Miras Ria Menjelang Takbiran
Puasa tahun ini hanya kulakukan selama 29 hari, karena Minggu 20 September sudah masuk 1 Syawal 1430 H. Selama hidupku, aku memang selalu berhari raya sesuai dengan keputusan Pemerintah, demikian pula dengan ayah dan ibuku dahulu. Ada rasa senang ada juga rasa masygul. Senang, karena kewajiban shaum (puasa) sudah aku laksanakan. Masygul, sebab khawatir Allah tidak memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan Ramadhan 1431 H yang akan datang.
Dalam beberapa kali menjelang hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, atau menjelang malam tahun baru Hijriyah, aku senantiasa mengikuti dan mencoba mengamati perkembangan kemeriahan sekelilingku. Demikian pula sore kemarin, menjelang berbuka puasa aku mutar-mutar (keya-keya-istilah mbok saya) dan menyeruak diantara ABG di sejumlah lokasi -saya tidak menyebutkan tempat secara tepat- yang jelas di kota Trenggalek, di pinggiran kota, di pedesaan yakni di tempat yang tersembunyi dari tatapan mata umum.
Jalan-jalan menuju pusat kota Trenggalek penuh kendaraan yang hilir mudik. Sementara, di sudut-sudut tertentu, banyak bergerombol anak muda Ternyata aku melihat dengan mata kepala sendiri, ada kelompok ABG, remaja bahkan ada yang sudah dewasa yang menyambut kehadiran moment sakral, religius dan historis tersebut dengan miras! Aku tahu mereka pesta miras, tapi soal narkoba aku tidak yakin mereka konsumsi atau tidak saat itu. Sungguh sebuah fakta yang ironis, namun juga fenomenal. Ironis, karena kejadian ini terjadi di penghujung Ramadhan menjelang Malam Takbiran, fenomenal karena sejarah kesenian Trenggalek di masa lalu diharumkan atau identik dengan Tayub (sebelum dibina oleh Pemkab) yang biasanya diselingi Bir/miras dan mabuk-mabukan para penari dan wiyogonya. Seperti pernah aku tulis dalam Catatan : Malam Akhir Tahun Baru Masehi - umumnya, mereka adalah anak yang kurang berpendidikan tapi sering atau pernah kerja keluar kota/negeri. Dan menurutku, juga ekses negative dari transparansi global tayangan (artikel pada link ini juga dimuat Ra-Tu edisi 16 September 2009, dengan judul "Tayangan Televisi Sebagai Media Pembelajaran") teknologi informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kurasa juga bahwa "revolusi" tingkah laku remaja Trenggalek ini berlangsung sejak awal-awal dibukanya kran pengiriman tenaga kerja kita keluar negeri.
Mundur ke belakang, tahun lalu menjelang tengah malam, aku masih di depan laptop, pintu rumahku masih terbuka, tiba-tiba petugas patroli Polsek Karangan singgah ke rumahku, menginformasikan bahwa di tengah jalan dekat sawah di desaku, mereka melihat sekelompok anak-anak yang sedang “miras”, dan ketika tahu mobil patroli lewat anak-anak ini “semburat” melarikan diri. “Kami berharap, Bapak bisa membantu kami untuk memberikan bimbingan pada mereka. Kasihan masa depan mereka jika kelakuan itu dibiarkan berlarut-larut”, kata komandannya waktu itu (maaf, aku lupa nama beliau, tapi Kapolseknya saat itu kalau tidak keliru adalah Bapak Sanusi). Sebagai Ketua RW, saat itu aku berkilah bahwa di lingkunganku tidak ada remaja/warga yang “demen miras”, sambil menambahkan aku siap 100% membantu Polisi dalam hal ini.
Keesokan harinya, aku mencari anak-anak yang dimaksudkan Pak Polisi. Informasi dari istriku, kudapatkan nama-nama remaja yang semalam nongkrong di “bulak” yang dimaksud Pak Polisi. Aku kemudian menemui mereka satu persatu dan dengan tegas mengancam mereka. Bila sampai ada kutemukan mereka mengulangi perbuatan itu, maka akan kulaporkan ke Pak Polisi. Apalagi salah seorang dari mereka ternyata adalah anak dari adik istriku (alias keponakanku sendiri) yang berasal dari Sidoarjo, namun sekolah di kelas IX SMP Negeri 3 Karangan dan aku adalah walinya! Mereka kuancam dengan ultimatum yang keras, sebab ternyata orang tua mereka sudah “jibeg” oleh kebrutalan ulah anaknya. Sedang keponakanku sendiri, selain ancaman dan ultimatum, juga aku “jejer” (hukum) sepantasnya.
Kembali pada topik semula, sore kemarin di lokasi pekuburan di desaku juga aku lihat puluhan remaja ini “bermiras” ria. Mereka berasal dari desaku dan dari desa tetangga. Aku memilih hanya memantau dari kejauhan tanpa sepengetahuan mereka, bila aku mendekat, mungkin mereka akan bersikap atraktif dan “menggasak” ku dengan ulah yang tidak sopan. Bila aku lapor ke Pak Polisi, aku tak ingin orang tua mereka terseret dalam urusan ini. Karena menjelang berbuka puasa, aku lalu pulang. Tadi siang, aku mendatangi beberapa orang dari remaja tersebut yang berasal dari lingkunganku satu persatu, dan kembali kupakai trik lama : ancaman dan ultimatum.
