Menyimak pidato kenegaraan Presiden SBY di MPR yang baru lalu, di hadapan anggota DPD, pada tahun 2010 internet dan tayangan televisi akan bisa dinikmati oleh masyarakat pedesaan di seluruh Indonesia, saya jadi terpana. Ada rasa bangga, namun kegundahan akan dampak negatif dari media tersebut jauh lebih besar. Internet, mungkin masih terbatas pada mereka yang faham teknologi ini. Tetapi televisi, tidak dibutuhkan pengetahuan tambahan untuk menyimaknya, cukup punya mata yang berfungsi plus pendengaran. Masalah piranti (pesawat televisinya) mudah saja, andai belum atau tidak punya sendiri, bisa numpang di rumah tetangga karena komunitas desa sangat kekeluargaan dan masih solid dengan system kekerabatannya.
Bila anda berhasrat menjadi selebriti/artis sinetron, dewasa ini kira-kira syaratnya lebih mudah, namun perlu kemurahan dari Allah SWT karena menyangkut performance bawaan “janin”. Syarat pertama, anda yang wanita, harus cantik, berkulit mulus, berbody seksi, mau berdandan sesuai dengan tuntutan skenario. Untuk anda yang pria, harus ganteng, gagah, berbody macho dan bersedia berlagak sesuai tuntutan skenario. Kedua, anda bisa bicara dengan nada lantang, sanggup membentak-bentak, bisa bereksperisi bengis-jahat-licik, pria jadi wanita, wanita berlagak pria, (ekspresi sedih/tangis-menangis dan mata merah/sembab, bisa direkayasa dengan obat tetes mata, atau gas dari aroma kulit bawang merah!). Ketiga, jangan sekali-kali anda menolak keinginan sutradara dan produser sekalipun alur cerita atau penokohan anda secara psikologis tidak berwatak atau bertentangan dengan norma-norma. Keempat, anda bersedia mengikuti irama “kejar-tayang” pihak produser. Kelima, campakkan idealisme anda, gantikan dengan selera iklan dan warna-warni pemirsa yang menggemari ceritanya. Syarat keenam, sanggup menerima kritik, tudingan negatif dari para intelektual, psikolog dan pendidik yang peduli pada generasi muda. Ketujuh, -untuk pendatang baru dan yang belum beken- tanda-tangani saja kontrak dengan persyaratan yang diajukan produser walaupun honornya rendah.
Menjelang bulan Suci Ramadhan, selama satu bulan penuh ada kemungkinan tayangan televisi dipenuhi dengan thema-thema religi, termasuk iklan yang mengundang sensasi akan dikurangi. Padahal dalam setahun selama sebelas bulan, pemirsa banyak disuguhi tampilan yang serba glamour serta menjurus pada hal-hal berdampak negatif bagi perkembangan psikologi anak-anak dan ABG. Dan masyarakat pedesaan pada umumnya menikmati siaran televisi bagaikan sebuah media pembelajaran. Sementara Komisi Penyiaran Indonesia dan institusi pengawasan siaran televisi dan film independen seakan tidak mampu berfungsi sebagai pengendali. Walaupun label “siaran dewasa”, “bimbingan orang tua” atau apa saja istilahnya, tercantum dalam acara-acara tertentu.
Kampanye nasional untuk menyelamatkan anak-anak dari cengkeraman televisi adalah “Hari Tanpa Televisi” diadakan sejak 2006, tahun ini dilaksanakan pada hari Minggu, 26 Juli 2009 yang lalu. Gerakan ini seolah mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi sajian stasiun televisi. Seandainya, komitmen ini diikuti fungsi-fungsi pengawasan dari institusi bentukan pemerintah, yang tegas, tidak pandang bulu, tak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada stasiun yang ternyata menyajikan tayangan tidak berkualitas, niscaya kampanye bisa efektif serta menuai hasil maksimal. Lihatlah, seberapa besar prosentase siaran dan acara dari berbagai stasiun televisi yang berbobot membangun SDM masa depan? Jangan pertanyakan tentang komitmen orang tua menyiasati kebutuhan primer anak akan televisi, karena masyarakat pedesaan umumnya terlalu awam, kecuali bagi pedesaan di pulau Jawa dan Bali, mungkin sedikit beda.
