Supremasi Hukum Masih Berproses
Undang-undang dan peraturan, semua produk hukum yang dihasilkan oleh manusia adalah bagian dari kebudayaan. Oleh sebab itu selalu berproses dan berkembang mengikuti pola pikir, sistem nilai dan intelektualitas serta kepesatan sains maupun teknologi yang terjadi dalam setiap kurun. Berbeda dengan hukum Tuhan (Sunnatullah) dan hukum Alam, baik yang sudah dikodifikasikan maupun yang terpeta (yang sudah ditemukan) dan yang tersembunyi (sebab keterbatasan manusia) di jagat raya, semua pasti dan tidak ada toleransi.
Berbagai peristiwa dan kasus hukum di negeri tercinta ini, baik sebelum Ibu Pertiwi terbebas dari belenggu Hindia Belanda sampai dengan saat reformasi, jika sampai ke meja hijau masih terasa mudah diputar-balikkan. Sehingga sewaktu-waktu dapat saja berubah lebih berpihak dan membela kepentingan para penguasa maupun kalangan elite lain, kendati banyak instrumen hukum dan lembaga pencitraannya telah terbentuk. Salah satu bukti yang populer adalah kontroversi putusan MA dan MK serta kekukuhan sikap KPU tatkala pemilu yang lalu. Atau kasus tindak pidana korupsi yang pada akhirnya melibatkan institusi Polri dan KPK dalam sebuah perseteruan, masing-masing merasa diri paling benar, dan berusaha melegitimasi tindakannya tak peduli walaupun harus menonjolkan narsisme dan kediktatoran.
Sinyalemen lembaga hukum dan peradilan di daerah-daerah yang terkontaminasi virus KKN kian gamblang setelah implementasi Otonomi Daerah. Praktek jual beli pasal dan terdakwa terfragmentasi seiring dengan munculnya pemegang tampuk kekuasaan baru. Supermasi hukum yang diimpikan rakyat masih tergantung dalam sebuah “kebijakan”, ini tidak bisa dipungkiri. Bukan saja akibat penafsiran yang berbeda-beda, kelemahan professional dan pengetahuan pun memicunya. Akibatnya, rakyat merasa enggan bahkan takut untuk berurusan dengan hukum, dan lebih memilih penyelesaian sebuah masalah melalui azas mufakat dan kekeluargaan. Mereka pun acuh tak acuh berapa banyak koruptor dan pejabat korup yang bebas melenggang menikmati hasil jarahannya. Bahkan tak jarang mereka terhenyak pasrah ketika dipaksa menerima andai dijadikan kambing hitam atau sebagai pion yang dikorbankan atasannya.
Ibu Pertiwi Dibohongi
Pelantikan anggota Dewan di kabupaten/kota telah dilaksanakan, untuk anggota DPR dan DPD diselenggarakan bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Anggota Dewan sebagai pribadi -perorangan- bukanlah apa-apa. Mereka baru punya taring saat terbentuk fraksi, dan taringnya akan berfungsi tatkala dalam Komisi. Namun kualitas kinerjanya hanya terbaca hitam atas putih serta berupa retorika. Implementasi kinerja Anggota Dewan tergantung pada integritas, eksistensi dan akuntabilitas birokrasi. Fungsi pengawasan, anggaran dan yudisial yang dijamin oleh undang-undang, kesannya ada yang mengambang atau barangkali memang bisa diandalkan, tetapi masyarakat awam tidak mampu menterjemahkan (baca: merasakan) sejauh mana kepekaan dan kegigihan para wakil yang telah mereka pilih itu, dalam memperjuangkan hak-hak rakyat. Terlebih lagi, tatkala pemenang Pileg April 2009 yang sebenarnya adalah “golput”, yakni selain mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya juga ditambah suara yang diberikan hanya untuk para caleg yang mampu dan mau peduli pada kondisi kebutuhan yang instan dari konstetuen. Suara dari “golput” yang terakhir ini -yang berhasil mendudukkan wakilnya di dewan- diprediksi kelak akan melahirkan bibit-bibit koruptor yang akan menggerogoti keuangan negara selama lima tahun ke depan.
Anggota dewan di kabupaten/kota (maupun yang di pusat) bila ingin korupsi besar-besaran harus terlebih dahulu melakukan konspirasi dan bargaining dengan birokrat. Pada awal reformasi, fenomena ini sangat terasa, namun setelah fungsi pengawasan mereka dibatasi, sejak tahun 2004 DPRD Kabupaten/Kota tidak lagi mandiri tetapi di bawah kendali depdagri, sinyalemen tersebut berkamuflase. Upaya mengeruk keuangan negara atau KKN seakan tertutup, sebab semua aktivitas anggaran harus senantiasa bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum dan peraturan. Bila untuk sekedar, bisa saja mereka mendapatkan penghasilan yang syah dan tidak berunsur pidana. Sebagai contoh. workshop dan sosialisasi aleg baru, diselenggarakan jauh dari kota asalnya, sehingga mereka bisa memperoleh tunjangan perjalanan dinas, uang akomodasi, dan lain-lainnya - yang tidak mungkin mereka terima bila kegiatan itu diselenggarakan di dalam kota. Masih banyak lagi trik-trik jitu yang menggiurkan yang memberikan peluang untuk memanfaatkan fasilitas yang didanai negara, dan itu semua sesuai dengan peraturan perundangan. Mereka lebih memilih keglamouran dari pada kesederhanaan, demi harga diri mempermainkan nasib konstetuennya.
