Tempuh Jarak 237,6 Km dengan Satu Liter Bensin
Prestasi membanggakan diraih mahasiswa Indonesia lagi. Kali ini yang mencatatkannya adalah mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya dalam Shell Eco Marathon (SEM) Asia pada 8-10 Juli lalu di Sirkuit Sepang, Kuala Lumpur, Malaysia. ITS menyabet juara dalam kategori urban concept dengan bahan bakar bensin. Berikut laporan wartawan Jawa Pos KHAFIDLUL ULUM yang baru pulang dari Malaysia.
---
GALIH Priyo Atmojo serius memelototi mesin mobil Sapu Angin 2 karya timnya, Mesin ITS 2. Sebagai ketua tim, dia bertangung jawab penuh terhadap kesiapan Sapu Angin 2 untuk berlaga di ajang bergengsi antar perguruan tinggi se-Asia tersebut. Kesalahan sedikit saja akan mengakibatkan mobil mini itu tidak bisa melaju.
Siang pada 8 Juli lalu adalah saat-saat menentukan bagi kerja keras Galih bersama delapan teman dari Fakultas Teknik Mesin ITS. Dia mesti mempersiapkan mobil tersebut agar lolos dari inspection technical, safety test, dan slalom test. Yaitu, pengujian secara menyeluruh terhadap mobil, mulai mesin, bahan bakar, berat mobil, bodi, rem, hingga kondisi lain.
"Kurang sedikit saja, mobil tidak lolos tes," jelas Galih, yang baru tadi malam (13/7) tiba di Bandara Juanda bersama tim Sapu Angin 2.
Tes kesiapan kendaraan itu memang sangat ketat. Jawa Pos melihat langsung tes tersebut. Misalnya, tes rem. Mobil dinaikkan ke atas lempengan besi berbentuk tanjakan. Pengemudi diminta mengerem mobil yang turun. Jika masih bergerak saat direm, mobil harus diperbaiki sampai remnya betul-betul sempurna.
Bagi Sapu Angin 2, seluruh tes itu bisa dilalui dengan sukses. Selain rem, mobil berbobot 93 kg (aturan maksimal 120 kg) dengan panjang 260 cm, lebar 125 cm, dan tinggi 114 cm tersebut lulus persyaratan lain untuk berlaga. Maka, Sapu Angin 2 pun boleh mengikuti "defile" peserta kontes mobil irit bahan bakar kali pertama tingkat Asia itu.
Selain Indonesia, kompetisi tersebut diikuti wakil Malaysia, Singapura, Thailand, Jepang, Tiongkok, Pakistan, India, Filipina, dan Iran. Total, ada 81 tim yang berlaga dalam helatan itu. Indonesia mengirim sembilan tim. Mereka berasal dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan ITS. ITS menampilkan dua mobil, yakni Sapu Angin 1 dalam kategori prototipe futuristis dan Sapu Angin 2 dalam urban concept. UI mengirim tiga mobil (Keris, Equator, dan Pasopati). ITB memberangkatkan tiga tim (Cikal, Rajawali, dan Heave) dan UGM mengirim satu tim (Semar).
Even itu bukan lomba kecepatan mobil, melainkan kompetisi mobil irit bahan bakar dengan jarak tempuh terjauh. Jadi, mobil yang mampu berjalan paling jauh dengan bahan bakar paling irit keluar sebagai pemenang. Setiap mobil harus menempuh lima kali putaran (terhitung satu race) di Sirkuit Sepang. Dalam race pertama, Sapu Angin 2 berhasil menempuh jarak 72 km dengan satu liter gasoline (bensin).
Hasil itu diketahui setelah tim penguji melakukan pengukuran di laboratorium pengujian bahan bakar. Hasil pengujian bahan bakar tersebut akan langsung terpampang pada layar monitor yang dipasang di berbagai sudut arena lomba. Dengan begitu, hasil itu diharapkan objektif dan kevalidannya bisa dipertanggungjawabkan.