Kebutuhan terhadap internet dan televisi konsekuensi logis dari perkembangan informasi global. Bahkan, suatu saat nanti masyarakat sangat bergantung pada teknologi ini sepadan dengan ketergantungan terhadap listrik. Oleh karena itu, sangat logis jika dalam dekade terakhir perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional juga ikut meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas teknologinya. Bahkan, di era otonomi daerah, juga semakin marak bermunculan televisi lokal dengan tayangan khas bernuansa kedaerahan.
Kuantitas sajian membingungkan pemirsa saking beraneka dan banyaknya acara, teknologi pembuatannya kian canggih sehingga mampu menghipnotis pemirsa awam, utamanya masyarakat pedesaan. Kita semua bangga dengan itu, walaupun sebagian program berupa adopsi dari televisi luar negeri. Kendati demikian, para intelektual, psikolog, pendidik dan pemerhati generasi penerus bangsa ini sangat memprihatinkan kualitas tayangannya dan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan jiwa dan moral anak-anak dan remaja. Pesan-pesan edukatif yang disajikan terbungkus sangat tebal sulit dicernakan, sebaliknya perilaku bengis dan keji justru tertampil seakan suri tauladan yang faktual serta layak diaktulisasikan dalam keseharian. Utamanya sajian televisi swasta nasional yang lebih banyak memburu kualitas tayangan program yang kurang mendidik dan cenderung tidak rasional.
Para psikolog tidak sedikit yang menegaskan bahwa hampir semua tayangan televisi cenderung tidak mendidik bagi anak-anak. Program “reality show” pun menyerempet pada mengajak masyarakat untuk menerima begitu saja fakta yang diungkapkan tokoh tamunya, bukan tidak mungkin bisa berdampak pada kebencian atau fitnah pada pihak yang tidak sepaham. Tayangan yang bertemakan religi, khususnya agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, cenderung mengada-ada dengan alur cerita yang hilir mudik. Masyarakat pedesaan dan anak-anak menonton semua sajian karena kebanyakan mereka tidak punya batasan menonton yang jelas, hanya menuruti selera dan kesenggangan. Mulai dari acara gosip, berita kriminal yang sadistis, sinetron yang penuh kekerasan, intriks, mistis, amoral, film dewasa yang diputar dari pagi hingga malam, penampilan musik dengan artis berbusana seksi, lirik lagu yang tak mendidik, sinetron bertema agama menampilkan rekaan adegan yang bisa menjerumuskan pada syirik, sinkretisme yang merusak akidah dan keluar dari syariat agama. Sementara film-film kartun yang heroisme memberatkan adegan yang anti-sosial.
Transparansi dan globalisasi teknologi informasi mempersempit ruang dan waktu. Internet, televisi dan piranti komunikatif merambah setiap komunitas sosial, memberikan kemudahan menjanjikan kesenangan. Pemerintah c.q. Depkominfo sudah mencoba untuk menangkal berbagai dampak negatif dari teknologi (internet) ini dengan menyediakan software khusus yang bisa didownload gratis melalui situs Depkominfo. Faktanya, banyak warnet yang tumbuh menjamur di seantero kota besar/kecil, tidak mempergunakan software aplikasi pelindung tersebut. Malah, ada server milik beberapa Pemkab/Pemkot terutama di Jatim, membuka koneksi wireless yang bisa diakses bebas oleh masyakarat dalam radius tertentu, tidak memasang filter sama sekali. Apalagi dengan siaran televisi yang nota bene dikendalikan oleh stasiunnya, dan hanya mengandalkan kebijaksanaan orang tua untuk memilih dan memilah acara layak tonton, serta “kritikan” komisi penyiaran.
Bulan Suci Ramadhan telah hadir, sajian televisi tentunya bernuansa islami. Mudah-mudahan, tayangan yang bernuansa lebih pro-sosial dengan norma-norma dan nilai-nilai luhur terus berlanjut sepanjang waktu. Institusi pengawas siaran dan film, baik bentukan pemerintah maupun yang independen mampu memaksimalkan peranan dan fungsinya. Industriawan dan produsen acara menunjukkan komitmen yang bijak: Jangan sampai orang lain berbuat dosa karena kita. Hanya demi meraup keglamouran bagi diri sendiri dan keluarga.
