Bermasalah Sejak Merger
TEMPO Interaktif, Jakarta - Mantan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Anwar Nasution mungkin masih ingat pernyataannya pada 22 April 2004. "Kami sudah keluarkan izin kepada mereka (PT Bank Pikko Tbk, Bank Danpac, dan Bank CIC International Tbk) untuk merger," ujarnya seperti dimuat Koran Tempo pada 23 April 2004.
Menurut Anwar, niat melakukan merger merupakan sesuatu hal yang layak dicontoh. Dia bahkan mengimbau bank-bank lainnya melakukan langkah serupa. PT Bank Pikko Tbk, Bank Danpac, dan Bank CIC International Tbk kemudian menjelma menjadi Bank Century Tbk pada akhir 2004. Saat itu pimpinan Bank Indonesia hakulyakin, dengan merger, ketiga bank tersebut bakal menjadi bank yang sehat dan besar.
Lima tahun kemudian, Badan Pemeriksa Keuangan menemukan banyak kejanggalan dalam proses penggabungan tiga bank tersebut. Laporan temuan audit investigasi pada 20 November 2009 menilai Bank Indonesia tak tegas dan kurang berhati-hati dalam menetapkan aturan persyaratan akuisisi dan merger. Bank sentral itu juga dituding tak tegas menerapkan ketentuannya sendiri atas pelanggaran yang dilakukan Century.
Dalam temuannya, BPK menyebutkan merger tiga bank itu diawali dengan akuisisi oleh Chinkara Capital (milik Hesham al-Waraq dan Rafat Ali Rizvi) atas Bank Pikko dan Danpac. Akuisisi ini disusul dengan pengambilalihan kepemilikan saham di Bank CIC. Chinkara adalah perusahaan yang berdomisili di Kepulauan Bahama.
Rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada 27 November 2001 memberikan izin prinsip atas akuisisi tersebut. Dalam rapat tersebut, hadir Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, Deputi Gubernur Senior Anwar Nasution, Deputi Gubernur Aulia Pohan, Deputi Gubernur Miranda Goeltom, dan Deputi Gubernur Achjar Ilyas.
Hasil audit BPK menyebutkan, akuisisi Danpac dan Pikko tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia lantaran banyak persyaratan belum dipenuhi. Misalnya rancangan akuisisi belum dipublikasikan dalam surat kabar, Chinkara tak bisa menyampaikan laporan keuangan tiga tahun terakhir, dan rekomendasi dari negeri asal Chinkara di Kepulauan Bahama tak jelas. Fakta ini diabaikan oleh Bank Indonesia dengan memberi izin merger.
Menurut BPK, pemberian merger dipermudah karena ada catatan Direktur Direktorat Pengawasan Bank I Sabar Anton Tarihoran kepada Aulia Pohan dan Anwar Nasution pada 22 Juli 2004. Antara lain Bank Indonesia mengubah status surat-surat berharga menjadi lancar dari semula macet. Alhasil, kewajiban Hesham dan Rafat menyetor modal dan rasio kecukupan modal (CAR) seolah-olah memenuhi syarat. Hasil uji kepatutan atas Rafat, yang sebelumnya tak lulus, juga ditunda dulu realisasinya.
Pada saat memberi kesaksian di Panitia Khusus, 5 Januari lalu, Anton Tarihoran mengatakan izin merger yang diberikan kepada ketiga bank pada saat itu adalah keputusan paling baik. "Pada saat itu merger ini adalah pilihan terbaik. Namun, kalau pengetahuan kita seperti sekarang tentu beda lagi, kita tidak bisa melihat masa depan," ujarnya.
Pascamerger, kegiatan Bank Century bukannya tambah kinclong, malah sebaliknya. Baru setahun digabung, bank ini sudah menghadapi persoalan likuiditas dan permodalan. Temuan BPK menyebutkan, penyebab kesulitan modal karena kepemilikan surat-surat berharga berkualitas rendah senilai US$ 203 juta. Sekitar US$ 116 juta dari surat-surat berharga itu dipegang Rafat dan Hesham.
