JB MANGUNWIJAYA, lebih dikenal dengan panggilan Romo Mangun,lelaki bernama lengkap Jusuf Bilyarta Mangunwijaya ini adalah seorang Kolumnis yang produktif, novelis dan budayawan kondang yang juga arsitektur jempolan. Ia adalah rohaniwan Katholik yang terkenal dekat dengan rakyat kecil. Hidupnya berada di tengah-tengah perkampungan rakyat miskin di tepian Kali Code Yogyakarta.
Jusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir pada tanggal 6 Mei 1926 di Ambarawa, Jawa Tengah. Anak sulung beradik 11 dari pasangan Yulinus Sumardi Mangunwijaya dengan Serafin Kamdinah. Jusuf Bilyarta adalah nama baptisnya yang disingkat JB. Ia terlahir di tengah-tengah keluarga Katholik yang taat.
Mangunwijaya menamatkan Sekolah Dasar (SD) di Magelang Jawa Tengah, tamat tahun 1943. SMP ia tempuh di Yogyakarta dan lulus tahun 1947 dan SMA juga di kota yang sama diselesaikan tahun 1951. Mangunwijaya masuk ke Perguruan Tinggi Filsafat Theologia Santo Paulus di Yogyakarta selesai tahun 1959 dan ditahbiskan menjadi seorang Pastor atau Romo. Karena statusnya ini ia kemudian akrab disapa Romo Mangun.
Tahun 1960 Mangunwijaya pergi ke Jerman untuk menuntut ilmu di Reinich Westfaeilsche Techniche Hochschule di Achen. Ia juga pernah memperdalam ilmu di Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, di Aspen Colorado Amerika Serikat (AS). Sepulang dari luar negeri ia menjadi dosen luar biasa di jurusan Arsitektur Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, disamping pekerjaannya sebagai rohaniwan, kolumnis, novelis, dan arsitektur bebas di Keuskupan Agung Semarang. Sebagai arsitek Mangunwijaya telah membuat banyak rancangan diantaranya sejumlah lima rumah ibadah di Jawa Tengah dan DIY serta bangunan Markas Kowilhan II di Yogyakarta. Sebagai cendikiawan ulung Mangunwijaya menguasai dengan fasih beberapa bahasa seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Latin, Spanyol dan tentu saja bahasa Jawa dan Indonesia.
Kemampuannya menguasai bahasa itu mengantarkannya berkeliling ke berbagai belahan dunia diantaranya Cina, beberapa negara bagian di Uni Soviet, serta banyak negara di Eropa dan Amerika, untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan mereka. Disamping itu Mangunwijaya juga rajin membaca buku-buku tentang budaya dan sejarah bangsa-bangsa. Berbekal pengetahuan yang maha luas itulah ia lantas berkecimpung di dunia sastra, dunia tulis menulis.
Tahun 1970-an Mangunwijaya mulai menulis kolom di surat kabar. Tulisannya dinilai berbobot dan memiliki dampak sosiologis yang kuat. Para penerbitpun tanggap dan membukukan kolom-kolomnya ke dalam bentuk buku. Nama JB Mangunwijaya pun melambung sejajar dengan nama-nama penulis papan atas di kancah sastra Indonesia modern seperti Umar Kayam, Achdiat Kartamiharja, Idrus dan lain-lain. Satu hal yang menjadi keunggulan Mangunwijaya adalah tokoh-tokoh yang diangkatnya adalah figur manusia biasa atau rakyat jelata.
Novel-novel Mangunwijaya dinilai sebagai anti kepahlawanan, tetapi sebaliknya ia mengangkat orang kecil sebagai pahlawan. Karya-karya non-fiksi Mangunwijaya pun mengatasi konvensi primordialisme agamanya. Ia menjelajahi peradaban Barat dan Timur sampai ke akar-akarnya. Agar pengetahuannya kian dalam Mangunwijaya rajin melakukan kontemplasi. Cara demikian menghasilkan karya tulis yang berwawasan luas, dalam dan universal. Ungkapan-ungkapannya rendah hati namun sarat kebijaksanaan. Tulisannya tentang agama tak hanya mengangkat tema agama Katholik saja, melainkan nafas religius umat manusia dalam perkembangan peradaban.
