SEPASANG suami istri datang ke warung Internet di lantai dua rumah toko Multiplus di Pamulang, Banten, menjelang tengah hari, Selasa pekan lalu. Sang suami yang menyewa komputer. Istrinya keluar lagi, menuju Salon Rinova di kompleks ruko yang sama.
Seorang berperawakan tinggi besar dan berjenggot datang beberapa menit kemudian. Ia segera ke lantai dua toko itu, mengambil tempat bilik komputer nomor sembilan. Sidik, -petugas Multiplus yang berjaga di lantai satu, mengenalinya. "Dia sudah tiga kali ke sini," kata pemuda 20 tahun ini.
Tak berapa lama, datang lagi seorang pria. Ia pun menuju warnet, tapi segera turun dan keluar. Tak lama ia datang lagi bersama tujuh orang bersenjata lengkap. Mereka menyerbu. Sidik mendengar suara tembakan beberapa kali. Ia diam ketakutan. Belakangan ia mengetahui, pria berjenggot itu tewas ditembak anggota Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian.
Dialah pria yang tinggal di Jalan Asem, sekitar 300 meter dari Multiplus. Kepada para tetangga, ia mengaku bernama Yahya Ibrahim, bekerja di ruang pamer mobil dan sepeda motor. Tapi sehari kemudian, Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri mengumumkan Yahya adalah Dulmatin, tersangka teroris yang diburu sejak 2002. "Tingkat kesalahannya 1 dibanding 100 ribu triliun," katanya.
DUA pemuda duduk di halte bus Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Yang pertama Fathurrahman al Ghozi, veteran Afganistan asal Madiun, Jawa Timur. Yang lain Abdul Jabar, pemuda 33 tahun. Suatu siang pada Juli 2000, mereka mengamati target serangan: rumah Duta Besar Filipina. Jabar bertanya tentang alasan pemilihan sasaran. Yang ditanya balik bertanya, "Kau tahu kamp Abubakar?"
Jabar mengaku pernah melihat berita televisi tentang serangan tentara Filipina ke kamp pelatihan militer kelompok Jamaah Islamiyah di Mindanao, wilayah selatan negara itu. Ghozi menetap di kamp Abubakar sejak 1996, dan baru tiba di Jakarta beberapa hari sebelum pengamatan. "Kamp itu sudah lenyap," Ghozi menjelaskan. "Kita akan membalas dendam untuk itu." Mereka mengamati sasaran hingga sore, dan menemukan fakta penting: setiap tengah hari Duta Besar pulang untuk makan siang.
Pada saat yang sama, Amrozi, 37 tahun, yang tinggal di Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, sibuk mencari mobil pembawa bom. Dalam waktu singkat, ia mendapat Suzuki van -merah. Ia mengikis nomor kerangka mobil itu. Di tengah kesibukan, ia menerima telepon dari Dulmatin, yang menyuruhnya membeli bahan kimia untuk membuat bom: 200 kilogram potasium klorat, 25 kilo sulfur, dan 25 kilo bubuk aluminium.
Mobil dan bahan pesanan itu segera dibawa ke rumah Dulmatin di Pekalongan, Jawa Tengah. Bom segera dirakit. Tuan rumah mencampur bahan kimia dengan tangan: sembilan kilo potasium klorat untuk setiap tiga kilo sulfur dan tiga kilo bubuk aluminium. Tiap porsi dimasukkan ke wadah plastik, dilubangi atasnya buat memasukkan detonator. Dulmatin lalu memasukkan tas ke mobil, berisi detonator jarak jauh yang dimodifikasi. Walkie talkie bekas dipakai untuk memicu ledakan dari jarak maksimal 500 meter.
Dulmatin, Amrozi, dan enam orang lainnya bergegas menuju Jakarta. Di Ibu Kota mereka bertemu dengan Abdul Jabar dan Usman, anggota komplotan lainnya. Waktu serangan telah diputuskan, 1 Agustus 2000. Sisa hari sebelum tanggal itu mereka manfaatkan buat memasang sumbat dan kawat peledak.
