Juli 2008 yang lalu, aku kedatangan Pak Kades, selang sehari Ketua BPD, sehari kemudian dua orang sesepuh (tokoh senior) desaku juga menemuiku di rumah. Para tokoh itu, intinya memintaku untuk menjadi Ketua Panitia Penjaringan dan Penyaringan Perangkat Desa. Ada dua lowongan yang harus diisi, yakni Kaur Umum/Keuangan dan Kaur Kesra. Saat itu, mereka mengatakan bahwa hasil Musyawarah antara Pemdes dan BPD menentukan figur CahNdeso layak menjadi Ketua Panitia. Aku sama sekali tidak terkejut ketika Pak Kades dan Ketua BPD yang memintaku, namun jadi terperangah dan sedikit jengah, tatkala dua tokoh senior Desa Sukowetan dengan sangat mngharapkan kesediaanku menerima "jejibahan" itu.
Berdasarkan pertimbangan yang kurasa layak, akhirnya aku menyatakan bersedia dengan syarat:
Berdasarkan pertimbangan yang kurasa layak, akhirnya aku menyatakan bersedia dengan syarat:
- Panitia tidak membuat soal ujian.
- Soal ujian dibuat oleh Bapak Camat sebagai pribadi (bukan tim) dan beliau harus bertanggungjawab penuh bila terjadi kebocoran.
- Keluarga Kades tidak boleh ada yang ikut, mulai dari saudara kandung, sampai pada anak dari saudara ayah/ibu (istilahnya saudara misan).
- Tidak ada KKN dan tidak ada istilah "titipan", tidak ada pintu untuk rekrutmen yang "neko-neko".
- Pelaksanaan ujian praktek (wawancara) dan ujian tulis dilaksanakan transparan, terbuka dan bisa disaksikan oleh warga desa.
Syarat yang kuajukan ternyata diterima, dan aku pun mulai melangkah. Beruntung, dari sekian anggota ada Mas Tabut (Wakasek SMP Negeri 3 Trenggalek, kala itu). Aku tahu betul pribadinya sangat tegas, jujur dan bisa bersikap adil serta biasanya tidak "neko-neko". Pada awal pertemuan (rapat) Panitia, tiba-tiba saja ada anggota Panitia yang mengundurkan diri (aku enggan menyebut nama beliau) dengan alasan sudah tua, sementara anggota yang lain masih dianggapnya muda-muda. Namun aku tahu, bila beliau mundur karena khawatir jika penyelenggaraan rekrutmen nantinya carut-marut dan menimbulkan kehebohan. Aku mencoba meyakinkan beliau dengan berbagai alasan, tetap saja beliau bersikeras mundur. Aku pun mengalah dan mencari gantinya. Aku memilih Mas Tulus Sugiarto (staf Subdit Ekonomi, Setda Trenggalek), yang setelah kutanyakan dia bersedia.
Semua anggota Panitia kuminta berjanji untuk melaksanakan "jejibahan" sesuatu prosedur dan aturan yang berlaku. Aku tekankan, jangan mengikuti jejak panitia rekrutmen pamong yang dulu-dulu. Kami semua sepakat dan bertekad untuk menunjukkan bagaimana sebaiknya menjadi seseorang yang dipercaya oleh masyarakat. Dengan Bismillah, kami melaksanakan tugas kepanitiaan.
Sejak masyarakat tahu bahwa aku adalah Ketua Panitia, hingga menjelang ujian, belasan orang datang ke rumahku. Jelas, mereka datang tidak dengan tangan kosong, ada oleh-oleh. Aku dan istriku tidak mungkin bisa menolak. Walaupun demikian, kami berdua "sarujuk" untuk mengembalikan apa yang mereka bawa itu kelak bila suasana "rekrutmen" selesai, jadi tidak menyolok. Sementara itu, ada beberapa orang dengan tanpa malu-malu menawarkan "jumlah rupiah" yang menggiurkan padaku, juga lewat istriku. Mereka berharap agar anaknya bisa diluluskan dan diterima jadi perangkat desaku.