Dampaknya, berdasarkan hasil laporan pemeriksaan Bank Indonesia pada 31 Oktober 2005, Bank Century melanggar batas maksimal pemberian kredit dan posisi devisa neto. Rasio kecukupan modal Century minus 132,58 persen pada 28 Februari 2005. Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/38/PBI/2005, bank ini seharusnya ditetapkan "dalam pengawasan khusus".
Namun Bank Indonesia menempatkan Bank Century masuk pengawasan intensif, bukan khusus. Bank ini masuk pengawasan khusus pada 6 November 2008, menjelang diambil alih oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
BPK mencatat, dalam kurun 2005-2007, hasil pemeriksaan Bank Indonesia atas Bank Century menemukan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. "Namun Bank Indonesia tidak mengambil tindakan tegas," tulis BPK.
Pelanggaran itu antara lain meliputi pembelian surat berharga berkadar rendah, penempatan antarbank yang menurut Bankers Almanac pada 2003 tak termasuk dalam Top 20, dan pemberian letter of credit yang hanya dijamin Banker Acceptance.
BPK juga menemukan bahwa Bank Century melakukan pelanggaran terhadap ketentuan posisi devisa neto sejak 2004. Seharusnya Bank Indonesia mengganjar denda sebesar Rp 22 miliar. Tapi bank sentral memberi keringanan denda sebesar 50 persen atau Rp 11 miliar.
Pengawas Bank Indonesia, tulis BPK, juga tidak mengungkapkan berbagai pelanggaran yang dilakukan pemegang saham, pengurus bank, dan pihak terkait dengan Bank Century, yang menyebabkan kerugian bank tersebut. Pelanggaran yang dilakukan antara lain pemberian kredit dan fasilitas letter of credit yang melanggar ketentuan serta pengeluaran biaya-biaya fiktif. "Pelanggaran-pelanggaran itu baru diungkapkan oleh Tim Investigasi Bank Indonesia pada saat Bank Century telah ditangani Lembaga Penjamin Simpanan (2008-2009)."
Tanggapan Bank Indonesia atas temuan audit investigasi menyatakan, Bank Indonesia menyatakan Century tak masuk pengawasan khusus lantaran Rafat dan Hesham telah berkomitmen menjual surat-surat berharga tersebut. Keduanya menandatangani perjanjian asset management agreement dengan Century.
Rafat berjanji akan menyelesaikan surat berharga itu dengan jaminan deposito senilai US$ 220 juta di Dresdner Bank, Zurich, Swiss. Dia berjanji menyetor duit segar ke Century secara bertahap hingga 2010.
Sedangkan rilis bank sentral tentang proses merger dilanjutkan meski kondisi Bank CIC dan Bank Pikko memburuk. Rilis menyatakan: merger ketiga bank tersebut terutama dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan likuiditas dan permodalan serta meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap bank yang dikendalikan oleh pemegang saham pengendali yang sama.
Namun tidak tertutup kemungkinan masih terdapat potensi permasalahan pada bank hasil merger. Awal 2004, kondisi likuiditas Bank CIC dan Bank Pikko memburuk akibat penarikan dana dalam jumlah besar sebagai dampak efek domino karena pencabutan izin usaha Bank Asiatic dan Bank Dagang Bali serta pemberitaan negatif di berbagai media massa.
Bank Indonesia tetap berupaya melakukan upaya penyehatan yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan bank, antara lain mendesak bank untuk segera menambah modal, meningkatkan likuiditas, menjual seluruh SSB valas yang berisiko tinggi, menghentikan pembelian SSB yang berisiko tinggi, dan memindahkan kustodian SSB dari luar negeri ke Indonesia. l
ALI NUR YASIN
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".