Aparat kepolisian (Penyidik) Polda Jabar dalam kasus George Gunawan yang awalnya dijerat dengan 406 KUHP mengenai perusakan kemudian mengubahnya dengan menambahkan pasal 170 KUHP tentang perusakan yang dilakukan bersama-sama. Ini merupakan rekayasa dari Polri. Karena, dengan diberlakukannya pasal 170 KUHP yang ancamannya 5 tahun maka ada alas an polisi untuk menahannya.
Adanya rekayasa itu semakin jelas dengan adanya penangkapan George Gunawan dengan cara perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. George Gunawan yang merupakan seorang pengusaha tersebut sangatlah kooperatif dan bahkan sering membantu institusi Polri, harus ditangkap dengan cara menghentikan atau menghadang kendaraan roda empat yang ditumpanginya oleh beberapa kendaraan aparat.
Kejadian ini, sangatlah menakutkan tersangka karena para aparat itu seperti para perampok yang mendadak menghentikan kendaraan mangsanya. Bahkan, aparat kepolisian itu dengan lantang untuk menyuruh keluar tersangka. Akibatnya, tersangka lari ketakutan dan polisi tanpa akal yang panjang membuang tembakan untuk menghentikan larinya tersangka.
Sebenarnya, kasus George Gunawan ini adalah kasus ringan, yakni adanya perusakan di kantornya sendiri. George Gunawan yang baru diangkat menjadi direktur di perusahaannya PT Metro Garmin Grup, tidak disetujui oleh sang kakak Soegiyanto (mantan direktur). Oleh karena itu, ketika ia masuk ke kantornya, ia menyuruh orang lain untuk merusak kunci pintu dan kaca.
Perusakan ini kemudian dilaporkan oleh karyawannya Hendra Gunawan kepada Polda Jabar. Hendra bukanlah pengurus di perusahaan sesuai dengan perundangan mengenai Perseroan Terbatas. Akibatnya, George Gunawan diproses oleh Polda Jabar dengan dakwaan pasal 406 KUHP, yang kemudian ada perubahan dalam dakwaan menjadi pasal 170 KUHP sehingga harus dilakukan penangkapan dan penahanan dengan cara yang kasar tersebut.
Apakah memang demikian cara kepolisian melaksanakan tugas dan kewenangannya di era reformasi ini? Padahal, Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia lahir dalam era reformasi, yakni pada 8 Januari 2002.
Sehingga alangkah sedihnya, kalau ada aparat kepolisian sekarang ini, yang memakai cara-cara lama lama dalam melaksanakan tugas dan kewenangan. Seperti penyiksaan dalam membuktikan atau mencari terang adanya tindak pidana. Atau, cara pengakapan dengan kekerasan dan juga seperti yang dialami oleh George Gunawan.
Aparat kepolisian, menjadi lupa kalau dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ia harus senantiasa berdasarkan norma hukum dan norma sosial. Hal ini yang diamanatkan oleh pasal 19 ayat 1 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Polri yang menyebutkan, Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma
agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Sehingga apa yang dilakukan oleh penyidik Polda Jabar terhadap George Gunawan, jelas melanggar UU 2 Tahun 2002 tentang Polri, disamping melanggar hak asasi manusia. Kendati penyidik memiliki diskresi seperti apa yang diamanatkan dalam pasal 16 ayat 1 huruf l yang menyatakan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Namun, diskresi itu tidak harus menabrak pasal 16 ayat 2 yang berbunyi, tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut
: a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan e. menghormati hak asasi manusia
Sehingga yang menjadi pertanyaan, apakah penangkapan George Gunawan oleh aparat Polri di Polda Jabar itu sudah patut dan masuk akal serta telah menghormati hak asasi manusia. Dan, ini merupakan lingkup penelahaan dari bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri untuk menafsirkan UU 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Sebab, secara gamblang disebutkan dalam penjelasan undang-undang tersebut, Undang-Undang ini mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Bahkan, adanya penghormatan terhadap hak asasi manusia sangatlah penting. Seperti ditekankan dalam penjelasannya, begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang ini.
Oleh karenanya, dibutuhkan ketegasan dan kearifan dari pemimpin tertinggi di kepolisian, untuk mensosialisasikan secara terus menerus apa yang menjadi amanat dari UU 2 Tahun 2002 tentang Polri berikut penjelasannya. Kalau tidak, maka grand strategi Polri 2005-2025 tidak akan berjalan dengan sempurna dan reformasi Polri akan tersendat-sendat.
Padahal, sesuai pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Mampukah? Tantangan yang harus dihadapi.
(Data Wardhana/anggota Indonesia Police Watch)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".