Aku tegaskan pada mereka, bahwa Panitia tidak punya wewenang untuk itu. Seperti sudah aku paparkan ketika Musyawarah Desa, bahwa aku dan teman-teman Panitia, tidak akan membuka pintu "slintat-slintut". Termasuk juga Pak Kades, yang telah berjanji atas nama Allah SWT (kami berdua melakukan janji itu tanpa sepengetahuan orang lain). Aku, secara ekonomi jika dipandang dari sudut defacto "apa yang aku punya", mungkin mereka anggap "gampang" menerima rayuan rupiah. Ah.... Naudzubillahi mindzalik. Bagaimana aku atau Pak Kades bisa bantu, sementara kami sudah menutup akses pada pembuat soal?
Sampai pada hari "H" ujian tulis, soal dibawa oleh rombongan Bapak Camat, dalam amplop tertutup dengan segel kerahasiaan, dan baru dibuka pada 5 menit menjelang ujian dilangsungkan. Dalam sambutannya, Bapak Camat menegaskan, bahwa Panitia dan Kades, sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang materi yang diujikan. "Bila terjadi kebocoran, maka saya secara pribadi bertanggung jawab penuh", demikian antara lain belia menegaskan. Ujian berjalan lancar, semua peserta tidak diperkenankan membawa HP atau tas tangan, atau peralatan tulis apa pun. Alat tulis dan kertas disiapkan oleh Panitia. Ujian tulis bertempat di Balai Desa, terbuka dan disaksikan oleh tim dari kecamatan dipantau pula oleh petugas Kabupaten. Pukul 07.00 WIB ujian dimulai, dan selesai pada pukul 12.00 WIB.
Pemeriksaan (koreksi) hasil kerja 16 peserta dilakukan oleh anggota Panitia yang aku pilih dengan cara diundi pada hari itu juga, sesudah mereka selesai mengerjakan, yakni pukul 13.00. Lembar kerja peserta dikumpulkan di meja Panitia dan bisa dilihat oleh semua orang bahwa lembar kerja itu, tidak ada seorang pun yang "mengutik-utik"nya untuk keperluan yang negatif! Sementara para Korektor ini (diantara mereka adalah Mas Tabut, S.Pd. dan Mas Tulus Sugiarto , ST, Mas Gaguk ST, dan Mas Dasi, S.Pd.) sebelumnya tidak tahu kalau mereka akan bertugas mengoreksi hasil kerja peserta ujian. Ketika koreksi, nama peserta yang di kertas jawaban aku tutupi dengan kertas tebal, dan hanya diberi nilai sesuai dengan nomor yang aku acak. Sebelum koreksi dan pemberian nilai selesai, tidak seorang pun tahu siapa yang dapat nilai tinggi. Hingga selesai, ternyata tidak ada nilai yang sama, barulah hasilnya diumumkan. Perlu diketahui, pelaksanaan koreksi sangat transparan. Selain para pemantau dari Pemerintah (birokrat), warga pun aku persilahkan untuk melihat prosesnya dari jarak yang aman dan mereka bisa tahu bila terjadi "kongkalingkong".
Hasil Ujian Tulis menunjukkan Siti Khoiriyah peserta Kaur Umum/Keuangan dan Ahmad Rifa'i, peserta Kesra, memperoleh nilai paling tinggi dan dinyatakan lulus serta berhak diajukan oleh Kades/BPD untuk menjabat Perangkat Desa Sukowetan. Aku lega, Pak Kades Sururi juga lega, Ketua BPD Gus Tangin juga lega. Kami lega karena penjaringan dan penyaringan perangkat bisa berjalan lancar sesuai prosedur dan aturan. Bapak Camat dan seluruh tim pemantau juga memuji bahwa pelaksanaan di desa kami sangat baik, transparan dan tidak ada indikasi KKN.