Mangunwijaya melahirkan banyak karya yang diterbitkan dalam bentuk buku, baik fiksi maupun non fiksi. Sebagai pastor yang dekat dengan masyarakatnya Mangunwijaya memilih tinggal bersama warga bantaran Kali Code Yogyakarta. Ketika banjir melanda Kali Code, ia bersama warga setempat bahu membahu membuat tanggul. Kepada warganya yang memiliki banyak waktu luang ia mengajarkan ketrampilan mengolah bekicot menjadi kripik agar memiliki nilai jual untuk menambah penghasilan. Sikap menyatu Mangunwijaya ini demi membuka pikiran para intelektual, birokrat, atau siapa saja yang berkompeten agar bersama-sama mempedulikan nasib kaum yang terpinggirkan. Janganlah rakyat jelata disingkirkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Romo Mangun bersama barisan kaum miskin Code menentang rencana pemerintah untuk membersihkan bantaran Kali Code dengan menggusur warga yang tinggal di tempat itu. Cara yang ditempuh Mangunwijaya adalah membenahi dan memperindah hunian kumuh Code menjadi kawasan yang indah. Mangunwijaya mempraktekkan langsung keahliannya dalam bidang arsitektur untuk menciptakan bangunan murah dari limbah kayu, bambu atau apa saja menjadi sebuah bangunan murah, sederhana yang memiliki nilai estetika dan seni tinggi serta kuat. Untuk pembudayaan manusia di kawasan hunian yang rata-rata warganya pemulung, pengasong, tukang becak, penyemir sepatu dan bahkan pelaku kriminal Mangunwijaya menghadirkan buku-buku bacaan, koran dan majalah.
Dari Kali Code Mangunwijaya pindah ke pantai Grigak Desa Karang Kelurahan Girikerto, Kecamatan Punggung Gunung Kidul. Sama seperti di Kali Code, di tempat baru itu Mangunwijaya menjadi kawan kaum papa. Dengan ikhlas ia membantu warga setempat untuk mendapatkan air bersih. Air bersih itu didapat dari areal tebing-tebing yang ada di kawasan pegunungan. Sebelumnya, guna mendapatkan air bersih untuk memasak, mencuci maupun mandi warga harus berjalan sejauh satu sampai dua kilometer. Mangunwijaya dibantu masyarakat setempat membangun pipa-pipa saluran air menuju kawasan pemukiman. Di sinilah arsitek kemanusiaan Mangunwijaya yang kondang disapa Romo Mangun itu berperan. Keahlian arsitekturnya yang ditimba di Jerman lebih banyak digunakan untuk membantu rakyat miskin papa.
Mangunwijaya telah menghasilkan banyak sekali karya baik buku fiksi maupun non fiksi. Di awah ini adalah sebagian kecil cuplikannya.
Dari berbagai sumber. Foto : karikatur.
Jusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir pada tanggal 6 Mei 1926 di Ambarawa, Jawa Tengah. Anak sulung beradik 11 dari pasangan Yulinus Sumardi Mangunwijaya dengan Serafin Kamdinah. Jusuf Bilyarta adalah nama baptisnya yang disingkat JB. Ia terlahir di tengah-tengah keluarga Katholik yang taat.
Mangunwijaya menamatkan Sekolah Dasar (SD) di Magelang Jawa Tengah, tamat tahun 1943. SMP ia tempuh di Yogyakarta dan lulus tahun 1947 dan SMA juga di kota yang sama diselesaikan tahun 1951. Mangunwijaya masuk ke Perguruan Tinggi Filsafat Theologia Santo Paulus di Yogyakarta selesai tahun 1959 dan ditahbiskan menjadi seorang Pastor atau Romo. Karena statusnya ini ia kemudian akrab disapa Romo Mangun.
Tahun 1960 Mangunwijaya pergi ke Jerman untuk menuntut ilmu di Reinich Westfaeilsche Techniche Hochschule di Achen. Ia juga pernah memperdalam ilmu di Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, di Aspen Colorado Amerika Serikat (AS). Sepulang dari luar negeri ia menjadi dosen luar biasa di jurusan Arsitektur Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, disamping pekerjaannya sebagai rohaniwan, kolumnis, novelis, dan arsitektur bebas di Keuskupan Agung Semarang. Sebagai arsitek Mangunwijaya telah membuat banyak rancangan diantaranya sejumlah lima rumah ibadah di Jawa Tengah dan DIY serta bangunan Markas Kowilhan II di Yogyakarta. Sebagai cendikiawan ulung Mangunwijaya menguasai dengan fasih beberapa bahasa seperti Inggris, Perancis, Jerman, Belanda, Latin, Spanyol dan tentu saja bahasa Jawa dan Indonesia.
Kemampuannya menguasai bahasa itu mengantarkannya berkeliling ke berbagai belahan dunia diantaranya Cina, beberapa negara bagian di Uni Soviet, serta banyak negara di Eropa dan Amerika, untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan mereka. Disamping itu Mangunwijaya juga rajin membaca buku-buku tentang budaya dan sejarah bangsa-bangsa. Berbekal pengetahuan yang maha luas itulah ia lantas berkecimpung di dunia sastra, dunia tulis menulis.
