NUGROHO NOTOSUSANTO, Mantan Meteri Pandidikan dan Kebudayaan, mantan Rektor dan dosen Universitas Indonesia, sejarawan ulung, penulis dan cepernis produktif. Berkat jasa-jasanya ia mendapatkan berbagai bintang penghargaan dari pemerintah RI.
Lahir pada hari Senin, 15 Juni 1931 di desa Padean Rembang, Jawa Tengah. Putra sulung Prof. Mr. R.P. Notosusanto, guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Nugroho Notosusanto mengawali pendidikannya di ELS Malang Jawa Timur, lalu berlanjut ke Sekolah Rakyat di Jakarta.
Pendidikan SMP diselesaikan tahun 1947 dan tahun 1951 ia lulus SMA keduanya di Yogyakarta. Pada tahun 1951 ia hijrah ke Jakarta masuk ke Fakultas Sastra Universitas Indonesia hingga meraih gelar sarjana tahun 1960. Dua tahun kemudian, 1960-1962, ia pergi ke London dan memperdalam pengetahuan di bidang metode sejarah dan filsafat sejarah di University of London. Pada tahun 1979 ia meraih gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu sastra (bidang sejarah) Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Nugroho Notosusanto mulai menulis ketika berada di bangku perguruan tinggi. Saat itu ia banyak bergaul dengan sastrawan yang berkumpul di jalan Madura No.2 Jakarta Pusat seperti HB Jassin, WS Rendra dan Pramudya Ananta Toer. Iapun akrab dengan seniman Senen kendati tak pernah kongkow-kongkow di tempat itu. Nugroho sangat dikenal seniman Senen, dan pada masa-masa itulah ia rajin menulis cerita pendek (cerpen) lantas mengirimkannya ke berbagai majalah. Salah satu majalah yang rutin memuat cerpennya adalah majalah Kisah asuhan HB Jassin.
Dalam cerpen-cerpennya Nugroho mengisahkan rasa tidak puasnya terhadap keadaan pada saat penjajahan Belanda, suasana perang pada saat revolusi kemerdekaan, maupun rasa kemanusiaan yang universal. Misalnya dalam cerpen “Hujan Kepagian” ia mengungkapkan bahwa si Tjon yang sangat dendam pada Belanda dapat meredam emosinya dan melepaskan orang Belanda yang sebenarnya bisa dengan mudah dibunuhnya. Sementara cerpen “Senyum” yang terdapat dalam kumpulan cerpen “Hujan Kepagian” menceritakan tentang konflik dan ketetapan hati seorang bocah usia 14 tahun yang ikut bertempur di medan perang. Si bocah masih sangat mencintai bangku sekolahnya, karena itu selama mengangkat senjata ia selalu ingat akan suasana kelasnya.
Masalah kemanusiaan diangkat Nugroho dalam kumpulan cerpennya “Tiga Kota”. Di situ ia menceritakan tentang kehidupan masyarakat miskin di daerah Gunung Kidul Yogyakarta dan pencurian jeep militer yang marak di tahun 1951. Di dalam kumpulan cerpen itu pula ia mengisahkan kehidupan prajurit yng berjuang merebut kemerdekaan, tetapi setelah jaman kemerdekaan itu tiba ia mejadi penodong lantaran tekanan ekonomi. Dalam berkisah melalui cerpen-cerpennya Nugroho menggunakan bahasa yang humoristis.
Kritikus kondang HB Jassin mengomentari bahwa cerpen-cerpen Nugroho kurang penghayatan. Nugoro tetap Nugroho, ia tak goyah dengan kritik itu dan terus saja menulis. Namun, ketika ia belajar ilmu sejarah di University of Lodon, kegiatannya menulis berkurang. Ia beralih mempelajari bidang sejarah hingga menghasilkan 20 judul karya ilmiah, dan tulisan yang berupa buku, brosur maupun artikel lebih dari 10 judul.
Selama karirnya Nugroho menduduki berbagai jabatan penting yakni Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Rektor Universitas Indonesia sekaligus dosen sastra dan Fisip UI, Kepala Pusat Sejarah ABRI, Dosen Lembaga Pertahanan Nasional, Ketua Panitia Museum Sejarah Tugu Nasional, Wakil Ketua Panitia Penyusun Buku Standar Sejarah Nasional. Disamping berbagai jabatan formal ia juga aktif mengikuti berbagai seminar tingkat internasional di luar negeri.
Nugroho Notosusanto meninggal dunia pada hari yang sama dengan hari lahirnya yakni Senin, tepatnya tanggal 3 Juni 1985 di Jakarta. Berkat jasa-jasanya ia mendapatkan berbagai bitang penghargaan antara lain: Bintang Dharma, Bintang Yudha, Bintang Satya Lencana Perang Kemerdekaan I dan II, Bintang Mahaputra Adi Perdana.
Karyanya antara lain ialah :
1. Hujan Kepagian (kumpulan cerpen, 1958).
2. Tiga Kota (kumpulan cerpen, 1959).
3. Rasa Sayange (kumpulan cerpen, 1961).
4. Hijau Bajuku, Hijau Tanahku (kumpulan cerpen, 1963).
(Dari berbagai sumber. Foto : pusatbahasa/depdiknas)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".