Pada hari serangan, Usman memarkir mobil bom di dekat gerbang rumah Duta Besar Filipina. Pada pukul 12.30, Mercedes Duta Besar Leonides Caday tiba. Ghozi berjalan di trotoar mendekati sasaran agar mencapai jarak 500 meter. Klik, ia menekan handy talkie. Dalam sedetik, bunyi gelegar membahana. Caday yang duduk di kursi kiri belakang terluka: empat tulangnya patah, darah mengucur dari tubuhnya yang dihantam pecahan kaca. Tapi ia selamat. Bom membunuh seorang petugas satpam dan seorang perempuan pejalan kaki. Belasan orang lainnya luka luka.
Inilah "karya" pertama Dulmatin dalam curriculum vitae terorismenya. Tetap menjadi perakit bom, ia bergabung kembali dengan Usman dan Abdul Jabar pada akhir tahun yang sama. Dalam proyek pengeboman malam Natal, mereka memilih tiga gereja Katolik dan tiga gereja Protestan di seluruh penjuru Jakarta. Serangan kali ini gagal karena Abdullah, si pembawa bom, ketakutan sehingga bom-bom ia letakkan dan meledak di luar kompleks gereja sasaran. Setelah serangan, mereka lari ke Jawa Tengah. Esok paginya, mereka menonton televisi di rumah Dulmatin di Pekalongan yang mengabarkan peledakan.
PUNCAK kejahatan Dulmatin dilakukan di Bali. Ia tiba di Denpasar pada 6 Oktober 2002. Kali ini ia bergabung dalam komplotan bersama dua warga negara Malaysia, Doktor Azahari dan Noor Din M. Top, serta Imam Samudra, Umar Patek, dan Abdul Ghoni. Amrozi kembali bergabung bersama kakaknya, Ali Ghufron, dan adiknya, Ali Imron. Mereka menjadikan sebuah rumah di Jalan Pulau Menjangan sebagai markas.
Dulmatin merakit tiga bom. Untuk ledakan pengalihan, bom dipasang dalam enam kantong dijahit dalam rompi, masing masing berisi enam pipa PVC dengan sebatang dinamit. Bom kedua untuk Konsulat Amerika Serikat, hanya terdiri atas bungkusan lima kilogram dinamit terhubung dengan detonator jarak jauh, memakai telepon seluler Nokia. Dua bom ini dipakai hanya untuk simbol serangan, bukan untuk membuat kerusakan.
Bom utama ditaruh dalam mobil L300, yang dibeli Amrozi atas perintah Imam Samudra. Total ada satu ton lebih campuran potasium klorat, sulfur, dan bubuk aluminium sesuai dengan resep 3:1:1. Campuran dimasukkan ke empat laci beberapa lemari plastik, disambungkan dengan kawat dan detonator buatan India.
Dengan seluruh kemampuan elektroniknya, Dulmatin membuat papan sirkuit yang terhubung ke baterai 9 volt. Diletakkan dalam wadah tertutup, sirkuit menghantarkan listrik ke detonator dengan empat metode: dengan sinyal telepon seluler, pengatur waktu, pemicu manual, atau pemicu otomatis. Bom raksasa ini mendapat sentuhan terakhir dari Azahari, ahli bom komplotan itu.
Pada 12 Oktober 2002, bom pengalihan diledakkan di Sari Club, Legian. Bom utama meledak beberapa menit setelahnya, meluluh lantakkan Paddy's Club. Malam Minggu di Pulau Dewata menjadi petaka, 202 orang tewas. Sebagian besar warga negara Australia, termasuk rombongan pemain rugbi yang sedang berlibur.
Tatkala berita pengeboman disiarkan langsung di televisi, Dulmatin dan Azahari telah berada di Jawa. Ketika polisi menggelar operasi pengejaran dan menangkap sebagian besar penjahat, Dul menyeberang ke Filipina Selatan. Ia bergabung dengan kolega lamanya, Al Ghozi.