Setiap mobil diberi kesempatan menjajal kemampuan mesin dalam lima race sampai bisa menempuh jarak terjauh dengan bahan bakar superirit. Begitu pula yang dilakukan oleh tim Sapu Angin 2. Setelah race pertama, Galih dkk melakukan berbagai perbaikan agar jarak tempuh Sapu Angin 2 lebih jauh. Mereka kemudian mengeset ulang mesin mobil berwarna kuning itu. Ada beberapa bagian mesin yang diganti.
Hasilnya sungguh di luar dugaan. Pada race kedua, mobil yang baru tuntas sebelum berangkat ke Malaysia tersebut berhasil menempuh jarak lebih jauh. Sapu Angin 2 mampu mengarungi jarak 237,6 km dengan "hanya" satu liter bensin. Itulah jarak terjauh yang bisa ditempuh mobil peserta. Tim ITS pun berhak menyandang gelar juara untuk kategori urban concept dengan bahan bakar bensin. Peringkat kedua dan ketiga direbut wakil Indonesia lainnya. Yakni, Pasopati dengan jarak 61,8 km dan Equator dengan jarak 54,5 km. Sementara itu, kategori prototipe futuristis dimenangi tim Kong Thabbok Upatham Changkol dari Kho So Tho Bo School, Thailand. Mobil mereka mampu menempuh jarak 1.521,9 km dengan satu liter bensin.
Galih mengatakan, keberhasilan Sapu Angin 2 menempuh jarak 237,6 km tidak lepas dari kerja keras timnya. Selain memodifikasi mesin dalam race kedua, Alfian Hudan Nuzula yang mengemudikan mobil itu sudah menguasai medan. Termasuk, saat mobil melalui tanjakan.
"Dalam race kedua, Alfian menguasai sirkuit," jelasnya.
Selain Galih dan Alfian, tim Sapu Angin 2 beranggota Dyah Putranto Harmy, Niken Ariginanti Handamari, Eko Hardianto, Iswahyudi Rahmanu, Masgifcayunas, Fahri Nugrahansyah Putra, dan Wiyoko Yudantara. Mereka didampingi dosen pembimbing Ir Wicantyo dan Kajur Teknik Mesin Fakultas Teknik Industri Herman Sasongko.
Dalam SEM 2010, kompetisi dibagi dalam dua kategori kendaraan, yaitu prototipe futuristis dan urban concept. Kendaraan yang masuk kategori prototipe futuristis, umumnya, memiliki bentuk yang sangat aerodinamis dan menggunakan tiga roda mirip gokar. Sedangkan kendaraan yang masuk kategori urban concept mirip dengan kendaraan roda empat. Hanya, ukurannya mini.
Menurut Shell Executive Vice President for Global Business Tan Chong Meng, SEM dimulai pada 1939 di Amerika Serikat oleh laboratorium riset Shell sebagai pertandingan kendaraan paling irit bahan bakar. Dalam format modern, SEM dimulai pada 1985 di Prancis. Sedangkan pada 2007, even bergengsi itu dihelat di Amerika.
"Baru kali ini SEM diadakan di Asia," jelas Chong Meng di sela-sela lomba. Menurutnya, selain bertujuan mempromosikan efisiensi konsumsi bahan bakar untuk kendaraan bermotor, even itu mengajak mahasiswa berlomba kreatif dalam menciptakan kendaraan unik yang irit bahan bakar. "Kami melibatkan mahasiswa agar potensi kreatif mereka terasah," jelasnya.
Karena baru kali pertama diadakan di Asia, tim dari Indonesia belum bisa memahami medan secara detail. Berbeda dengan tim dari negara lain yang pernah mengikuti SEM di Amerika.
"Tim Indonesia masih awam terhadap kondisi di lapangan. Salah satu contohnya, saat kendaraan turun dari tanjakan, mesin masih dinyalakan," kata Jayan Sentanuhady, pembimbing tim Semar. Berbeda dengan tim dari negara lain, kala melewati tanjakan, mereka menggunakan sistem gliding, meluncur dalam kondisi mesin mati.
"Jika sejak awal mengetahui hal itu, para mahasiswa akan melakukan hal sama. Dengan begitu, bahan bakar lebih irit," jelas laki-laki asal Banyuwangi itu. (See original news: JawaPos)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".