Beberapa tahun yang lalu, aku memakai gaya persuasif. Saat mereka (remaja di desaku) bermiras ria maka aku ikutan ngumpul bersama mereka dan turut pula menenggak satu “sloki penghormatan”. Kemudian dilain waktu, aku membicarakan bersama mereka segi manfaat dan mudaratnya miras. Bahkan, pernah lima orang dari mereka terkena kasus sebagai efek “bermiras” yang memaksa mereka untuk menginap di Polres Trenggalek, aku mengajak istriku untuk menjenguk mereka, membawakan mereka rokok, dan lain-lain. Alhamdulillah, cara-caraku pada akhirnya membuahkan hasil. Sekarang mereka sudah tidak lagi bermiras ria. Perlu diketahui, bahwa remaja yang kupergoki di pekuburan kemarin sore, dari generasi berbeda dengan yang kusebut belakangan. Untuk kasus kemarin, aku tidak lakukan gaya “awor-wowor-among” (maksudku persuasif), sebab sudah bukan saatnya lagi bagiku.
Reformasi Tradisi “Maleman”
Sepuluh hari menjelang lebaran, ada tradisi “maleman” di desaku, juga di mana pun kaum muslimin berada, yakni saat-saat malam “lailatul qadar”, yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Selain mengkhusyu’kan diri dengan ibadah malam, puluhan tahun hingga belasan tahun lalu warga di desaku menyambut malam ganjil tersebut dengan kebiasaan (baca: tradisi) “ater-ater”, si-mBok dulu saling bertukar “tajilan” plus “berkat” dengan tetangga kami. Tapi satu dekade sesudah itu, “ater-ater” berubah menjadi kami mengundang tetangga ke rumah lalu berganti aku diajak Bapak menghadiri undangan mereka untuk kenduren, pulangnya kami membawa berkat. Dalam kenduren tersebut selain “ubo rampe” khusus, cara penyajian hidangan dan pembagian “berkat” sungguh sangat akrab. Nasi dan lauk pauknya dibagi oleh orang-orang tertentu yang memang terbiasa melakukannya, hanya dengan tangan mereka.
Ayam panggang (ingkung) mereka “preteli”, nasi juga diciduk dengan telapak tangan, ditaruh di daun sebagai pengganti piring. Kebiasaan pembagian berkat kenduren seperti ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan aku merasa ini sangat baik dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah, kita makan dengan telapak tangan (muluk) akan lebih baik dari pada kalau pakai sendok. Di telapak tangan kita ini menurut ilmu kedokteran ternyata mengandung kuman yang bisa mempercepat proses pencernaan makanan dalam perut kita. Aku juga ingat, bila ada lalat dalam minuman kita, maka sebaiknya justru kita tenggelam dulu lalat tersebut baru dibuang dan minuman niscaya akan tetap sehat untuk dikonsumsi. H. Agus Salim juga pernah berkilah, ketika dalam suatu jamuan makan di luar negeri disindir oleh diplomat Manca Negara tentang :”buruknya” kebiasaan makan langsung dari tangan (muluk), beliau menjawab “saya lebih percaya kebersihan tangan saya dari pada sendok”.
Lima tahun terakhir, kebiasaan “ater-ater” dan saling mengundang tetangga untuk kenduren “maleman” berubah lagi. Kini istriku setiap menjelang “maleman”, sore hari sibuk di dapur, kemudian waktu tarawih dia membawa “sesuatu” ke mushola (itu adalah nasi bungkus/”pelangan”), aku sendiri lebih sering tarawih di rumah, kalau di mushola raka'atnya banyak, bila kulakukan sendiri paling 11 raka'at atau 9 raka'at dan aku malas pakai doa Qunut. Tetanggaku juga demikian. Pulang dari shalat tarawih, dia membawa “pelangan” tapi bukan miliknya, melainkan milik tetatangga kami. Sudah tentu, dia hanya nmembawa pulang jatah kami secukupnya. Giliran bawa nasi bungkus ke mushola ini bergantian jadi tidak serentak tiap rumah, juga hanya mereka yang mampu.
Mungkin sepuluh tahun lagi, “ater-ater” ini berubah lagi, siapa tahu? Bisa saja mengikuti perkembangan teknologi, “ater-ater” di malam lailatul qadar memanfaatkan internet sebagai media bertukar “berkat/tajilan”…. Anak atau cucuku mengirim email pada tetangganya berisi doa-doa sambil mengatakan bahwa “ater-ater” sudah dikirim dan tinggal menunggu diantar oleh penyedia jasa layanan, karena mereka pesan lewat “koki online”. Hiya kaaaan??? (Mudah-mudahan tidak terjadi, amin).
