Oleh: Nurani Soyomukti*)
Usia 66 Tahun NKRI bukanlah waktu yang pendek bagi kematangan karakter bangsa. Nyatanya karakter kedewasaan yang harus ditandai dengan kemajuan dalam memenuhi kebutuhan material dan mental rakyat serta kedewasaan dalam memaknai perbedaan hingga kini masih belum kita miliki. Lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya menegaskan, “..Bangunlah jiwanya, bangunlah badanya, untuk Indonesia Raya”. Pembangunan jiwa tak dapat dipisahkan dari pemenuhan kebutuhan badan secara mencukupi dan merata. Oleh Bung Karno, dan belakangan juga ditegaskan berkali-kali oleh almarhum sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, konsepsi itu disimpulkan sebagai jalan melakukan character building.
Yang terjadi hingga saat ini, kemiskinan material dan eksploitasi badan terhadap mayoritas rakyat oleh segelintir pemodal mengakibatkan bangsa ini sama sekali tidak punya karakter. Proses kebudayaan pasti dihadapkan dengan suatu kontradiksi pokok yang sifatnya tidak lagi relatif, tetapi universal karena berkaitan dengan bagaimana globalisasi kapitalis (sebagai kontradiksi besar) telah membagi-bagi dan mendisintegrasi masyarakat dalam ketimpangan ekonomi.
Jumlah rakyat miskin terus bertambah. Krisis kesejahteraan rakyat yang belum juga dapat diatasi jelas merupakan sebab-sebab terjadinya kemunduran kualitas kehidupan masyarakat. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang mengikutinya juga sangat menyulitkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Kemunduran kesejahteraan ini juga dibarengi dengan sulitnya meraih pendidikan dan kesehatan. Dipastikan akan terjadi lost generation karena mutu pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin akan menurun drastis. Kurangnya akses pendidikan akan mengakibatkan tuna-pengetahuan (knowledgeless); sedangkan kekurangan gizi dan sulitnya menjaga kesehatan akan menyebabkan keburukan kualitas fisik manusia dan juga kualitas mentalnya (mental illness). Kesehatan fisik dan mental adalah sumber tenaga produktif bangsa yang mendasar. Dengan menghilangkan sumber-sumber tersebut bisa diramalkan bahwa kualitas bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan akan ketinggalan jauh dengan negara-negara lain, akan tetap terbelakang dan tergantung pada negara-negara maju.
Banyak “cobaan” yang dialami bangsa ini mulai dari kontradiksi alam (Tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, dan lain-lain) hingga kontradiksi ekonomi, sosial, dan politik yang berupa kebijakan elit-elitnya yang jauh dari memberi kesejahteraan rakyat. Kondisi kemiskinan yang telah diwariskan sejak Orde Baru telah menimbulkan kebuntuan berpikir masyarakat yang manifes dalam bentuk apatisme dan dinamika emosi yang memuncak pada ketidaksehatan mental masyarakat.
Kita melihat bahwa bencana alam yang sering menimpa telah menimbulkan trauma mental. Hal yang sama juga terjadi pada rakyat sebagai korban bencana kebijakan yang menekan eksistensi dirinya. Setiap kondisi material-ekonomi yang dialami individu adalah ancaman yang membuat frustasi dan ketidaksehatan mental. Reaksi dari kondisi ini adalah terjadinya berbagai macam kekerasan, deviasi budaya, tindakan kriminal sebagai manifestasi dari penyimpangan yang didorong oleh kondisi mental yang ‘sakit’.
Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).
Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.
Pluralisme dan Kesejahteraan
Itulah tantangan kehidupan plural kita. Yang kita hadapi adalah perbedaan ekonomi (ketimpangan kelas), dan ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sumber konflik dalam masyarakat adalah kontradiksi material-ekonomis, dan kontradiksi ini mudah sekali dimutasikan menjadi kontradiksi ideologis pada saat masyarakat memang masih terbelakang dalam kesadaran (politik). Keterbelakangan ini juga diakibatkan oleh para elit yang, pada saat mereka hanya menipu rakyat dan tidak memberi pendidikan (penderahan), justru menjauhkan pendidikan dari masyarakatnya.
Di tengah kebuntuan kehidupan keberagaman sekarang ini nampaknya perlu ditegaskan berkali-kali, dengan slogan yang mirip ungkapan Cak Nur (Nurcholis Madjid, alm.): perbedaan budaya (pluralisme) yes, perbedaan (ketimpangan) ekonomi no!