Namun, apa kenyataannya? Sore menjelang Maghrib, beredar issu bahwa aku menerima "hadiah" dari Ahmad Rifa'i, sementara Kades- ku, Sururi mendapat "angpaw" dari Siti Khoiriyah. Kebetulan, yang jadi itu satu adalah tetanggaku satu RW, dan satu lagi tetangga Pak Kades satu RW. Walah-walah...malah kemudian ada beberapa peserta yang tidak puas berniat melakukan demo dan menggugat panitia. HP-ku dan HP pak Kades kemasukan SMS dan" suara telepon" yang mencaci maki kami. Subhanallah....
Sebelum semua makin panas, ketika aku menerima informasi akan ada gerakan itu, aku langsung mendatangi mereka yang saat itu berkumpul di rumah salah seorang warga. Kepada mereka aku berikan pengertian dan penjelasan bahwa apa yang mereka dengar, apa yang mereka kira/sangka adalah tidak benar. Semua hanyalah gossip dari orang-orang yang tidak menghendaki kedamaian ada di antara warga. Dengan persuasif, aku berhasil mengantisipasi gejolak itu dibantu oleh Pak Kades, semua anggota Panitia, Perangkat Desa, dan Ketua BPD. Aku tidak menyebutkan semua anggota BPD, karena issu itu justru dihembus-hembuskan oleh beberapa oknum anggota BPD. Padahal saat itu bulan Suci Ramadhan.
Masih di bulan Puasa, Perangkat Desa yang baru lulus ujian dilantik (jaraknya hanya 3 hari setelah ujian tulis, ujian/pengumuman kelulusan hari Kamis, pelantikan hari Minggu). Dan, pada Lebaran hari ketiga, tiba-tiba saja istriku diserempet seseorang hingga jatuh dari motor setelah menubruk becak yang membawa penumpang satu keluarga. Kami, kena musibah! Bahu kanan istriku patah dan harus dibawah ke Kediri. Masyaallah......kok bisa yaaa? Jadilah peristiwa ini makin memperkuat syak-wasangka bahwa aku termakan sumpah, telah menerima sogokan dari Ahmad Rifa'i, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mereka, warga yang hasut itu, telah mengukur bajuku dengan ukuran badan mereka. Aku, sama sekali tidak pernah menerima sogokan, bahkan aku menolak iming-iming rupiah yang pernah ditawarkan oleh beberapa orang. Jangankan uang seribu, rokok satu batang pun, aku tidak pernah terima dari pamong yang jadi! Semua panitia, aku yakin juga sama dengan diriku. Pak Kades pun , Insyaallah demikian.
Ketika terjadi kisruh masalah BUMDES, Pak Kades juga meminta bantuanku untuk menetralisir konfrontasi warga, dan mengupayakan agar tuntutan masyarakat diperlunak. Masyarakat waktu itu menuntut agar dua pamong yang terlibat diberhentikan dengan tidak hormat. Namun, bila itu terjadi, maka kasus BUMDES akan mencuat ke permukaan sampai ke ranah hukum. Akhirnya, dengan kebijakan Pak Kades, Ketua BPD dan teman-teman tokoh Desa Sukowetan, tercapailah kesepakatan Pamong yang terlibat tetap dipekerjakan tetapi dana yang diselewengkan dikembalikan.
Selesai kasus itu, hampir semua tokoh mengira : aku telah dapat "angpaw" dari para pamong yang megurusi BUMDES. Bayangkan. Jujur aja, keduanya memang dua atau mungkin tiga kali datang ke rumahku, dengan maksud meminta "perlindungan" dan mereka datang sambil menyerahkan "amplop", tapi Demi Allah, dengan halus aku menolaknya. "Jangan lihat aku tidak punya pulsa, aku memang butuh, tapi tidak dengan jalan ini" kataku waktu itu. Istriku pun sangat mendukung sikapku. Setelah masalah BUMDES selesai, keduanya datang lagi dengan maksud menyampaikan terima kasih, disertai "sesuatu" yang dengan tegas kutolak. Aku tidak layak menerima ucapan terima kasih itu, yang pantas menerima adalah warga yang mau dengan ikhlas dan berjiwa besar memaafkan mereka, kataku waktu itu.