Dianggap terlibat kasus terorisme di negara itu, mereka diburu tentara setempat. Pemerintah Amerika Serikat menjanjikan hadiah US$ 10 juta bagi siapa pun yang bisa menangkap atau membunuh Dulmatin. Tak mengherankan, setidaknya tiga kali tentara Filipina mengklaim berhasil membunuh pria bernama asli Joko Pitono itu.
JEJAK Dulmatin tercium pada awal 2008. Dari wilayah Filipina Selatan, ia berkomunikasi dengan beberapa aktivis di Tanah Air. Setahun kemudian, menurut keterangan sejumlah sumber, ia benar benar tiba di Jakarta. Ia memutar masuk melalui Batam menggunakan paspor atas nama Yahya Ibrahim yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Timur.
Menurut Mawi Hartono, ketua RT yang membawahkan Jalan Asem, Pamulang, Yahya Ibrahim menetap di wilayahnya sejak 13 April 2009. Di KTP yang dibawanya, Yahya ditulis lahir di Jakarta, 2 Januari 1973. Alamatnya Jalan Masjid Fathul Ghofur RT 1/RW 4, Kelurahan Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur.
Yahya tinggal di rumah kontrakan milik Fauzi Syarief, mantri kesehatan. Ia mengaku kerja di ruang pamer motor di Ciputat. Tak lama, Yahya menampung dua pria lainnya, mengaku sebagai Umar dan Muhammad Subqha. Kepada tetangga, Umar menyebut dirinya mahasiwa Universitas Islam Negeri Sya-rif Hidayatullah. Subqha menyatakan kerja bersama Yahya menjual motor.
Yahya sering berkunjung ke rumah kontrakan pasangan Marko dan Tari, 300 an meter dari tempat tinggalnya. Kontrakan di Jalan Madrasah ini juga dihuni Nurhasan dan Ridwan, belakangan disebut sebagai pengawal Dulmatin. "Yahya berkunjungnya malam hari," kata Imas, yang tinggal di rumah kontrakan sebelah Marko. Ketika datang, biasanya mereka, "Bolak balik dulu, baru masuk rumah. Seperti melihat situasi."
Empat bulan setelah kedatangan -Yahya alias Dulmatin di Pamulang, bom bunuh diri meledak di Hotel Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta Selatan. Aksi teror ini membuat polisi mengerahkan segala kekuatan buat mengejar kom-plotan pelaku teror. Puncaknya tercapai pada 17 September 2009, ketika Detasemen Khusus 88 menembak mati Noor Din M. Top di Solo, Jawa Tengah.
Setelah kematian Noor Din, menurut keterangan sejumlah polisi, kelompok Jamaah Islamiyah menunjuk Dulmatin menjadi pemimpin militer. Ia melakukan koordinasi dan mulai merekrut pasukan. Ia bergabung kembali dengan kolega lamanya: Abdullah Sunata dan Pura Sudarma alias Jaja. Sunata pernah dipenjara karena dituduh me-nyembunyikan Noor Din. Adapun Jaja buron lama, memimpin sejumlah pelatihan dan merekrut para pelaku peledakan bom bunuh diri, termasuk Ikhwan Maulana yang meledakkan Ritz Carlton, tahun lalu.
Awal Januari, mereka mulai menggelar tadrib alias pelatihan militer, yang diwajibkan dalam jihad, di wilayah -Jantho, Aceh Besar. Pesertanya datang dari sejumlah daerah, termasuk Jawa Tengah dan Jakarta. Salah satunya -Sapta Adi alias Ismet Hakiki alias Syailendra, pria asal Banten yang tinggal di Petamburan, Jakarta Pusat. Pada 2004, jejaknya terlihat dalam bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta. Ia meminjamkan sepeda motornya buat Azahari dan Muhammad Rois, buat mengawasi aksi proyek itu.
Malik, tetangganya, mengatakan Syailendra pernah bekerja menjadi petugas satpam di Plaza Senayan. Ia bertemu dengan Syailendra, akhir tahun lalu. "Waktu itu dia bilang mau ke Aceh," katanya kepada Tempo.
Menurut Malik, Syailendra acap kali hilang dan muncul. Kalau pulang, kata dia, Syailendra ditemani orang orang berbeda. Ia pernah melihat tetangganya itu datang bersama lima orang, rata-rata 20 tahun. "Waktu itu dia juga pernah ngajak orang Petamburan, tapi enggak berhasil," tuturnya.