Berkaitan dengan itu, Diana L. Eck dalam bukunya A New Religious America (2001: 69-70) menyatakan bahwa, bahasa pluralisme adalah bukan hanya bahasa tentang perbedaan, tapi juga tentang keterikatan, keterlibatan, dan partisipasi. Ini juga bahasa untuk jalan, pertukaran, dialog, dan debat. Menurutnya, itu juga bahasa atas sebuah simfoni orkestra dan komposisi jazz. Banyaknya anggapan bahwa pluralisme adalah kebolehan melakukan apa saja, itu merupakan sebuah relativisme yang tidak berprinsip dan sebuah kebusukan moral. Hal itu sama negatifnya dengan klaim kebenaran dalam kebaikan yang tidak meyakinkan terhadap “kebenaran agama”. Pluralisme bukanlah sebuah ideologi, bukan rencana kelompok kiri, dan juga bukan bentuk bebas relativisme. Namun, pluralisme adalah sebuah proses dinamis yang kita lalui ketika terlibat dengan yang lainnya dan melalui perbedaan kita yang sangat dalam.
Kebutuhan akan kesejahteraan adalah muthlak, tidak relatif. Karenanya, masalah kesejahteraan adalah yang harus dijawab. Penghormatan akan keberagamaan tidak akan memiliki landasan sejarahnya jika tidak dibangun berdasarkan keadilan dalam memenuhi penghidupan yang layak, apalagi pendidikan sebagai aktivitas pencerahan akan memperluas wawasan manusia sehingga batas-batas semu kelompok dapat dihilangkan.
*)Nurani Soyomukti adalah pekerja sosial-budaya, pendidik dan penulis; dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Sospol UIB (Universitas Islam Blitar); penulis 23 buku berbagai tema (sosial-politik, pendidikan, psikologi populer). Ketua Quantum Litera Centre (QLC). Asli Trenggalek, beralamat di Perum Asabri No.10, Desa Karangsoko, Trenggalek.
Yang terjadi hingga saat ini, kemiskinan material dan eksploitasi badan terhadap mayoritas rakyat oleh segelintir pemodal mengakibatkan bangsa ini sama sekali tidak punya karakter. Proses kebudayaan pasti dihadapkan dengan suatu kontradiksi pokok yang sifatnya tidak lagi relatif, tetapi universal karena berkaitan dengan bagaimana globalisasi kapitalis (sebagai kontradiksi besar) telah membagi-bagi dan mendisintegrasi masyarakat dalam ketimpangan ekonomi.
Jumlah rakyat miskin terus bertambah. Krisis kesejahteraan rakyat yang belum juga dapat diatasi jelas merupakan sebab-sebab terjadinya kemunduran kualitas kehidupan masyarakat. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok yang mengikutinya juga sangat menyulitkan rakyat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Kemunduran kesejahteraan ini juga dibarengi dengan sulitnya meraih pendidikan dan kesehatan. Dipastikan akan terjadi lost generation karena mutu pendidikan dan kesehatan bagi anak-anak keluarga miskin akan menurun drastis. Kurangnya akses pendidikan akan mengakibatkan tuna-pengetahuan (knowledgeless); sedangkan kekurangan gizi dan sulitnya menjaga kesehatan akan menyebabkan keburukan kualitas fisik manusia dan juga kualitas mentalnya (mental illness). Kesehatan fisik dan mental adalah sumber tenaga produktif bangsa yang mendasar. Dengan menghilangkan sumber-sumber tersebut bisa diramalkan bahwa kualitas bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan akan ketinggalan jauh dengan negara-negara lain, akan tetap terbelakang dan tergantung pada negara-negara maju.
Banyak “cobaan” yang dialami bangsa ini mulai dari kontradiksi alam (Tsunami, banjir, tanah longsor, kecelakaan transportasi, dan lain-lain) hingga kontradiksi ekonomi, sosial, dan politik yang berupa kebijakan elit-elitnya yang jauh dari memberi kesejahteraan rakyat. Kondisi kemiskinan yang telah diwariskan sejak Orde Baru telah menimbulkan kebuntuan berpikir masyarakat yang manifes dalam bentuk apatisme dan dinamika emosi yang memuncak pada ketidaksehatan mental masyarakat.
Kita melihat bahwa bencana alam yang sering menimpa telah menimbulkan trauma mental. Hal yang sama juga terjadi pada rakyat sebagai korban bencana kebijakan yang menekan eksistensi dirinya. Setiap kondisi material-ekonomi yang dialami individu adalah ancaman yang membuat frustasi dan ketidaksehatan mental. Reaksi dari kondisi ini adalah terjadinya berbagai macam kekerasan, deviasi budaya, tindakan kriminal sebagai manifestasi dari penyimpangan yang didorong oleh kondisi mental yang ‘sakit’.
Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).
Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedangkan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.
Pluralisme dan Kesejahteraan
Itulah tantangan kehidupan plural kita. Yang kita hadapi adalah perbedaan ekonomi (ketimpangan kelas), dan ini menimbulkan kecemburuan sosial. Sumber konflik dalam masyarakat adalah kontradiksi material-ekonomis, dan kontradiksi ini mudah sekali dimutasikan menjadi kontradiksi ideologis pada saat masyarakat memang masih terbelakang dalam kesadaran (politik). Keterbelakangan ini juga diakibatkan oleh para elit yang, pada saat mereka hanya menipu rakyat dan tidak memberi pendidikan (penderahan), justru menjauhkan pendidikan dari masyarakatnya.
Di tengah kebuntuan kehidupan keberagaman sekarang ini nampaknya perlu ditegaskan berkali-kali, dengan slogan yang mirip ungkapan Cak Nur (Nurcholis Madjid, alm.): perbedaan budaya (pluralisme) yes, perbedaan (ketimpangan) ekonomi no!
Berkaitan dengan itu, Diana L. Eck dalam bukunya A New Religious America (2001: 69-70) menyatakan bahwa, bahasa pluralisme adalah bukan hanya bahasa tentang perbedaan, tapi juga tentang keterikatan, keterlibatan, dan partisipasi. Ini juga bahasa untuk jalan, pertukaran, dialog, dan debat. Menurutnya, itu juga bahasa atas sebuah simfoni orkestra dan komposisi jazz. Banyaknya anggapan bahwa pluralisme adalah kebolehan melakukan apa saja, itu merupakan sebuah relativisme yang tidak berprinsip dan sebuah kebusukan moral. Hal itu sama negatifnya dengan klaim kebenaran dalam kebaikan yang tidak meyakinkan terhadap “kebenaran agama”. Pluralisme bukanlah sebuah ideologi, bukan rencana kelompok kiri, dan juga bukan bentuk bebas relativisme. Namun, pluralisme adalah sebuah proses dinamis yang kita lalui ketika terlibat dengan yang lainnya dan melalui perbedaan kita yang sangat dalam.
Kebutuhan akan kesejahteraan adalah muthlak, tidak relatif. Karenanya, masalah kesejahteraan adalah yang harus dijawab. Penghormatan akan keberagamaan tidak akan memiliki landasan sejarahnya jika tidak dibangun berdasarkan keadilan dalam memenuhi penghidupan yang layak, apalagi pendidikan sebagai aktivitas pencerahan akan memperluas wawasan manusia sehingga batas-batas semu kelompok dapat dihilangkan.
*)Nurani Soyomukti adalah pekerja sosial-budaya, pendidik dan penulis; dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Sospol UIB (Universitas Islam Blitar); penulis 23 buku berbagai tema (sosial-politik, pendidikan, psikologi populer). Ketua Quantum Litera Centre (QLC). Asli Trenggalek, beralamat di Perum Asabri No.10, Desa Karangsoko, Trenggalek.
5 Komentar:
Kita harus tetap optimis dan yakin bahwa negara ini bisa maju dan sejahtera...
@ lina@women's perspectives : Keyakinan memang tidak boleh luntur, sekalipun banyak oknum pejabat dan politikus yang mengkhianati rakyat Indonesia.
Salam sahabat. Thanks sudah hadir di sini.
Kesejahteraan sudah lama dirasakan rakyat Indonesia, sayangnya hanya diwakili oleh beberapa orang yang duduk sebagai Dewan Terhormat. Dan keadaan yang sudah bagai sebuah budayapun telah diwariskan secara turun temurun, Apa itu? Kemiskinan. Di zaman yang sudah bebas dari belenggu penjajah 66 tahun yang lalu masih ada rakyat Indonesia yang makan nasi akin! Di Ultah RI mendatang nanti slogan apa gerangan yang bakal dikoar-koarkan?
@ smanpunggul : Memang sangat memprihatinkan, namun apalah daya kita, kita hanya blogger. Namun, bagaimana jika kita buat komunitas blogger yang peduli rakyat kecil?
Ah..itu hanya apologis, barangkali. Okay guys, salam sahabat, and thanks for coming.
Bhinneka Tunggal Ika
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".