Tapi, mereka tidak percaya...! Mereka lebih percaya sumpah "disamber bledek" atau "ketubruk bis", atau apa saja yang sifatnya duniawi, dari pada sumpahku "Demi Allah".... ya Rabbana...ampunilah hamba....(Tulisan, ini hanya sebuah instrospeksi dan upaya untuk meyakinkan diriku sendiri agar mengagungkan sumpah atas nama Dzat Yang Maha Esa, Allah SWT.)
Catatan CahNdeso:
Sekarang, warga bisa melihat, bahwa Kaur Umum/Keuangan dan Kaur Kesra yang lulus ujian tersebut terbukti mampu melaksanakan tugas mereka. Alhamdulillah..........
(Aku Tulis Buat : Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan, maafkan Abah)
Semua anggota Panitia kuminta berjanji untuk melaksanakan "jejibahan" sesuatu prosedur dan aturan yang berlaku. Aku tekankan, jangan mengikuti jejak panitia rekrutmen pamong yang dulu-dulu. Kami semua sepakat dan bertekad untuk menunjukkan bagaimana sebaiknya menjadi seseorang yang dipercaya oleh masyarakat. Dengan Bismillah, kami melaksanakan tugas kepanitiaan.
Sejak masyarakat tahu bahwa aku adalah Ketua Panitia, hingga menjelang ujian, belasan orang datang ke rumahku. Jelas, mereka datang tidak dengan tangan kosong, ada oleh-oleh. Aku dan istriku tidak mungkin bisa menolak. Walaupun demikian, kami berdua "sarujuk" untuk mengembalikan apa yang mereka bawa itu kelak bila suasana "rekrutmen" selesai, jadi tidak menyolok. Sementara itu, ada beberapa orang dengan tanpa malu-malu menawarkan "jumlah rupiah" yang menggiurkan padaku, juga lewat istriku. Mereka berharap agar anaknya bisa diluluskan dan diterima jadi perangkat desaku.
Aku tegaskan pada mereka, bahwa Panitia tidak punya wewenang untuk itu. Seperti sudah aku paparkan ketika Musyawarah Desa, bahwa aku dan teman-teman Panitia, tidak akan membuka pintu "slintat-slintut". Termasuk juga Pak Kades, yang telah berjanji atas nama Allah SWT (kami berdua melakukan janji itu tanpa sepengetahuan orang lain). Aku, secara ekonomi jika dipandang dari sudut defacto "apa yang aku punya", mungkin mereka anggap "gampang" menerima rayuan rupiah. Ah.... Naudzubillahi mindzalik. Bagaimana aku atau Pak Kades bisa bantu, sementara kami sudah menutup akses pada pembuat soal?
Sampai pada hari "H" ujian tulis, soal dibawa oleh rombongan Bapak Camat, dalam amplop tertutup dengan segel kerahasiaan, dan baru dibuka pada 5 menit menjelang ujian dilangsungkan. Dalam sambutannya, Bapak Camat menegaskan, bahwa Panitia dan Kades, sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang materi yang diujikan. "Bila terjadi kebocoran, maka saya secara pribadi bertanggung jawab penuh", demikian antara lain belia menegaskan. Ujian berjalan lancar, semua peserta tidak diperkenankan membawa HP atau tas tangan, atau peralatan tulis apa pun. Alat tulis dan kertas disiapkan oleh Panitia. Ujian tulis bertempat di Balai Desa, terbuka dan disaksikan oleh tim dari kecamatan dipantau pula oleh petugas Kabupaten. Pukul 07.00 WIB ujian dimulai, dan selesai pada pukul 12.00 WIB.