Fakta dan data yang menunjukkan bahwa prosentase pembangunan fisik di daerah-daerah jauh lebih tinggi dari pada pembangunan moral dan pembinaan mental, dapat jadi indikasi awal terjalinnya sebuah konspirasi politik dan kepentingan antara dewan dan birokrat. Oligharki politik mendominasi dalam pembuatan bermacam kebijakan publik, berproses menuju terabaikannya azas akuntabilitas. Kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan umum terimplementasikan dalam sebuah pola dan sistem yang mereduksi kejayaan kerajaan-kerajaan kecil. Bagaimana tidak terjadi, apabila mekanisme partisipasi politik masyarakat terhenti hanya sampai pada tahapan pileg atau pilkada. Para wakil rakyat dan bupati/walikota yang mereka percaya melalui mekanisme pemilihan justru mengabdi pada kepentingan partai politik dan kelompok yang mensponsorinya, daripada menyuarakan kepentingan rakyat. Walaupun ada muncul beberapa aleg yang vokal dan kritis, terutama mereka yang baru saja duduk sebagai mandataris rakyat, namun kevokalan dan kekritisan tersebut dikhawatirkan banyak kalangan hanya bersifat sementara atau mungkin membawa missi dan motivasi tersembunyi, misalnya bertujuan untuk meningkatkan nilai bargaining. Dan itu bukan harapan rakyat juga bukan cita-cita Ibu Pertiwi.
DAK Rawan KKN
Penanganan Dana Alokasi Khusus (DAK) seperti pengelolaan dana BOS, Block Grand atau inpres kesehatan yang diserahkan pada Sekolah dan Komite Sekolah atau SKPD bertujuan untuk memberikan kesempatan agar masyarakat berpartisipasi aktif, dalam rangka pemerataan dan perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan yang memenuhi standar pelayanan minimal. Dengan kawalan peraturan dan petunjuk pelaksanaan yang konstruktif, efektif dan akurat, dana ini tentunya bisa menyentuh hajat masyarakat akan pendidikan maupun kesehatan.
Namun ada indikasi, dalam proses pendistribusian DAK, sejak dini telah terjadi praktek yang tidak sehat. Dana yang bersumber dari uang rakyat tersebut penggelontorannya bukan dialokasikan menurut skala prioritas saja. Tetapi tidak jarang, SKPD (Dinas Pendidikan, Bappemas, dll) mengaku tidak tahu (atau berpura-pura?) apabila sebuah lembaga telah menerima dana Block Grand atau bantuan lain yang berasal dari DAK. Skala prioritas maupun rekomendasi yang mereka terbitkan untuk permohonan dari lembaga/masyarakat, seolah tidak berarti. Itu karena pihak lembaga/masyarakat penerima langsung berurusan dengan pemerintah pusat atau instansi di atas level SKPD dan pemerintah kabupaten/kotamadya. Skala prioritas yang direkomendasikan oleh SKPD digugurkan karena adanya koneksitas emosional antara lembaga/masyarakat yang menerima dengan birokrat yang menangani.
Sementara di tingkat lembaga/masyarakat yang menerima, implementasi penggunaan dana cenderung melanggar rambu-rambu yang tertulis dan diatur dalam petunjuk pelaksanaannya. Meskipun mengetahui ketidak-beresan terjadi, pihak pengawas dan instansi berwenang pura-pura tidak tahu. Laporan keberatan, kecaman pedas dari masyarakat yang peduli terhadap efektivitas kegiatan, tak mereka gubris secara prositif dan proporsional. Paling hanya ditanggapi sebatas wacana, catatan audit formal dan teguran dengan sedikit investigasi. Mereka tak mau tahu, biarpun bangunan, prasarana pendidikan dan kesehatan itu tidak memenuhi standar atau kegiatannya hanya fiktif belaka; atau dalam beberapa tahun saja bangunan fisik bisa ambruk/rusak dan bahkan meminta korban jiwa. Andaikata terjadi gelontoran dana “terjerembab” kasus pidana pun, proses peradilannya lamban malah ada kemungkinan bisa dipeti-eskan. Ibu Pertiwi dibohongi dengan peraturan dan petunjuk pelaksanaan yang indah merayu dibumbui laporan administratif yang sempurna, sementara masa depan rakyat dipertaruhkan sebagai tumbal.
Tiada harta yang bisa abah wariskan.
Maafkan abah.
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".