Oleh Nurani Soyomukti*)
Adalah Toni Saputra orang yang pertama kali menyajikan karya yang pertama kali diapresiasi dalam acara Arisan Sastra bulanan QLC (Quantum Litera Center) Trenggalek sejak September 2010 lalu. Penyair muda Trenggalek yang namanya sudah mulai di kenal di dunia sastra Jawa Timur ini waktu itu memberanikan diri untuk menyajikan antologi puisi yang telah dibukukan, yang dia beri judul “Jalanan Di Kotaku Berlobang” (Sembilan Mutiara Publishing, 2010). Judul ini selalu jadi bahan pembicaraan sejak saat itu karena di dalamnya menceritakan keluh-kesahnya tentang jalanan di Trenggalek yang penuh lobang.
Puisi Toni menjadi saksi bahwa masalah jalan sebagai salah satu infrastruktur penting di Trenggalek akan tetap mengemuka. Kisahnya melengkapi apa yang sering kita dengar dari cerita keseharian. Tentang seorang pengendara yang tersungkur di jalan setelah ia melewati lobang yang dalamnya minta ampun. Tentang orang-orang yang malas keluar wilayah kecamatannya karena takut menghadapi jalan-jalan yang rusak—seperti orang-orang yang memilih memakai jasa calo untuk mengurusi surat di Trenggalek (pusat kota) daripada mengurusi surat-surat sendiri.
Kira-kira enam bulan lalu, saya meluncur ke Munjungan, sebuah kecamatan dengan jalannya yang medannya sangat sulit ditambah lagi mulai berlobang-lobang, menggunakan sepeda motor berdua, bersama Misbahus Surur, seorang pemuda kelahiran munjungan yang saat ini sedang menempuh studi tahap akhir di pasca-sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang. Gara-gara jalan yang berlobang, tepat di puncak gunung (yang dikenal ‘Pemancar’) ban motor kami bocor. Pada hal waktu itu sudah gelap, kira-kira jam 18.30 malam, dengan suasana hujan gerimis.
Situasi semacam itu benar-benar menyiksa. Jalan yang jelek, penuh lobang yang menyebabkan batu-batu lancip berserak di jalanan membuat ban kendaraan bisa bocor. Situasi semacam itu pulalah yang membuat Surur (panggilan Misbahus Surur) jarang pulang ke kampungnya. Ia adalah seorang pemuda yang cerdas, penulis dan sastrawan muda, esai sastra dan puisi-puisinya telah tersebar di berbagai media nasional (Jawa Pos, Lampung Pos, Suara Karya, Seputar Indonesia, dll). Bahkan, sejak ia ikut mendirikan Arisan Sastra bulanan yang sudah berjalan setahun ini, ketika ia sudah datang di Trenggalek untuk hadir di acara tiap bulan yang selama ini di laksanakan di tempat-tempat seputar Trenggalek kota, ia jarang sekali mau mampir ke kampungnya, Munjungan.
Saya mengambil kesimpulan, tampaknya medan yang sulit untuk dilewati membuat ia malas. Apalagi akhir-akhir ini, jalan ke Munjungan bukan hanya berlobang, tetapi rusak dan hancur, membuat orang yang mau lewat merasa malas, ngeri, dan sengsara. Bisa kita hitung berapa manusioa di dunia ini yang rela bersengsara-sengsara untuk melewati jalan yang menyengsarakan, yang kadang membuatnya sudah putus asa untuk sampai tujuan. Yang kadang memilih jalan pintas. Tetapi ke Munjungan tidak ada jalan pintas. Kalau toh ada, jalannya juga sama-sama sulitnya, bahkan bisa jadi lebih sulit.
Seperti setelah acara Buka Puasa Bersama dan Arisan Sastra ke-12, hari Sabtu 13 Agustus 2011 lalu, Surur pun datang sekaligus membedah antologi puisi. Acara itu dilaksanakan di aula dinas pariwisata budaya. Meski sudah berada di Trenggalek, iapun tak mampir pulang ke Munjungan. Dia balik lagi ke Malang. Tiga hari kemudian, saya disadarkan bahwa jalan menuju ke Munjungan parahnya tak terkirakan. 15 Januari 2011, tepatnya sehabis sholat tarawih, tiba-tiba ada sms masuk ke HP saya: ”Pak Bupati Mulyadi dihadang oleh massa yang menuntut perbaikan jalan Munjungan. Pak Mul datang dalam rangka acara Safari Ramadan. Massa menuntut agar jalan Munjungan yang parah segera diperbaiki”. Entah sms dari siapa, menggunakan nomer yang tak bernama (tak tersimpan) di HP saya.
Selama ini Rakyat Munjungan yang harus sering keluar kecamatan itu harus pura-pura bersabar menghadapi hadangan lobang-lobang. Tetapi kesabaran ada habisnya. Rasa ‘mangkel’ ditahan dalam hati, masuk alam bawah sadar, dan ketika ada kesempatan untuk mengungkapkan, tak bisa lagi ditahan. Karenanya ketika Pak Mulyadi (bupati Trenggalek yang dalam kampanyenya menekankan janji tentang jalan yang mulus tanpa lobang) terdengar akan datang ke kecamatan itu, para pemuda yang kesabarannya tipis segera merencanakan penghadangan. Akhirnya Pak Mul bukan hanya terhadang jalan yang sulit yang membuat perjalanan beliau dan rombongannya merambat, tetapi juga sempat terhenti karena dihadang massa.