Pemeriksaan (koreksi) hasil kerja 16 peserta dilakukan oleh anggota Panitia yang aku pilih dengan cara diundi pada hari itu juga, sesudah mereka selesai mengerjakan, yakni pukul 13.00. Lembar kerja peserta dikumpulkan di meja Panitia dan bisa dilihat oleh semua orang bahwa lembar kerja itu, tidak ada seorang pun yang "mengutik-utik"nya untuk keperluan yang negatif! Sementara para Korektor ini (diantara mereka adalah Mas Tabut, S.Pd. dan Mas Tulus Sugiarto , ST, Mas Gaguk ST, dan Mas Dasi, S.Pd.) sebelumnya tidak tahu kalau mereka akan bertugas mengoreksi hasil kerja peserta ujian. Ketika koreksi, nama peserta yang di kertas jawaban aku tutupi dengan kertas tebal, dan hanya diberi nilai sesuai dengan nomor yang aku acak. Sebelum koreksi dan pemberian nilai selesai, tidak seorang pun tahu siapa yang dapat nilai tinggi. Hingga selesai, ternyata tidak ada nilai yang sama, barulah hasilnya diumumkan. Perlu diketahui, pelaksanaan koreksi sangat transparan. Selain para pemantau dari Pemerintah (birokrat), warga pun aku persilahkan untuk melihat prosesnya dari jarak yang aman dan mereka bisa tahu bila terjadi "kongkalingkong".
Hasil Ujian Tulis menunjukkan Siti Khoiriyah peserta Kaur Umum/Keuangan dan Ahmad Rifa'i, peserta Kesra, memperoleh nilai paling tinggi dan dinyatakan lulus serta berhak diajukan oleh Kades/BPD untuk menjabat Perangkat Desa Sukowetan. Aku lega, Pak Kades Sururi juga lega, Ketua BPD Gus Tangin juga lega. Kami lega karena penjaringan dan penyaringan perangkat bisa berjalan lancar sesuai prosedur dan aturan. Bapak Camat dan seluruh tim pemantau juga memuji bahwa pelaksanaan di desa kami sangat baik, transparan dan tidak ada indikasi KKN.
Namun, apa kenyataannya? Sore menjelang Maghrib, beredar issu bahwa aku menerima "hadiah" dari Ahmad Rifa'i, sementara Kades- ku, Sururi mendapat "angpaw" dari Siti Khoiriyah. Kebetulan, yang jadi itu satu adalah tetanggaku satu RW, dan satu lagi tetangga Pak Kades satu RW. Walah-walah...malah kemudian ada beberapa peserta yang tidak puas berniat melakukan demo dan menggugat panitia. HP-ku dan HP pak Kades kemasukan SMS dan" suara telepon" yang mencaci maki kami. Subhanallah....
Sebelum semua makin panas, ketika aku menerima informasi akan ada gerakan itu, aku langsung mendatangi mereka yang saat itu berkumpul di rumah salah seorang warga. Kepada mereka aku berikan pengertian dan penjelasan bahwa apa yang mereka dengar, apa yang mereka kira/sangka adalah tidak benar. Semua hanyalah gossip dari orang-orang yang tidak menghendaki kedamaian ada di antara warga. Dengan persuasif, aku berhasil mengantisipasi gejolak itu dibantu oleh Pak Kades, semua anggota Panitia, Perangkat Desa, dan Ketua BPD. Aku tidak menyebutkan semua anggota BPD, karena issu itu justru dihembus-hembuskan oleh beberapa oknum anggota BPD. Padahal saat itu bulan Suci Ramadhan.
