Sabtu, 5 September 2009 | 03:09 WIB
Jakarta, Kompas -
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Pemerintahan, Kepastian Hukum dan Akses untuk Keadilan” yang diadakan Strategic Asia di Jakarta, Kamis (3/9). Diskusi dibuka Managing Director Strategic Asia Satish Mishra, menghadirkan praktisi hukum Todung Mulya Lubis dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie sebagai narasumber.
Mulya mengakui mafia peradilan yang masih saja ada di Indonesia. Mafia peradilan ini bisa terjadi di tingkat mana pun dan melibatkan banyak pihak. ”Indeks persepsi korupsi di Indonesia kini adalah 2,9. Korupsi masih menjadi persoalan di Indonesia. Fakta ada persoalan dalam izin bisnis dan birokrasi menunjukkan hal ini,” kata Mulya.
Mulya berpendapat, tantangan kebijakan utama pada masa pemerintahan mendatang, di antaranya, adalah memberantas korupsi serta harmonisasi hukum dan perundangan di tingkat pusat dan daerah.
Jimly berpendapat, demokrasi tak akan tumbuh tanpa penegakan hukum. Karena itu, Indonesia harus meningkatkan sistem peradilan. ”Yang terpenting adalah memodernisasi institusi peradilan,” katanya.
Ia mengemukakan ide untuk mereformasi peradilan secara radikal. Langkah radikal itu berkaca dari sistem yang ada di pengadilan saat ini sehubungan banyaknya kasus yang masuk setiap tahun. Dia mencontohkan, setiap tahun Mahkamah Agung (MA) menerima 20.000 perkara. Dengan perkara sebanyak itu, tak ada jaminan untuk menyelesaikan dengan cepat meski MA menambah jumlah hakim agung.
Jimly menyebutkan, jika manajemen dan sistem penanganan perkara tak direformasi, masalah yang muncul akibat menumpuknya perkara terus terjadi. Salah satu solusi yang patut dipikirkan adalah memberi pengadilan tinggi kewenangan yang besar, seperti model desentralisasi.
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".