"Jangan katakan negara ini negara kaya
kalau orang miskin berkembang di desa dan di kota
jangan sebut dirimu kaya
kalau tetanggamu makan bangkai kucingnya
lambang negara ini mestinya terompah dan belacu
dan perlu diusulkan
agar bertemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda..."
kalau orang miskin berkembang di desa dan di kota
jangan sebut dirimu kaya
kalau tetanggamu makan bangkai kucingnya
lambang negara ini mestinya terompah dan belacu
dan perlu diusulkan
agar bertemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda..."
Camkan baik-baik kutipan Sajak Orang Miskin yang ditulis W.S. Rendra pada medio 1970-an ini saat merenungi hari kelahiran Pancasila tiap tanggal 1 Juni. Sudahkah Pancasila yang digali Bung Karno digunakan dan dilaksanakan sepenuh-penuhnya untuk menghasilkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Di era reformasi ini, Pancasila memang tak lagi digunakan sebagai alat untuk menggebuk rakyat sendiri seperti dilakukan rezim Orde Baru, tapi mengapa Pancasila masih saja dipahami sebatas "mantra kosong tanpa makna" demi merebut dan mempertahankan kuasa? Mengapa masih saja ada jurang menganga di antara nilai-nilai luhur Pancasila dan kehidupan nyata? Apa yang akan kita katakan kepada Bung Karno? Bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkannya kepada sejarah?
Kenanglah apa yang terjadi 63 tahun lalu. Sebelum menyebut lima dasar negara yang kemudian menjelma menjadi Pancasila, Bung Karno lebih dulu menguraikan panjang lebar makna kemerdekaan bagi perjalanan bangsa ke depan. Bung Karno yakin, proklamasi/kemerdekaan yang sedang direbut, diperjuangkan dan dipersiapkan waktu itu adalah ibarat jembatan emas.
Jembatan emas. Apa maksudnya? Bung Karno sebetulnya ingin mengatakan, ketika kemerdekaan berhasil direbut, bukan berarti lalu cita-cita bersama para pejuang bisa serta-merta terwujud dengan sendirinya. Untuk menjamin terwujudnya cita-cita proklamasi, Bung Karno lalu menawarkan agar Indonesia diletakkan di atas lima dasar negara. Nah untuk apa semua proses itu dilakukan? Tak lain tak bukan demi terwujudnya kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kini, 63 tahun berlalu. Pertanyaannya kemudian, apakah Pancasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno telah mewujud di dunia nyata? Lihatlah apa yang terjadi di Silang Monas, 1 Juni 2008, persis saat kita merenung dan memperingati Hari Lahir Pancasila. Segerombolan orang yang menyebut dirinya Front Pembela Islam (FPI) menyerang warga bangsa (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Silang Monas. Puluhan korban berjatuhan, dan aparat negara yang seharusnya melindungi warganya menghilang entah ke mana.
Ketuhanan yang Maha Esa. Mengapa sebagian dari kita tega membelakanginya? Mengapa sebagian dari kita tak kunjung paham, bahwa selain mendambakan masyarakat beriman dan bertakwa, kita juga ingin menekankan hasrat terciptanya kerukunan dan saling menghormati antar umat beragama. Sudah 63 tahun, tapi mengapa masih saja sebagian umat beragama merasa was-was, khawatir, tak tenang, dan merasa dipersulit saat akan beribadah atau mendirikan tempat ibadah. Sementara di sisi lain ada sebagian warga bangsa yang dengan arogan menepuk dada dan memaksakan keyakinan dan kebenaran mereka sendiri.
Kapan kita paham, bahwa demokrasi tak hidup di ruang hampa? Bahwa demokrasi juga mensyaratkan adanya kebersediaan mengakui minoritas dan bertoleransi kepada perbedaan? Bahwa demokrasi pada hakikatnya adalah menciptakan dan menjalankan kesepakatan tanpa jalan kekerasan? Bahwa demokrasi pada hakikatnya adalah mentransfer konflik jalanan yang berpotensi memicu kekerasan ke meja-meja perundingan? Kerusuhan di Monas, kasus Ahmadiyah, dan konflik-konflik bernuansa agama yang masih saja terjadi menunjukkan kepada kita bahwa di sudut ini Pancasila (khususnya sila pertama) ternyata belum merasuki akal budi kita semua.
Simak juga apa yang terjadi di Universitas Nasional (Unas) begitu pemerintah menaikkan harga BBM. Polisi, bagai segerombolan serigala menyerbu domba, menyerang mahasiswa yang berdemo menyuarakan kepedihan rakyat sampai ke dalam kampus. Bagaimana kita masih bisa mengucapkan sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab pada upacara bendera? Sila kedua Pancasila ini mewajibkan pemenuhan dan perlindungan hak dasar manusia dan warga negara. Bagaimana bisa aparat negara dengan sesuka hati, mentang-mentang berkuasa, melakukan tindak kekerasan kepada anak bangsa yang seharusnya dihormati dan dilindungi hak dan kemerdekaannya?