Masih di bulan Puasa, Perangkat Desa yang baru lulus ujian dilantik (jaraknya hanya 3 hari setelah ujian tulis, ujian/pengumuman kelulusan hari Kamis, pelantikan hari Minggu). Dan, pada Lebaran hari ketiga, tiba-tiba saja istriku diserempet seseorang hingga jatuh dari motor setelah menubruk becak yang membawa penumpang satu keluarga. Kami, kena musibah! Bahu kanan istriku patah dan harus dibawah ke Kediri. Masyaallah......kok bisa yaaa? Jadilah peristiwa ini makin memperkuat syak-wasangka bahwa aku termakan sumpah, telah menerima sogokan dari Ahmad Rifa'i, dan seterusnya, dan seterusnya.
Mereka, warga yang hasut itu, telah mengukur bajuku dengan ukuran badan mereka. Aku, sama sekali tidak pernah menerima sogokan, bahkan aku menolak iming-iming rupiah yang pernah ditawarkan oleh beberapa orang. Jangankan uang seribu, rokok satu batang pun, aku tidak pernah terima dari pamong yang jadi! Semua panitia, aku yakin juga sama dengan diriku. Pak Kades pun , Insyaallah demikian.
Ketika terjadi kisruh masalah BUMDES, Pak Kades juga meminta bantuanku untuk menetralisir konfrontasi warga, dan mengupayakan agar tuntutan masyarakat diperlunak. Masyarakat waktu itu menuntut agar dua pamong yang terlibat diberhentikan dengan tidak hormat. Namun, bila itu terjadi, maka kasus BUMDES akan mencuat ke permukaan sampai ke ranah hukum. Akhirnya, dengan kebijakan Pak Kades, Ketua BPD dan teman-teman tokoh Desa Sukowetan, tercapailah kesepakatan Pamong yang terlibat tetap dipekerjakan tetapi dana yang diselewengkan dikembalikan.
Selesai kasus itu, hampir semua tokoh mengira : aku telah dapat "angpaw" dari para pamong yang megurusi BUMDES. Bayangkan. Jujur aja, keduanya memang dua atau mungkin tiga kali datang ke rumahku, dengan maksud meminta "perlindungan" dan mereka datang sambil menyerahkan "amplop", tapi Demi Allah, dengan halus aku menolaknya. "Jangan lihat aku tidak punya pulsa, aku memang butuh, tapi tidak dengan jalan ini" kataku waktu itu. Istriku pun sangat mendukung sikapku. Setelah masalah BUMDES selesai, keduanya datang lagi dengan maksud menyampaikan terima kasih, disertai "sesuatu" yang dengan tegas kutolak. Aku tidak layak menerima ucapan terima kasih itu, yang pantas menerima adalah warga yang mau dengan ikhlas dan berjiwa besar memaafkan mereka, kataku waktu itu.
Tapi, mereka tidak percaya...! Mereka lebih percaya sumpah "disamber bledek" atau "ketubruk bis", atau apa saja yang sifatnya duniawi, dari pada sumpahku "Demi Allah".... ya Rabbana...ampunilah hamba....(Tulisan, ini hanya sebuah instrospeksi dan upaya untuk meyakinkan diriku sendiri agar mengagungkan sumpah atas nama Dzat Yang Maha Esa, Allah SWT.)
Catatan CahNdeso:
Sekarang, warga bisa melihat, bahwa Kaur Umum/Keuangan dan Kaur Kesra yang lulus ujian tersebut terbukti mampu melaksanakan tugas mereka. Alhamdulillah..........
(Aku Tulis Buat : Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan, maafkan Abah)
2 Komentar:
Matur nuwun kang hamzah sudah komen di blog saya....
Saya juga suka banget baca tulisane sampean..jan memasyarakat...
Kita angkat tanah kelahiran kita ini untuk lebih maju...walaupun hanya lewat tulisan
Sebagai Ponggawa Laskar Menak Sopal, panjenengan tak jibke dadi pengarep, nDan. Siap mengumandangkan tlatah Menak Sopal. Majuuu.. Jalan, grak.
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".