Polisi tak ketinggalan langkah. Mereka mengendus kegiatan ilegal di Aceh. Pada 22 Februari, Detasemen Khusus menyerbu tempat latihan. Belasan orang ditangkap, termasuk Syailendra dan rekannya dari Banten, Zaky Rahmatullah, serta Yudi Zulfahri dari Aceh. Yudi, lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, paling banyak buka suara.
Menurut sumber di detasemen, ketiga tersangka menyebutkan satu nama: Mansur. Dalam pertemuan-pertemuan di Jakarta, Mansur mengaku tinggal di Pamulang. Dialah yang mengkoordinasi pengiriman peserta dari luar Aceh, memasok senjata, serta membiayai pelatihan. Karena menganggap sebagai tokoh penting, detasemen menyelidiki- laki laki itu. Data hasil pemeriksaan Syailendra, Zaky, dan Yudi segera dikirim ke Jakarta.
Bersamaan dengan operasi di Aceh, detasemen ternyata juga menggelar aksi rahasia. Mereka membuntuti anggota anggota jaringan Jamaah Islamiyah di Jakarta. Salah satunya seseorang bernama Yahya di Pamulang. Ia menarik perhatian karena aktif sekali menjalin kontak dengan kelompok Jamaah Islamiyah di Filipina, baik melalui e-mail maupun telepon. Anggota detasemen memotretnya dari kejauhan. "Tapi kami belum tahu, siapa pria yang kami buntuti ini," kata sumber Tempo.
Data dari Aceh merangkai informasi penting. Detasemen menyimpulkan, Mansur sama dengan Yahya yang mereka buntuti di Pamulang. Mereka lalu menunjukkan foto Yahya kepada Yudi, yang langsung berseru: "Dialah Mansur."
Hasil analisis dan cek silang ke bank data yang mereka miliki, detasemen juga menyimpulkan, Mansur alias Yahya ternyata adalah Dulmatin. Tim antiteror kepolisian segera dikerahkan buat memburunya. Satu tim diterjunkan ke Cipayung buat memburu Abdullah Sunata. Rumahnya kosong. Satu tim ke Depok buat mengejar Sofyan dan berhasil menangkap desersi polisi itu. Satu tim lainnya dikirim ke Pamulang, menyerbu Yahya alias Mansur alias Dulmatin.
Tim di Pamulang menyamar dengan berbagai rupa. Sebagian mondar mandir di sekitar rumah Yahya. Sebagian menyewa komputer di lantai dua Multiplus. Senin pagi pekan lalu, mobil minibus Elf warna perak parkir tak jauh dari Multiplus. Sukirman, sopir taksi Koperasi, menduga itu mobil polisi yang sedang mengintai. "Soalnya mobil itu datang lagi esok harinya," ujarnya.
Kali ini mobil Elf beriringan dengan empat Avanza. Mereka parkir di luar Multiplus. Terlihat juga satu mobil boks. Beberapa menit setelah pria berjenggot masuk toko multiguna itu, orang orang bersenjata laras panjang keluar dari mobil dan menyerbu lantai dua. Tembakan terdengar dalam sekejap.
Sejam kemudian, anggota -detasemen menyerbu rumah Yahya alias Dulmatin. Tiba tiba dua orang melesat mengendarai sepeda motor Suzuki Thunder. Tiga puluh meter dari jalan besar, polisi menembak mereka. Keduanya Ridwan dan Hasan Nur, pengawal Dulmatin. Di rumah itu, polisi juga menangkap dua orang bernama Bakti Rahma alias Abu Haikal dan Syaiful Siregar alias Imam.
Kurang dari setahun setelah kepulangannya dari Filipina Selatan, Dulmatin tewas. Curriculum vitae-nya berakhir di tempat persewaan komputer.
Sumber : Tempo - Budi Setyarso, Chetta Nilawati (Jakarta), Joniansyah (Banten), Jalil Hakim (Bali)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".