Massa telah merencanakan untuk mengungkapkan tuntutannya: agar jalan-jalan yang berlobang itu diganti dengan yang mulus. Agar Pak Mul menepati janji-janjinya. Dan sebenarnya tuntutan itu berujung pada satu hal: agar warga bisa keluar masuk kecamatan itu dengan lancar. Di antara mereka memang ada yang tidak paham tentang apa itu proses dan apa itu ”prosedur”. Rakyat Jawa ini telah terbiasa dengan dongeng Sangkuriang yang berharap bisa membuat sungai salam waktu separo malam, atau dongeng Bandung Bondowoso yang bisa membuat ratusan candi dalam waktu sepertiga malam.
Saya kira Pak Mul sendiri tahu bahwa membangun itu butuh perencanaan. Dan kita juga tahu, perencanaan pembangunan seringkali kacau. Membangun jalan di jaman modern tak bisa lagi dilakukan seperti jaman kerja paksa jaman Kolonial Belanda atau kerja rodi seperti jaman Jepang. ”Prosedur”. Ya, ”prosedur”! Ini memang kosakata paling sakti untuk dijadikan alasan bahwa tuntutan membangun tidak bisa dijalankan segera atau secepat mungkin. Tetapi dalam konteks pembangunan yang melibatkan anggaran bermilyar rupiah, prosedur juga bisa kita ”onceki” sebagai sebuah proses yang kadang juga dipenuhi kegiatan ”tawar-menawar”.
Ada dua kekawatiran dalam perasaan saya yang selalu berkecamuk dalam hal ini. Pertama, pembangunan tak akan dikerjakan jika tak menguntungkan atau mendatangkan keuntungan. Kedua, pembangunan dikerjakan dengan kualitas garapan yang buruk. Akibatnya, jalan yang sudah diaspal kembali, atau hanya sekedar ditambal yang bolong-bolong itu, akan segera kembali ’dedel-duwel’. Kecurigaan ini bukanlah karangan yang didramatisir, di era Gayus dan Nazaruddin, kita rakyat dihadapkan para pemerintah (baik pusat dan daerah) baik yang jadi korban atau yang jadi teman mafia anggaran. Pembangunan akan diberikan pada kontraktor yang paling bersahabat alias yang bisa membayar upeti atau yang menguntungkan si pemberi proyek. Upeti bahkan bisa 10-20% dari total anggaran. Sedangkan si kontraktor, supaya tetap untung banyak, mau tak mau harus menggarap proyek pembangunan sekenanya saja.
Di sini kesabaran rakyat bukan hanya diuji dengan keadaan material kehidupan. Tetapi oleh proses tawar-menawar oleh elit. Bukan hanya lingkungan alam yang menyulitkan kehidupan mereka, bukan hanya kontradiksi alam yang membuat hidup mereka sudah. Tetapi kadang karakter mental dan tindakan elit politik kadang juga ikut menyengsarakan mereka.
Rakyat di Munjungan, Dongko, Prigi-Watulimo, Pule dan mungkin semua kecamatan di Trenggalek menghadapi kontradiksi alam. Cuaca dan musim memungkinkan alam mengancam manusia dan kehidupannya. Tetapi pada saat yang sama, dinamika hubungan antara birokrasi, wakil rakyat, dan kontraktor kadang juga bisa jadi sumber bencana yang lebih dahsyat daripada banjir dan tanah longsor. Walahu’alam! Perubahan selalu dinanti!
*)Artikel disajikan oleh Nurani Soyomukti, seorang penulis, pendidik dan pekerja sosial-budaya; anggota Sarikat Muda Intelektual Nusantara (SaMIN) wilayah Mataraman; dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Islam Blitar (UIB); 23 judul bukunya telah terbit dan tersebar di seluruh tanah air.
7 Komentar:
singgah sini ya pak.. slmt hari raya
@ pandabear : Okay, met Hari Raya Idul Fitri 1432 H.
selamat siang sobat
@ civopras : Okay..thanks
sama sob, saya tinggal di kalimantan, juga penuh dengan jalan berlubang,, padahal klo di fikir nie ya, banyak banget tambang2 batubara yang menggunakan sarana jalan raya untuk opersai, harusnya kan mereka bayar restribusi, jadi hanya ada 2 opsi, bener2 tidak bayar, atau bayar tapi di korup....Allahu A'lam
@ Syaiful Anwar: Kalimantan!!! Hutan-nya dibabat, tambang emas dan batubaranya dikuras! Tapi???
Semoga pemerintah daerah dan pusat mengerti hasrat dan impian saudara-saudaraku di Kalimantan!! Amin
ya, dan peningkatan ekonomi tidak sebanding dengan peningkatan kondisi alam
Salam,
helm sepeda onthel
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".