pak Suroso. Eh, anak saya kemudian malah menjelaskan bahwa dia ketika di Pos telah ditempeleng oleh oknum petugas yang berdinas. Wah, saya jadi deg-deg sar....!
”Kalau gitu, kamu tunggu di Pos, Abah akan datang ke sana, jangan pulang dulu,” kataku. Aku lalu berpamitan pada istriku untuk menjemput anak saya. Namun istriku justru ingin ikut, ”aku ora terimo anakku ditempeleng polisi”, ujarnya dengan emosi seorang ibu. Bujukan dan rayuanku tidak berhasil mencegah keinginannya, kami jadi juga berangkat.
Sampai di Pos Polisi, ada tiga petugas di sana. Sementara itu, saat aku ”wawanrembug” dengan petugas, pandanganku menangkap beberapa warga dan pemuda di desaku ternyata sudah berada di sepanjang trotoar dekat Pos. Demi Allah, aku tidak mengajak mereka. Entah mengapa mereka (semua laki-laki) ikut menyusul.
Sebenarnya, kehadiranku di Pos ini tidak bermaksud jelek, hanya ingin menegaskan bahwa anakku tidak berbohong padaku tentang laporannya. Dan ingin meluruskan perilaku oknum petugas yang masih gemar dengan pukul-memukul, apa lagi terhadap anak-anak seusia anak laki-lakiku.
Melihat situasi dan kondisi, di mana di luar Pos belasan tetanggaku yang rata-rata masih berusia muda, aku harus mengambil sikap yang bijaksana. Apalagi, aku sendiri tidak berniat mempermalukan oknum petugas itu, baik di hadapan isteri dan anakku maupun di masyarakat. Di samping itu, aku sangat tidak suka dengan kekerasan, apalagi bila memicu aksi massa yang berujung aku dianggap memprovokasinya. Maka aku memutuskan untuk segera menyelesaikan masalah ini dengan tanpa insiden, juga tanpa ada rasa apa-apa. Malah, pada istriku, aku katakan ”kita harus berterima kasih karena Pak Polisi sudah membantu kita untuk menempeleng anak kita yang nakal. Kalau kita sendiri kan gak mentala”.
Kami lalu, pulang. Tetanggaku yang ada di sepanjang trotoar aku temui, kujelaskan bahwa anakku memang bersalah (walau sebenarnya, aku yakin, anakku tidak demikian). Mereka kuajak untuk pulang. Ternyata, kemudian baru aku tahu, mereka mengikutiku begitu mendengar bahwa anakku di ”hajar” polisi karena tidak punya SIM. Nah, inilah kalau ”telinga” mendengar dari ”mulut-kemulut”, bisa berabe, kan?
Tindak Kekerasan dan Penganiayaan
Di blog ini, aku pernah menulis tentang perilaku seorang oknum yang diberitakan oleh beberapa media diantaranya Memo Trenggalek Online Edisi 23 Juni dan Memo Kediri Edisi 24 Juni 2009.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir dalam era Reformasi, yakni tanggal 8 Januari 2002. Alangkah sangat tragis dan menyedihkan, bila sekarang masih ada aparat kepolisian yang "mungkasi" masalah dengan gaya "cowboy", gaya lama. Jangankan dalam urusan pribadi, dalam penyidikan/pencarian bukti/pengumpulan keterangan/interogasi sehubungan dengan kasus pidana pun, gaya ortodoks ini tidak pantas dan dilarang oleh Hukum. Dalam melaksanakan tugas negara, aparat kepolisian harus selalu berorientasi pada norma hukum dan norma sosial, seperti diamanatkan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang POLRI. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan serta menjunjung tinggi hak azazi manusia.
Apapun alasannya garansi terhadap perilaku bengis dari seorang aparat tidak dapat dibenarkan apalagi dibiarkan merebak. Hukum negara kita, norma-norma agama, norma-norma sosial memberikan perlindungan kepada setiap warga negara, setiap manusia.
Konvensi Tahun 1987
Satu contoh tragis pernah dialami oleh 4 mahasiswa kita di Kairo yang diduga pihak Kepolisian di sana mereka terlibat jaringan terorisme. Mereka ditanggkap di tempat kosnya 28 Juni lalu, dan karena tidak terbukti 1 Juli (tiga hari kemudian) empat mahasiswa kita itu dibebaskan. Namun demikian, ternyata menurut pengakuan mereka, polisi Kairo telah menginterogasi mereka dengan cara-cara yang tidak manusiawi, mereka ditelanjangi, dipukuli bahkan sampai disetrum. Pemerintah kita telah mengajukan keberatan atas perlakuan itu, tapi menurutku, bukan sekedar kalimat keberatan, pemerintah seharusnya bersikap lebih keras lagi dan mendesak agar pelaku penganiayaan diusut kemudian diadili.
