Foto: Watu Selokondo di Sungai Tawing, Munjungan, (dok. PrigiBeach.com)
Kebudayaan nenek moyang di masa silam sangat erat hubungannya dengan alam metafisika dan
mistisisme. Sekalipun sudah tujuh turunan, nilai-nilai tradisi yang mereka wariskan pada generasi penerus sampai era reformasi ini ternyata masih tetap hidup dan berkembang, terutama di daerah-daerah pedalaman dan pelosok pedesaan.
Paradigma logis yang didasari sains dan teknologi mutakhir, bagi masyarakat awam tersebut justru memperdalam keyakinan mereka akan adanya kekuatan mistis yang mempengaruhi gerak hidup serta dinamika manusia dan alam semesta. Seperti bagaimana siaran telivisi bisa sampai ke rumah mereka pada hal jauh dari pemancarnya, ditambah lagi dengan acara-acara sinetron rekaan yang menampilkan adegan mistis. Walaupun menurut sementara kalangan religius, apa yang mereka lakukan dianggap sebagai manifestasi dari nilai-nilai imanen yang agamis dibauri oleh nilai-nilai kultur, membentuk sinkretisme yang menjurus pada kefasikan atau bahkan syirik. Tradisi tersebut ternyata masih saja mereka lestarikan melalui berbagai laku spiritual dengan ritual khusus.
Demikian itulah yang sampai saat ini terasa sekali perkhidmatannya, aroma, warna, situasi dan kondisinya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kecamatan Munjungan, Trenggalek. Logika dan pengetahuan modern tidak mungkin bisa menerima begitu saja, bila ada seseorang warga di sana yang tiba-tiba perutnya membesar tanpa sebab, namun ketika dibawa berobat ternyata diagnose dokter memastikan bahwa yang bersangkutan tidak mengidap suatu penyakit. Tapi faktanya, orang itu menderita dan dalam beberapa hari saja telah meninggal dunia. Seandainya orang itu datang berobat pada ahli alternatif semisal dukun di Munjungan, maka akan diketahui bahwa perut pasien itu membesar karena kena jengges/santet “bendung segara”. Dan dengan kesaktian sang dukun, jengges “bendung segara” itu niscaya akan bisa disembuhkan.
Desa Tawing di Kecamatan Munjungan, suasana sepanjang jalan ke desa ini sangat asri dan alami khas pegunungan. Hutannya masih lebat, hijau dengan kicau burung warna-warni. Bila melewati jalan dari Kampak menuju desa ini, maka jangan kaget bila sesekali muncul hewan liar seperti trenggiling, nyambek, babi hutan yang melintas menyeberangi jalan aspalan. Di desa ini, sudah banyak generasi mudanya yang menyandang handphone, dan di rumah mereka juga ada televisi atau bahkan komputer, namun keseharian mereka terasa masih tradisional, diwarnai adat budaya “mataraman”.
Di desa ini ada sebuah batu di tengah sungai Tawing, yang sejak dulu tidak bergeming dan tidak berkurang sedikitpun walau digerus oleh banjir. Masyarakat menyebut batu itu dengan “Watu Selokondo”. Menurut Hardjo Soewoto (76), budayawan Trenggalek dan sesepuh desa Tawing, Watu Selokondo merupakan tempat melakukan ritual kejawen. Setiap pengunjung yang “sowan” kesitu, diharuskan membawa bunga tujuh rupa dan “jajan pasar”, bahkan ada yang diharuskan menyembelih “wedus kendit”, yakni kambing yang memiliki warna bulu berbentuk sabuk di perutnya, atau kerbau. Tergantung pada hajat dan keinginan mereka. “Watu Selokondo diyakini oleh masyarakat sini sebagai tempat keramat yang dulu dipakai oleh nenek moyang kami dari Mataram untuk bertapa dan mencari ilmu kadigdayan untuk membela Kanjeng Pangeran Diponegoro dari Goa Selarong,” ujar Hardjo Soewoto.
Kemudian dengan hati-hati, kakek yang memiliki sanggar budaya “Paranida” ini menjelaskan tentang karomah Watu Selokondo. Biasanya yang datang berniat mohon doa restu agar dalammenjalani kehidupannya bisa tenang dan sejahtera, selain untuk meminta aji kadigdayan. Setiap Kamis Wage malam Jum’at Kliwon, adalah “sangat” (baca: “saat yang tepat menurut hitungan kejawen”) untuk melakukan upacara dan laku spiritual di situ. Mereka diwajibkan“kungkum” (berendam) di sungai mulai ba’dha luhur, kemudian menjelang maghrib baru boleh “mentas” namun harus duduk bersimpuh dalam posisi semedi di atas batu itu hingga fajar menyeruak di lazuardi.
Selama semedi, pemohon juga diwajibkan “pasa mutih” (puasa yang hanya diperkenankan makan nasi putih) selama 24 jam terhitung sejak yang bersangkutan menjalani “kungkum”. Ketika semedi, menghadap ke Timur, menentang arus sungai dan menjaga agar pedupaan di depannya senantiasa mengepul. Keesokan harinya, ketika penthong (bedug) luhur, tibalah saat baginya untuk berbuka puasa dan “ngeriayani” tirakatnya.
“Dulu pertama kali melakukan itu, saya sangat ngeri. Banyak godaan yang datang, seperti wanita cantik yang telanjang, ular weling atau kobra bahkan harimau yang seakan mau memangsa saya”, kata Dasit (57) dari desa Bangun saat diwawancarai. Kala itu dia minta agar punya ilmu “sahiti angin”, yakni aji-aji lari cepat bagaikan kidang kencana. “Sampai sekarang, bila saya rapal mantera yang saya dapat saat tirakat di Watu Selokondo itu, saya mampu berlari laksana angin atau memanjat pohon selincah seekor kera”. Ketika diminta untuk membuktikan, dengan senang hati Dasit melakukannya. Lelaki bertubuh pendek kurus itu lalu “mateg aji”, dan sesaat kemudian dengan lincahnya dia memanjat pohon durian setinggi limabelasan meter, kemudian berpindah pada pepohonan di sebelahnya, selincah monyet dan itu tidak sebanding dengan usianya. Bukan hanya “sahiti angin” namun kata Dasit ada banyak teman segenerasinya yang meminta aji kadigdayan seperti “welut putih”, “bala sewu” atau “semu gunting”. Tujuannya dahulu untuk membela diri, kendati ada juga teman-temannya yang justru jadi berandal, “kecu” maling atau rampok. “Sekarang kami sudah tua, bahkan ada yang mati kena “jus-jusan” (penembak misterius tahun 80-an/red), kami sudah tobat dan memanfaatkan aji-aji yang diberi Kang Mbaurekso di Watu Selokondo untuk kemaslahatan ummat”, ujar Dasit mengenang masa lalunya. Watu Selokondo tidak punya juru kunci, bagi yang berminat untuk melihat atau “nimba” ilmu, bisa tanya pada warga sekitar segenarasi Dasit, mereka sangat hapal tata caranya.
Bagi anda kaum Muslimin, sebaiknya menghindari segala perbuatan atau amalan yang menjurus pada perilaku syirik.(CahNdeso)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".