SOEMAN HASIBUAN, seorang sastrawan berbakat yang namanya bisa disejajarkan dengan sastrawan papan atas Indonesia. Ia banyak mengangkat tema kawin paksa yang merugikan wanita. Para pengamat sastra memasukkan namanya sebagai pelopor penulisan cerita pendek dan cerita detektif.
Soeman Hasibuan lahir 4 April 1904 di Batantua, Bengkalis. Ayahnya bernama Wahid Hasibuan atau lebih dikenal dengan Lebai Wahid dan ibunya Tarumun Lubis adalah petani kelapa, nanas dan pisang di desa Hutanopan, Kecamatan Barumun, Tapanulis Selatan. Wahid Hasibuan, ayah Soeman, masih keturunan bangsawan, pernah menjadi kepala adat (Kuria) dan guru mengaji (Lebai).
Pada tahun 1912 Soeman memasuki pendidikan dasar pada sekolah Melayu, lulus tahun 1918. Berbekal ijasahnya itu ia meneruskan pendidikan pada Normaal Cursus di Medan. Dua tahun kemudian pendidikannya berlanjut ke Normaal School Bangsa Aceh, lulus tahun 1923. Tahun itu pula ia kembali ke Bengkalis dan oleh pemerintah Belanda Soeman Hasibuan diterima bekerja sebagai guru bahasa Melayu di HIS Indrapura, wilayah Kasultanan Siak.
Soeman tertarik mendalami sastra pada waktu masih berada di kelas empat sekolah Melayu. Pada awalnya Soeman tertarik membaca buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka yang tersedia di perpustakaan sekolahnya. Buku-buku terjemahan karya asingpun juga tersedia. Ia membaca semua buku yang ada di perpustakaan sekolah. Karena jumlahnya terbatas, untuk memenuhi hasrat membacanya yang kelewat tinggi satu judul buku dibacanya berulang-ulang. Berbekal kekayaan bacaan itulah Soeman mulai menulis cerita. Ia mengangkat kisah-kisah yang terjadi di sekitar selat Malaka, dari Bengkalis hingga Singapura. Satu tema yang mendapat perhatiannya adalah persoalan adat perkawinan. Ia melihat ketidakadilan yang dialami kaum perawan dalam adat perkawinan yang sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mencari jodoh sendiri. Jodoh anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Soeman menentangnya. Ia lantas mengangkat pena dan menuangkan kisah itu dalam roman berjudul “Kasih tak Terlerai”.
Pada tahun 1923 Soeman mulai menulis berita dan mengirimkannya ke Harian Sinar Deli dan Warta Deli di Medan. Ia juga menulis cerita pendek yang dimuat di Majalah Panji Pustaka dan Sri Pustaka. Sambutan penerbit yang sangat antusias memuat naskah tulisan Soeman, memicu semangatnya untuk terus berkarya. Apalagi ia mendapatkan imbalan yang cukup lumayan. Namanya kian sejajar dengan sastrawan senior seperti Marah Rusli. Ia memperkuat jajaran pengarang angkatan Balai Pustaka sekaligus Pujangga Baru.
Masyarakat sastra Indoensia menilai Soeman sebagai pelopor penulisan cerita pendek. Kumpulan cerita pendeknya diberi judul “Kawan Bergelut”. Sementara ia pun dikenal sebagai pelopor cerita detektif yang terurai dalam romannya yang berjudul “Mencari Pencuri Anak Perawan”.
Pada sekitar tahun 1957 bersama Wan Ghalib, A Djalil M, Mhd Sabri, Ali Rasahan, Azhar Husni, Hasan Ahmad, Umar Amin Husin, Tengku Arif, Dt Bandaro Sati, Makrifat Marjani, Nahar Efendy, dan lain-lain, Soeman Hasibuan menerbitkan Riau Pos yang hingga kini masih eksis sebagai media massa daerah.
Soeman tak pelit membagikan ilmunya kepada generasi muda. Ia selalu memberikan resep cara terbaik untuk menjadi seorang pengarang yakni calon pengarang harus memiliki syarat yakni bakat, kemampuan berbahasa, pengetahuan luas serta banyak membaca. Tak hanya di dunia tulis menulis, Soeman Hasibuan juga aktif mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia lewat corong RRI Pekanbaru. Karyanya antara lain ialah: Kawan Bergelut, Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan. dan Tebusan Darah.
(Dari berbagai sumber : Foto : melayuonline)
Soeman Hasibuan lahir 4 April 1904 di Batantua, Bengkalis. Ayahnya bernama Wahid Hasibuan atau lebih dikenal dengan Lebai Wahid dan ibunya Tarumun Lubis adalah petani kelapa, nanas dan pisang di desa Hutanopan, Kecamatan Barumun, Tapanulis Selatan. Wahid Hasibuan, ayah Soeman, masih keturunan bangsawan, pernah menjadi kepala adat (Kuria) dan guru mengaji (Lebai).