Bila anda berhasrat menjadi selebriti/artis sinetron, dewasa ini kira-kira syaratnya lebih mudah, namun perlu kemurahan dari Allah SWT karena menyangkut performance bawaan “janin”. Syarat pertama, anda yang wanita, harus cantik, berkulit mulus, berbody seksi, mau berdandan sesuai dengan tuntutan skenario. Untuk anda yang pria, harus ganteng, gagah, berbody macho dan bersedia berlagak sesuai tuntutan skenario. Kedua, anda bisa bicara dengan nada lantang, sanggup membentak-bentak, bisa bereksperisi bengis-jahat-licik, pria jadi wanita, wanita berlagak pria, (ekspresi sedih/tangis-menangis dan mata merah/sembab, bisa direkayasa dengan obat tetes mata, atau gas dari aroma kulit bawang merah!). Ketiga, jangan sekali-kali anda menolak keinginan sutradara dan produser sekalipun alur cerita atau penokohan anda secara psikologis tidak berwatak atau bertentangan dengan norma-norma. Keempat, anda bersedia mengikuti irama “kejar-tayang” pihak produser. Kelima, campakkan idealisme anda, gantikan dengan selera iklan dan warna-warni pemirsa yang menggemari ceritanya. Syarat keenam, sanggup menerima kritik, tudingan negatif dari para intelektual, psikolog dan pendidik yang peduli pada generasi muda. Ketujuh, -untuk pendatang baru dan yang belum beken- tanda-tangani saja kontrak dengan persyaratan yang diajukan produser walaupun honornya rendah.
Menjelang bulan Suci Ramadhan, selama satu bulan penuh ada kemungkinan tayangan televisi dipenuhi dengan thema-thema religi, termasuk iklan yang mengundang sensasi akan dikurangi. Padahal dalam setahun selama sebelas bulan, pemirsa banyak disuguhi tampilan yang serba glamour serta menjurus pada hal-hal berdampak negatif bagi perkembangan psikologi anak-anak dan ABG. Dan masyarakat pedesaan pada umumnya menikmati siaran televisi bagaikan sebuah media pembelajaran. Sementara Komisi Penyiaran Indonesia dan institusi pengawasan siaran televisi dan film independen seakan tidak mampu berfungsi sebagai pengendali. Walaupun label “siaran dewasa”, “bimbingan orang tua” atau apa saja istilahnya, tercantum dalam acara-acara tertentu.
Kampanye nasional untuk menyelamatkan anak-anak dari cengkeraman televisi adalah “Hari Tanpa Televisi” diadakan sejak 2006, tahun ini dilaksanakan pada hari Minggu, 26 Juli 2009 yang lalu. Gerakan ini seolah mencerminkan komitmen pemerintah untuk mengendalikan dan mengawasi sajian stasiun televisi. Seandainya, komitmen ini diikuti fungsi-fungsi pengawasan dari institusi bentukan pemerintah, yang tegas, tidak pandang bulu, tak segan-segan menjatuhkan sanksi kepada stasiun yang ternyata menyajikan tayangan tidak berkualitas, niscaya kampanye bisa efektif serta menuai hasil maksimal. Lihatlah, seberapa besar prosentase siaran dan acara dari berbagai stasiun televisi yang berbobot membangun SDM masa depan? Jangan pertanyakan tentang komitmen orang tua menyiasati kebutuhan primer anak akan televisi, karena masyarakat pedesaan umumnya terlalu awam, kecuali bagi pedesaan di pulau Jawa dan Bali, mungkin sedikit beda.
Kebutuhan terhadap internet dan televisi konsekuensi logis dari perkembangan informasi global. Bahkan, suatu saat nanti masyarakat sangat bergantung pada teknologi ini sepadan dengan ketergantungan terhadap listrik. Oleh karena itu, sangat logis jika dalam dekade terakhir perkembangan industrialisasi pertelevisian nasional juga ikut meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitas teknologinya. Bahkan, di era otonomi daerah, juga semakin marak bermunculan televisi lokal dengan tayangan khas bernuansa kedaerahan.
Kuantitas sajian membingungkan pemirsa saking beraneka dan banyaknya acara, teknologi pembuatannya kian canggih sehingga mampu menghipnotis pemirsa awam, utamanya masyarakat pedesaan. Kita semua bangga dengan itu, walaupun sebagian program berupa adopsi dari televisi luar negeri. Kendati demikian, para intelektual, psikolog, pendidik dan pemerhati generasi penerus bangsa ini sangat memprihatinkan kualitas tayangannya dan dampak negatif jangka panjang terhadap perkembangan jiwa dan moral anak-anak dan remaja. Pesan-pesan edukatif yang disajikan terbungkus sangat tebal sulit dicernakan, sebaliknya perilaku bengis dan keji justru tertampil seakan suri tauladan yang faktual serta layak diaktulisasikan dalam keseharian. Utamanya sajian televisi swasta nasional yang lebih banyak memburu kualitas tayangan program yang kurang mendidik dan cenderung tidak rasional.