Tahun 1970-an Mangunwijaya mulai menulis kolom di surat kabar. Tulisannya dinilai berbobot dan memiliki dampak sosiologis yang kuat. Para penerbitpun tanggap dan membukukan kolom-kolomnya ke dalam bentuk buku. Nama JB Mangunwijaya pun melambung sejajar dengan nama-nama penulis papan atas di kancah sastra Indonesia modern seperti Umar Kayam, Achdiat Kartamiharja, Idrus dan lain-lain. Satu hal yang menjadi keunggulan Mangunwijaya adalah tokoh-tokoh yang diangkatnya adalah figur manusia biasa atau rakyat jelata.
Novel-novel Mangunwijaya dinilai sebagai anti kepahlawanan, tetapi sebaliknya ia mengangkat orang kecil sebagai pahlawan. Karya-karya non-fiksi Mangunwijaya pun mengatasi konvensi primordialisme agamanya. Ia menjelajahi peradaban Barat dan Timur sampai ke akar-akarnya. Agar pengetahuannya kian dalam Mangunwijaya rajin melakukan kontemplasi. Cara demikian menghasilkan karya tulis yang berwawasan luas, dalam dan universal. Ungkapan-ungkapannya rendah hati namun sarat kebijaksanaan. Tulisannya tentang agama tak hanya mengangkat tema agama Katholik saja, melainkan nafas religius umat manusia dalam perkembangan peradaban.
Mangunwijaya melahirkan banyak karya yang diterbitkan dalam bentuk buku, baik fiksi maupun non fiksi. Sebagai pastor yang dekat dengan masyarakatnya Mangunwijaya memilih tinggal bersama warga bantaran Kali Code Yogyakarta. Ketika banjir melanda Kali Code, ia bersama warga setempat bahu membahu membuat tanggul. Kepada warganya yang memiliki banyak waktu luang ia mengajarkan ketrampilan mengolah bekicot menjadi kripik agar memiliki nilai jual untuk menambah penghasilan. Sikap menyatu Mangunwijaya ini demi membuka pikiran para intelektual, birokrat, atau siapa saja yang berkompeten agar bersama-sama mempedulikan nasib kaum yang terpinggirkan. Janganlah rakyat jelata disingkirkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Romo Mangun bersama barisan kaum miskin Code menentang rencana pemerintah untuk membersihkan bantaran Kali Code dengan menggusur warga yang tinggal di tempat itu. Cara yang ditempuh Mangunwijaya adalah membenahi dan memperindah hunian kumuh Code menjadi kawasan yang indah. Mangunwijaya mempraktekkan langsung keahliannya dalam bidang arsitektur untuk menciptakan bangunan murah dari limbah kayu, bambu atau apa saja menjadi sebuah bangunan murah, sederhana yang memiliki nilai estetika dan seni tinggi serta kuat. Untuk pembudayaan manusia di kawasan hunian yang rata-rata warganya pemulung, pengasong, tukang becak, penyemir sepatu dan bahkan pelaku kriminal Mangunwijaya menghadirkan buku-buku bacaan, koran dan majalah.
Dari Kali Code Mangunwijaya pindah ke pantai Grigak Desa Karang Kelurahan Girikerto, Kecamatan Punggung Gunung Kidul. Sama seperti di Kali Code, di tempat baru itu Mangunwijaya menjadi kawan kaum papa. Dengan ikhlas ia membantu warga setempat untuk mendapatkan air bersih. Air bersih itu didapat dari areal tebing-tebing yang ada di kawasan pegunungan. Sebelumnya, guna mendapatkan air bersih untuk memasak, mencuci maupun mandi warga harus berjalan sejauh satu sampai dua kilometer. Mangunwijaya dibantu masyarakat setempat membangun pipa-pipa saluran air menuju kawasan pemukiman. Di sinilah arsitek kemanusiaan Mangunwijaya yang kondang disapa Romo Mangun itu berperan. Keahlian arsitekturnya yang ditimba di Jerman lebih banyak digunakan untuk membantu rakyat miskin papa.
Mangunwijaya telah menghasilkan banyak sekali karya baik buku fiksi maupun non fiksi. Di awah ini adalah sebagian kecil cuplikannya.
- Bangunan. 2. Teknologi dan Aspek-aspek Ipoleksosbud. 3. Burung-burung Manyar. 4. Romo Rahadi. 5. Ragawidya. 6. Roromendut dan Pronocitro. 7. Sastra dan Religiusitas.
Dari berbagai sumber. Foto : karikatur.

0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".