Puasa tahun ini hanya kulakukan selama 29 hari, karena Minggu 20 September sudah masuk 1 Syawal 1430 H. Selama hidupku, aku memang selalu berhari raya sesuai dengan keputusan Pemerintah, demikian pula dengan ayah dan ibuku dahulu. Ada rasa senang ada juga rasa masygul. Senang, karena kewajiban shaum (puasa) sudah aku laksanakan. Masygul, sebab khawatir Allah tidak memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan Ramadhan 1431 H yang akan datang.
Dalam beberapa kali menjelang hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, atau menjelang malam tahun baru Hijriyah, aku senantiasa mengikuti dan mencoba mengamati perkembangan kemeriahan sekelilingku. Demikian pula sore kemarin, menjelang berbuka puasa aku mutar-mutar (keya-keya-istilah mbok saya) dan menyeruak diantara ABG di sejumlah lokasi -saya tidak menyebutkan tempat secara tepat- yang jelas di kota Trenggalek, di pinggiran kota, di pedesaan yakni di tempat yang tersembunyi dari tatapan mata umum.
Jalan-jalan menuju pusat kota Trenggalek penuh kendaraan yang hilir mudik. Sementara, di sudut-sudut tertentu, banyak bergerombol anak muda Ternyata aku melihat dengan mata kepala sendiri, ada kelompok ABG, remaja bahkan ada yang sudah dewasa yang menyambut kehadiran moment sakral, religius dan historis tersebut dengan miras! Aku tahu mereka pesta miras, tapi soal narkoba aku tidak yakin mereka konsumsi atau tidak saat itu. Sungguh sebuah fakta yang ironis, namun juga fenomenal. Ironis, karena kejadian ini terjadi di penghujung Ramadhan menjelang Malam Takbiran, fenomenal karena sejarah kesenian Trenggalek di masa lalu diharumkan atau identik dengan Tayub (sebelum dibina oleh Pemkab) yang biasanya diselingi Bir/miras dan mabuk-mabukan para penari dan wiyogonya. Seperti pernah aku tulis dalam Catatan : Malam Akhir Tahun Baru Masehi - umumnya, mereka adalah anak yang kurang berpendidikan tapi sering atau pernah kerja keluar kota/negeri. Dan menurutku, juga ekses negative dari transparansi global tayangan (artikel pada link ini juga dimuat Ra-Tu edisi 16 September 2009, dengan judul "Tayangan Televisi Sebagai Media Pembelajaran") teknologi informasi. Dalam kehidupan sehari-hari, kurasa juga bahwa "revolusi" tingkah laku remaja Trenggalek ini berlangsung sejak awal-awal dibukanya kran pengiriman tenaga kerja kita keluar negeri.
Mundur ke belakang, tahun lalu menjelang tengah malam, aku masih di depan laptop, pintu rumahku masih terbuka, tiba-tiba petugas patroli Polsek Karangan singgah ke rumahku, menginformasikan bahwa di tengah jalan dekat sawah di desaku, mereka melihat sekelompok anak-anak yang sedang “miras”, dan ketika tahu mobil patroli lewat anak-anak ini “semburat” melarikan diri. “Kami berharap, Bapak bisa membantu kami untuk memberikan bimbingan pada mereka. Kasihan masa depan mereka jika kelakuan itu dibiarkan berlarut-larut”, kata komandannya waktu itu (maaf, aku lupa nama beliau, tapi Kapolseknya saat itu kalau tidak keliru adalah Bapak Sanusi). Sebagai Ketua RW, saat itu aku berkilah bahwa di lingkunganku tidak ada remaja/warga yang “demen miras”, sambil menambahkan aku siap 100% membantu Polisi dalam hal ini.
Keesokan harinya, aku mencari anak-anak yang dimaksudkan Pak Polisi. Informasi dari istriku, kudapatkan nama-nama remaja yang semalam nongkrong di “bulak” yang dimaksud Pak Polisi. Aku kemudian menemui mereka satu persatu dan dengan tegas mengancam mereka. Bila sampai ada kutemukan mereka mengulangi perbuatan itu, maka akan kulaporkan ke Pak Polisi. Apalagi salah seorang dari mereka ternyata adalah anak dari adik istriku (alias keponakanku sendiri) yang berasal dari Sidoarjo, namun sekolah di kelas IX SMP Negeri 3 Karangan dan aku adalah walinya! Mereka kuancam dengan ultimatum yang keras, sebab ternyata orang tua mereka sudah “jibeg” oleh kebrutalan ulah anaknya. Sedang keponakanku sendiri, selain ancaman dan ultimatum, juga aku “jejer” (hukum) sepantasnya.
Kembali pada topik semula, sore kemarin di lokasi pekuburan di desaku juga aku lihat puluhan remaja ini “bermiras” ria. Mereka berasal dari desaku dan dari desa tetangga. Aku memilih hanya memantau dari kejauhan tanpa sepengetahuan mereka, bila aku mendekat, mungkin mereka akan bersikap atraktif dan “menggasak” ku dengan ulah yang tidak sopan. Bila aku lapor ke Pak Polisi, aku tak ingin orang tua mereka terseret dalam urusan ini. Karena menjelang berbuka puasa, aku lalu pulang. