RADEN MAS NGABEHI POERBATJARAKA, Bapak perintis Ilmu sastra Indonesia. Bapak Epigrafi Indonesia. Ia melakukan penelitian di bidang sastra Indonesia kuno kususnya bahasa Jawa. Perintis berdirinya Fakultas Sastra UGM. Sebagai ahli sastra Indonesia lama ia disebut-sebut tak memiliki tandingan.
Jika dewasa ini masyarakat dapat menikmati Sendratari Ramayana, membaca Ramayana, Arjunawiwaha, Dewa Ruci, Smaradahana, Nitisastra dan warisan kekayaan Sastra Indonesia dari Jawa yang begitu melimpah, itu sebagian besar berkat jasa penelitian dan terjemahan Prof. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatajraka.
Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka lahir bulan Januari 1884 di Surakarta, Jawa Tengah. Ia terlahir dengan nama Leisija yang berarti lucu, putra pasangan RMT Purbodipuro dengan Raden Ajeng Semu. Darah seni yang mengalir kepadanya berasal dari kakek pihak ayah yang bernama Josodipuro. Leisija Poerbatjaraka adalah anak nomor dua Raden Mas Tumenggung Poerbadipoera, Bupati Anom Kasunanan Surakarta. Hubungan antara Bupati Anom dengan Sunan Paku Buwono X baik sekali, karena sejak bayi, sunan ini diasuh oleh Tumenggung Poerbadipoera. Pendidikan tari-nyanyi-sastra diberikan oleh Bupati Anom tersebut.
Pada awalnya ia masuk sekolah rendah Jawa. Saat menjadi anak abdi dalem Kraton Surakarta, ia mendapat tugas mengantarkan putra-putri Susuhunan Paku Buwono X ke ELS, sekolah yang hanya bisa dimasuki keluarga kraton dan orang-orang kaya. Kesempatan itu tak disia-siakannya. Ia pandai mencuri-curi kesempatan mempelajari bahasa Belanda. Caranya ia ikut mendengarkan dan menyimak pelajaran Bahasa Belanda kendati hal itu hanya bisa ia dapatkan di luar ruang kelas.
Pada tahun 1900 ia tamat ELS “tak resmi”. Leisija lantas diangkat sebagai pegawai magang di Kraton Surakarta, dengan nama Atmopradonggo. Nama itu disesuaikan dengan tugas yang diembannya di kraton yakni sebagai penabuh gamelan, menyelenggarakan uyon-uyon serta “nembang” atau melantunkan lagu-lagu Jawa. Suatu hari ia diajak kawan-kawannya bergabung dengan perkumpulan “Sita Dinuja”, namun tawaran ini ditolaknya. Alasan Leisija Atmopradonggo adalah nama perkumpulan itu tak disukainya karena “Sita” berarti dingin sedangkan “Danuja” berarti anak Danu atau Danuja yang berarti raksasa. Dengan demikian “Sita Danuja” mengandung arti raksasa yang kedinginan. Penolakan itu menyulut sakit hati kawan-kawannya. Purbatjaraka dikucilkan dan difitnah.
Suatu saat ia dipanggil Susuhanan Paku Buwono X untuk menerima hukuman lantaran kesalahannya melanggar peraturan kraton karena bermain mata dengan seorang putri kraton, serta menyalahgunakan gunakan kepercayaan raja. Fitnah yang berhasil. Atmopradonggo dipecat. Ia berusaha mendapatkan pekerjaan dengan melamar sebagai pegawai di Museum Radja Pustaka, namun ditolak.
Pada tahun 1905 Leisija diangkat sebagai mandor jalan, namun pekerjaan ini hanya sebentar saja ia lakoni. Tugas sebagai pengawas kebersihan jalan, selokan dan pohon-pohon perindang tak pernah ia minati. Di sela-sela istirahatnya ia memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dirintisnya, yakni bahasa dan sastra Indonesia. Tak betah dengan pekerjaannya Leisija merantau ke Jakarta. Di tempat baru itu ia belajar bahasa Jawa Kuno dan Sansekerta pada Dr. N.J. Krom. Ia juga berguru Bahasa Jawa pada Dr. Stein Callaenfels.
Tahun 1915 Leisija kembali ke Surakarta dan bekerja sebagai pustakawan di Museum Radya Pustaka. Dua tahun kemudian ia pindah bekerja ke Museum Jakarta. Pada tahun 1921 Leisija mendapat bea siswa dari yayasan Kern untuk meneruskan pendidikan di Universitas Leiden Belanda. Ia mengambil jurusan bahasa Arya dan lulus dengan predikat cum laude tahun 1926 setelah mempertahankan tesis “Agastya in den Archipel” (Agastya di Nusantara Ini). Ia merupakan orang Indonesia kedua yang memperoleh gelar tersebut. Yang pertama adalah Prof. Dr. R.A. Husein Djajadiningrat.
Pada tahun 1928 Leisija kembali ke tanah air dan berganti nama menjadi Poerbotjaroko. Ia kembali bekerja di Museum Pusat Jakarta sembari meneruskan penelitian di bidang sastra Jawa yang pernah dirintisnya sebelum berangkat ke Negeri Belanda. Berkat penelitiannya itu ia dijuluki sebagai “Bapak dan perintis ilmu Sastra Indonesia”.
Di bidang sastra Indonesia lama terutama bahasa Jawa Kuno Purbatjaroko tampil nyaris tanpa tandingan. Anggapan ini juga datang dari sarjana Belanda Dr. C. Hooykas. Poerbatjaroko juga diakui sebagai perintis dalam bidang lapangan monografi dan epigrafi pertama di Indonesia. Ia sangat ahli dalam bidang studi kakawin Smaradahana. Sejak tahun 1914 Poerbotjaroko telah menghasilkan 73 judul tulisan dalam bahasa Belanda.
Pada jaman kemerdekaan Poerbotjaroko mengajar dan membantu di Dinas Purbakala RI, disamping mengerjakan tugas menyusun pembentukan Fakultas Sastra pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Setelah Fakultas Sastra UGM berdiri, ia mendapatkan status sebagai Guru Besar. Selanjutnya pada periode 1950-1955 ia menjadi Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) dan dosen pada Uiversitas Nasional Jakarta.
Pada tanggal 3 Mei 1964 civitas akademika Universitas Nasional Jakarta memberinya gelar “Mpu” atas jasa-jasanya di bidang penelitian dan pengembangan ilmu sastra di Indonesia. Prof. Dr. Poerbotjaroko meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1964. Karya Poerbotjaroko menghasilkan banyak sekali karya tulis di bidang ilmu sastra dan sejarah nusantara. Salah satunya berudul De dood van R Wijaya den eersten Koning en stichter van Majapahit (Kematian Raden Wijaya, Raja Pertama dan Pendiri Majapahit).
Dari berbagai sumber. Foto: id.wikipedia.org
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".