Pada tahun 1912 Soeman memasuki pendidikan dasar pada sekolah Melayu, lulus tahun 1918. Berbekal ijasahnya itu ia meneruskan pendidikan pada Normaal Cursus di Medan. Dua tahun kemudian pendidikannya berlanjut ke Normaal School Bangsa Aceh, lulus tahun 1923. Tahun itu pula ia kembali ke Bengkalis dan oleh pemerintah Belanda Soeman Hasibuan diterima bekerja sebagai guru bahasa Melayu di HIS Indrapura, wilayah Kasultanan Siak.
Soeman tertarik mendalami sastra pada waktu masih berada di kelas empat sekolah Melayu. Pada awalnya Soeman tertarik membaca buku-buku sastra terbitan Balai Pustaka yang tersedia di perpustakaan sekolahnya. Buku-buku terjemahan karya asingpun juga tersedia. Ia membaca semua buku yang ada di perpustakaan sekolah. Karena jumlahnya terbatas, untuk memenuhi hasrat membacanya yang kelewat tinggi satu judul buku dibacanya berulang-ulang. Berbekal kekayaan bacaan itulah Soeman mulai menulis cerita. Ia mengangkat kisah-kisah yang terjadi di sekitar selat Malaka, dari Bengkalis hingga Singapura. Satu tema yang mendapat perhatiannya adalah persoalan adat perkawinan. Ia melihat ketidakadilan yang dialami kaum perawan dalam adat perkawinan yang sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk mencari jodoh sendiri. Jodoh anak sepenuhnya berada di tangan orang tua. Soeman menentangnya. Ia lantas mengangkat pena dan menuangkan kisah itu dalam roman berjudul “Kasih tak Terlerai”.
Pada tahun 1923 Soeman mulai menulis berita dan mengirimkannya ke Harian Sinar Deli dan Warta Deli di Medan. Ia juga menulis cerita pendek yang dimuat di Majalah Panji Pustaka dan Sri Pustaka. Sambutan penerbit yang sangat antusias memuat naskah tulisan Soeman, memicu semangatnya untuk terus berkarya. Apalagi ia mendapatkan imbalan yang cukup lumayan. Namanya kian sejajar dengan sastrawan senior seperti Marah Rusli. Ia memperkuat jajaran pengarang angkatan Balai Pustaka sekaligus Pujangga Baru.
Masyarakat sastra Indoensia menilai Soeman sebagai pelopor penulisan cerita pendek. Kumpulan cerita pendeknya diberi judul “Kawan Bergelut”. Sementara ia pun dikenal sebagai pelopor cerita detektif yang terurai dalam romannya yang berjudul “Mencari Pencuri Anak Perawan”.
Pada sekitar tahun 1957 bersama Wan Ghalib, A Djalil M, Mhd Sabri, Ali Rasahan, Azhar Husni, Hasan Ahmad, Umar Amin Husin, Tengku Arif, Dt Bandaro Sati, Makrifat Marjani, Nahar Efendy, dan lain-lain, Soeman Hasibuan menerbitkan Riau Pos yang hingga kini masih eksis sebagai media massa daerah.
Soeman tak pelit membagikan ilmunya kepada generasi muda. Ia selalu memberikan resep cara terbaik untuk menjadi seorang pengarang yakni calon pengarang harus memiliki syarat yakni bakat, kemampuan berbahasa, pengetahuan luas serta banyak membaca. Tak hanya di dunia tulis menulis, Soeman Hasibuan juga aktif mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia lewat corong RRI Pekanbaru. Karyanya antara lain ialah: Kawan Bergelut, Kasih Tak Terlerai, Percobaan Setia, Mencari Pencuri Anak Perawan. dan Tebusan Darah.
(Dari berbagai sumber : Foto : melayuonline)
Sebaiknya, Anda baca juga :
- Sarian Ismail, Sastrawati Dari Sumatera Barat
- Rosihan Anwar, Jurnalis Kawakan Pantang Menyerah
- RM Ng. Poerbatjaraka, Bapak Perintis Ilmu Sastra Indonesia
- Romo Mangun, Pendekar Rakyat Jelata
- WS Rendra, Sang Burung Merak
- Daftar Artikel Biografi Tokoh Seni/Sastra Indonesia
2 Komentar:
salam shaabat
ehm lahirnya pada april dan memang belisu sososk yang sangat disegani meski tak dikenali eh baru kenal saya xixixixi,kalau ada satrawan seperti itu bisa bagus mendukung dan menjunjung wanita nuh....ta komentari yang ini kkan lainnya daj di komentari hehheheh good luck
@Dhana/戴安娜: Sejak dulu daku selalu menghormati wanita, sejak masih di kandungan Umi...hehehe... Insyaallah. Thanks yaaa... daku tersanjung bila dikau komen.
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".