Persatuan Indonesia. Setelah 63 tahun, masih saja ada warga bangsa yang ingin mendirikan negara sendiri. Masih ada pula warga bangsa yang merasa diri mayoritas, dan memandang sebelah mata minoritas dan merasa lebih berhak atas negeri ini dibanding yang lain. Kita mengakui, keadilan dan kesejahteraan memang belum merasuki sekujur negeri, tetapi apakah separatisme menjadi satu-satunya jalan keluar?
Memang benar, reformasi berhasil membongkar sistem otoriter yang dihelat Soeharto. Tetapi mengapa runtuhnya sistem otoriter itu menghasilkan sistem demokrasi -yang disebut Ketua Umum Megawati Soekarnoputri-sebagai demokrasi prosedural? Benar, pemimpin dipilih oleh rakyat dan kebijakan pemimpin acapkali sudah mendengar suara rakyat. Namun pertanyaannya, entah bagaimana prosesnya dan perumusannya, kebijakan yang lahir sama sekali tidak mencerminkan keberpihakan pada rakyat yang memilih mereka, yang tadinya didengar aspirasinya, dan diperjuangkan kepentingannya.
Itulah sebabnya kita juga juga musti merenungi sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat dan Permusyawaratan Perwakilan. Kini, praktik demokrasi semakin mahal, semakin menjadi milik mereka yang punya uang. Untuk menjamin hak dipilih atau menduduki jabatan publik, seseorang tak cukup memenuhi persyaratan formal. Mereka juga harus berkocek tebal atau ditopang makhluk-makhluk yang bergelimang uang. Sementara rakyat biasa hanya mampu mengecap sisa-sisa, mematuki remah-remah. Yang tersisa tinggal hak memilih, itupun dihantui iming-iming yang bisa membelokkan kemudi hati nuraninya.
Akibatnya, seperti diungkapkan Ibu Mega, demokrasi tetap berkutat pada demokrasi prosedural, tak kunjung melangkah maju pada apa yang disebut demokrasi substantif. Dampak selanjutnya, rakyat tetap saja menderita. Lihat apa yang terjadi dengan korban lumpur Lapindo di Porong. Mereka tetap saja tak tersentuh beragam instrumen penegakan hukum yang menjadi sistem demokrasi. Mereka dibiarkan melakukan negosiasi dengan pemilik uang sambil dikepung peraturan-peraturan yang sedemikian rumitnya sehingga sampai ini hari tak kunjung memperoleh hak-hak substantifnya.
Simak juga laporan majalah Tempo beberapa waktu lalu. Reformasi yang menghasilkan demokrasi prosedural menciptakan tebing-tebing curam dalam keadilan sosial. Sumber-sumber ekonomi tetap dikuasai para elite ekonomi Orde Baru. Rakyat tetap saja menyandang predikat korban, setelah selama 32 tahun menjadi korban perilaku kanibal elite ekonomi Orde Baru. Kenaikan harga BBM adalah contoh mutakhir dikorbankannya rakyat demi kepentingan-kepentingan absurd para elite ekonomi kita.
Kalau sudah begini, bagaimana kita masih punya muka kepada para pejuang dan pendiri bangsa yang menyaksikan tingkah-polah kita dari masa silam? Apakah ini yang disebut kebijakan pro-keadilan sosial? Bagaimana kita bisa menyebutnya selaras dengan sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia kalau kebijakan itu membuat rakyat semakin menderita? Lalu kemana perginya amanat penderitaan rakyat? Tak heran kalau penyair sekelas W.S. Rendra memotret nasib rakyat kita ke dalam bait-bait puisi, dan menyuguhkannya ke depan wajah kita agar segera bisa memperbaiki diri.
Ah, begitu melelahkannya mengikuti perjalanan bangsa ini. Tapi jangan sampai ada kata menyerah. Karena, seperti kata Bung Karno: "Revolusi belum selesai. For a fighting nation, there's no journey's end."
Hanya kita, kita sendirilah yang bisa menentukan nasib bangsa. Para pendiri bangsa telah menyediakan sebuah jembatan emas melalui pertarungan yang berdarah-darah. Dan setelah itu, kita jualah yang memutuskan: mau terperosok ke jurang kehinaan atau lembah keadilan dan kemakmuran?
By : Sirmadji
(Putera Trenggalek)
Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur
(Putera Trenggalek)
Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Timur
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".