Para psikolog tidak sedikit yang menegaskan bahwa hampir semua tayangan televisi cenderung tidak mendidik bagi anak-anak. Program “reality show” pun menyerempet pada mengajak masyarakat untuk menerima begitu saja fakta yang diungkapkan tokoh tamunya, bukan tidak mungkin bisa berdampak pada kebencian atau fitnah pada pihak yang tidak sepaham. Tayangan yang bertemakan religi, khususnya agama yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia, cenderung mengada-ada dengan alur cerita yang hilir mudik. Masyarakat pedesaan dan anak-anak menonton semua sajian karena kebanyakan mereka tidak punya batasan menonton yang jelas, hanya menuruti selera dan kesenggangan. Mulai dari acara gosip, berita kriminal yang sadistis, sinetron yang penuh kekerasan, intriks, mistis, amoral, film dewasa yang diputar dari pagi hingga malam, penampilan musik dengan artis berbusana seksi, lirik lagu yang tak mendidik, sinetron bertema agama menampilkan rekaan adegan yang bisa menjerumuskan pada syirik, sinkretisme yang merusak akidah dan keluar dari syariat agama. Sementara film-film kartun yang heroisme memberatkan adegan yang anti-sosial.
Transparansi dan globalisasi teknologi informasi mempersempit ruang dan waktu. Internet, televisi dan piranti komunikatif merambah setiap komunitas sosial, memberikan kemudahan menjanjikan kesenangan. Pemerintah c.q. Depkominfo sudah mencoba untuk menangkal berbagai dampak negatif dari teknologi (internet) ini dengan menyediakan software khusus yang bisa didownload gratis melalui situs Depkominfo. Faktanya, banyak warnet yang tumbuh menjamur di seantero kota besar/kecil, tidak mempergunakan software aplikasi pelindung tersebut. Malah, ada server milik beberapa Pemkab/Pemkot terutama di Jatim, membuka koneksi wireless yang bisa diakses bebas oleh masyakarat dalam radius tertentu, tidak memasang filter sama sekali. Apalagi dengan siaran televisi yang nota bene dikendalikan oleh stasiunnya, dan hanya mengandalkan kebijaksanaan orang tua untuk memilih dan memilah acara layak tonton, serta “kritikan” komisi penyiaran.
Bulan Suci Ramadhan telah hadir, sajian televisi tentunya bernuansa islami. Mudah-mudahan, tayangan yang bernuansa lebih pro-sosial dengan norma-norma dan nilai-nilai luhur terus berlanjut sepanjang waktu. Institusi pengawas siaran dan film, baik bentukan pemerintah maupun yang independen mampu memaksimalkan peranan dan fungsinya. Industriawan dan produsen acara menunjukkan komitmen yang bijak: Jangan sampai orang lain berbuat dosa karena kita. Hanya demi meraup keglamouran bagi diri sendiri dan keluarga.
Kutulis Buat :
Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan. Maafkan Abah.
Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan. Maafkan Abah.
2 Komentar:
maaf kemaren saat wong goblog kirim komentar berita belum muncul di trenggalek jelita mungkin masih dalam perjalanan,semoga wong goblog ini tidak termasuk kedalam kategori wong ndableg-bleg karena di negri goblog tidak berpenduduk wong ndableg.Bila mungkin cah ndeso mengkategorikan wong goblog termasuk kedalam golongan wong ndableg,harap wong goblog di maaf kan.Semoga fasilitas internet dan tv bisa memberikan manfaat yang berkah.
Wong goblog ko jadi terenyuh dan tersentuh dengan kata yg menuliskan ini untk warisan karena tak punya harta untuk di wariskan.Menurut Wong goblog warisan bukan sekedar harta tapi ilmu pengetahuan,pengajaran,pendidikan merupakan warisan yang maha luar biasa dan berbanggalah cah ndeso yang bisa mewariskan trenggalek jelita untuk keluarganya.Tak seperti wong goblog yang mungkin cuma bisa mewariskan ke goblog kan demi kegoblogkan di negri goblog.
Semoga Sukses untk cah ndeso
ocre-ocre, matur suwun. Lan kulo nderek langkung, ngaturaken dumatheng panjenengan Sugeng Siam. Mugi amal Ibadah panjenengan katampi dening Allah tur dipun ridloi. Amin
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".