Pemilu Tahun 2004 merupakan langkah Reformasi yang mengawali bangkitnya demokrasi yang bebas dari tekanan penguasa. Setiap warga yang sudah memenuhi persyaratan, memiliki hak satu suara untuk secara langsung menentukan anggota legeslatif dan pemimpin negeri ini untuk lima tahun ke depan. Setelah Pilpres, menyusul kemudian, Pilkada (pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota) secara langsung, hingga Pemilihan Legeslatif baik dari tingkat Kabupaten/Kota hingga Pusat.
Praktik demokrasi di Indonesia dinilai pihak asing sebagai semakin berjalan baik dan kuat. Namun di satu sisi, demokrasi sejak Reformasi digulirkan sebenarnya berjalan dalam sistem kepartaian yang lemah. Dalam setiap pemilu, baik pileg, pilpres dan pilkada, yang menang adalah "golput".
Golput, bukan berarti hanya mereka yang tidak ikut serta memberikan hak suaranya dalam pesta demokrasi, tapi juga mereka yang telah menggunakan haknya untuk menentukan pilihan. Golongan putih yang kedua ini sebagian besar adalah mereka yang memberikan suaranya bukan berdasarkan aspirasi yang mereka yakini. Namun karena "figur, talenta dan kepiawaian" dari tim sukses para calon legeslatif dan para kandidat calon pemimpinnya. Sebagian besar rakyat yang berhak memilih, memberikan suaranya kepada para calon tanpa memandang partai dan ideologi. Dengan kata lain, dalam proses tersebut sistem kepartaian sangat lemah. Padahal, untuk membangun demokrasi dibutuhkan sistem kepartaian yang kuat karena partai adalah salah satu pilar demokrasi.
Lihatlah, selama dekade ini, rakyat antusias mengikuti pemilu - selain golongan putih - tetapi, mereka memilih seseorang dari parpol yang berbeda dengan yang diikutinya. Dalam pemilihan presiden ia memilih calon presiden yang didukung parpol lain yang tidak dipilihnya dalam pemilu legislatif. Begitu juga dalam pemilihan kepala daerah, mereka memilih Bupati/Walikota yang bukan dari parpolnya. Itu adalah bukti mereka tidak loyal kepada parpolnya.
Sistem kepartaian ini semakin melemah setelah munculnya keputusan Mahkamah Konstitusi terkait penetapan calon anggota legislatif terpilih berdasarkan suara terbanyak. Keputusan tersebut memang positif, namun bagi masyarakat awam dan para kandidat yang ambisius, justru memicu makin lemahnya sistem kepartaian menjurus pada perilaku yang individualistis.
Terlebih lagi, dengan sudah mentradisinya "pamer" kekuatan oleh para calon Kepala Desa dan Kepala Dusun (dahulu perangkat desa) dalam pemilih Kades atau Kasun. Di mana, kebiasaaan tebar "angpao" oleh para calon seakan menjadi fenomena yang diharuskan. Dan perilaku itu sendiri oleh aparat berwenang selama ini seakan dibiarkan. Bahkan yang berwajib bersikap menutup mata, dan cenderung menghalalkannya.
Dalam pemilihan kepala desa atau kepala dusun, hingga kepala daerah (bupati/walikota) faktor penentu kemenangan bukan kekuatan parpol dan ideologi parpol maupun pengaruh tokoh-tokoh masyarakat, melainkan lebih ditentukan figur di dalam parpol maupun figur calon. Dan yang lebih menyedihkan, fakta bahwa kemampuan para calon untuk "mendistribusikan" sesuatu yang instan, glamour dan bermanfaat sesaat kepada para konstituen, merupakan syarat yang menentukan dipilih tidaknya sang kandidat.
Fenomena tarnsisi demokrasi yang mungkin tidak sesuai dengan teori tersebut bukan saja menggejala, tapi mengemuka dalam setiap pemilu di era reformasi ini. Sebuah kondisi yang menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi partai-parta di daerah ini yang mengusung calonnya untuk Pilkada 2010. Perolehan suara partai dalam pileg, niscaya tidak akan mutlak mencerminkan calon yang diusung suatu partai bisa meraih kemenangan. Sebab, masyarakat sedang mengalami degradasi psikologi untuk menentukan arah perjuangan mereka dalam kancah politik maupun demokrasi.
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".