Penyiksaan adalah tindakan yang bertentangan dengan "Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment of Punishment". Konvensi ini mulai diberlakukan tahun 1987, menegaskan - tidak ada pengecualian situasi atau apa pun...yang mungkin digunakan untuk membenarkan penyiksaan. Negara Kita dan Mesir telah merativikasinya sehingga otomatis kita terikat kewajiban untuk menegakkan konvensi tersebut.
Ada sementara kalangan yang mentolerir dengan alasan "situasi gawat darurat" untuk membenarkan cara-cara di luar perikemanusiaan. Padahal, selain adanya larangan cara-cara penyiksaan sesungguhnya tidak bisa diandalkan keberhasilannya. Pro dan kontra makin mencuat tatkala terungkap Guantanamo milik Amerika Serikat (yang telah ditutup oleh Obama) menjadi ajang penyiksaan tersangkat teroris.
Pembodohan Karakter
Oknum aparat yang memiliki Surat Keputusan dan wewenang untuk menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum, biasanya bertugas dengan berlindung di balik uniform. Berbagai dalih dan pemutarbalikan fakta dan hukum terindikasi. Masyarakat awam yang buta hukum, makin terintimidasi. Hak-hak mereka terisolasi, kebebasan untuk mencari keadilan diperangkap dalam pembodohan karakter, yang berdampak pada proses pembunuhan karakter. Kawula alit jadi korban akibat tingkah perilaku angkara murka oknum aparat.
Dalam gegap-gempitanya reformasi, marilah kita satukan langkah untuk serempak memerangi tindak kriminal - apapun bentuknya - dengan proses yang logis dan prosedural. Agar masyarakat makin dewasa dalam berpikir, makin cerdas dalam menilai, kian bijak dalam bersikap, dan jeli dalam menentukan pilihan hidup. Cinta datang bukan karena intimidasi, dan rasa hormat tidak lahir dari sebentuk angkara kebengisan. Penganiayaan dan kekerasan terhadap sesama, tidak akan menyelesaikan masalah. Kasih sayang dan senyum, niscaya akan memberikan kedamaian bagi kita semua.
(Aku Tulis Buat : Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan, maafkan Abah)
Ada sementara kalangan yang mentolerir dengan alasan "situasi gawat darurat" untuk membenarkan cara-cara di luar perikemanusiaan. Padahal, selain adanya larangan cara-cara penyiksaan sesungguhnya tidak bisa diandalkan keberhasilannya. Pro dan kontra makin mencuat tatkala terungkap Guantanamo milik Amerika Serikat (yang telah ditutup oleh Obama) menjadi ajang penyiksaan tersangkat teroris.
Pembodohan Karakter
Oknum aparat yang memiliki Surat Keputusan dan wewenang untuk menindak berbagai bentuk pelanggaran hukum, biasanya bertugas dengan berlindung di balik uniform. Berbagai dalih dan pemutarbalikan fakta dan hukum terindikasi. Masyarakat awam yang buta hukum, makin terintimidasi. Hak-hak mereka terisolasi, kebebasan untuk mencari keadilan diperangkap dalam pembodohan karakter, yang berdampak pada proses pembunuhan karakter. Kawula alit jadi korban akibat tingkah perilaku angkara murka oknum aparat.
Dalam gegap-gempitanya reformasi, marilah kita satukan langkah untuk serempak memerangi tindak kriminal - apapun bentuknya - dengan proses yang logis dan prosedural. Agar masyarakat makin dewasa dalam berpikir, makin cerdas dalam menilai, kian bijak dalam bersikap, dan jeli dalam menentukan pilihan hidup. Cinta datang bukan karena intimidasi, dan rasa hormat tidak lahir dari sebentuk angkara kebengisan. Penganiayaan dan kekerasan terhadap sesama, tidak akan menyelesaikan masalah. Kasih sayang dan senyum, niscaya akan memberikan kedamaian bagi kita semua.
(Aku Tulis Buat : Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan, maafkan Abah)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".