Wartawan Terancam Hukuman Kurungan
Sebelum reformasi digulirkan, saat tirani pemerintah Orde Baru berkuasa, Surat Ijin Penerbitan Pers sangat terbatas, bahkan cenderung dikebiri hanya media massa yang sudah ada dan yang pro-pemerintah. Begitu reformasi serentak diproklamasikan, seantero Nusantara merayakan “kemerdekaan” untuk kebebasan yang dinamis, yakni kebebasan berpendapat, melakukan investigasi berita dan mengajukan somasi pada kekolotan birokrasi, legeslasi dan yuridis. Dengan bendera reformasi, ratusan ijin penerbitan media massa lokal dan nasional diterbitkan pemerintah, dan assosiasi jurnalis tidak melulu PWI. Posisi “wartawan” sebagai kuli tinta dihargai, fungsi jurnalistik sebagai kontrol sosial yang mengawasi dan mengawal dinamika politik dan pemerintahan dilegalisasi melalui UU Nomor 40 Tahun 1999. Wartawan diperkenankan untuk menulis fakta dengan tanggung jawab etika maupun moral, mereka adalah pejuang yang berpihak pada rakyat tanpa peduli tanda jasa! Bahkan secara universal kaum jurnalis diakui sebagai pejuang kemanusiaan yang siap menjadi tumbal idealisme publik.
Memasuki awal dekade kedua reformasi, tiba-tiba tersiar wacana akan ambruknya hati nurani para Legeslatif digerus RUU RN (Rencana Undang-Undang Rahasia Negara). Undang-undang ini adalah dampak khusus dari UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik) yang telah disyahkan tahun lalu, dan kini masih dalam tahap sosialisasi. Suatu langkah strategis para birokrat untuk membentengi diri mereka secara kelembagaan agar dinamika kebijakan institusinya tidak begitu saja bisa diekspos dan dikonsumsi oleh publik apabila UU KIP dilaksanakan. Dan yang paling akrab dengan implementasi eksplorasi transparansi informasi sudah tentu kaum jurnalis bersama lembaganya. Wartawan dan koorporasinya seakan dilempari timbunan bebatuan agar tenggelam kendati eksistensinya tidak langsung dibredel oleh Pasal 49 RUU Rahasia Negara (RUU RN) yang telah dibahas tuntas Panitia Kerja (Panja) RUU RN yang berbunyi “Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.” Sebuah ancaman yang mengerikan bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di masa reformasi ini.
Seandainya RUU RN menegaskan seberapa luasnya ranah “rahasia negara” yang tidak boleh dikonsumsi publik, niscaya persoalan akan bisa disederhanakan. Dan mungkin UU RN bisa berdampingan dengan aspek fundamental UU KIP yang melembagakan kebebasan informasi sebagai bagian integral hak konstitusional rakyat untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Nyatanya, rahasia negara dirumuskan sangat fleksibel mengesampingkan konsekuensi terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintahan. Dus dengan demikian berarti kebebasan informasi yang menempatkan publik sebagai subyek determinan -bukan sekadar obyek terdeterminasi- dalam proses penyelenggaraan kekuasaan itu kelak seakan digiring ke lembah assasinasi.
Pembahasan sebuah RUU yang menyangkut kemaslahatan seluruh Bangsa yang dilakukan tertutup dan cenderung “slintat-slintut” ini, pada tahap akhirnya Panja RUU RN memang telah memperbaiki rumusan yang “mempersempit” kerahasiaan negara dengan ”informasi tertentu yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembelanjaan serta aset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional”. Namun klasifikasinya masih tidak jelas, sehingga menjadi serba sensitif –pejabat suatu instansi birokrasi di pusat sampai daerah kapan saja bisa mengatakan “rahasia negara”.
Apabila UU RN diterapkan, maka ucapkan “selamat jalan ke hotel prodeo” kepada kaum jurnalis professional karena tidak mampu bayar denda milyaran rupiah, dan “nyaho sia” kepada aktivis LSM yang anti KKN karena akses somasinya dibatasi. Serta bagi koorporasi media massa hendaknya mempersiapkan konsep untuk menginstrusikan kepada wartawannya agar kembali mempopulerkan anekdote mantan Menpen Harmoko “Menurut petunjuk Bapak Presiden” dengan mereduksinya sefleksibel mungkin. Jangan biarkan para jurnalis melakukan investigasi berita dan menulis kenyataan yang didukung fakta demi kelestarian perusahaan dan jaminan hidup keluarga wartawan. Kemudian berikan salam hangat kepada wakil rakyat yang telah berhasil menjalin kerja sama yang solid dengan para birokrat, tanpa perduli nasib rakyat.Terakhir, mari kita bersama-sama memanjatkan doa agar kasus KKN dan suap-menyuap yang pernah terjadi dalam Dewan Perwakilan Rakyat periode 2004-2009 dan Birokrat tidak terulang lagi di masa depan. Sebab hanya Tuhan semata yang tidak akan pernah melanggar janji-janjiNya!
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".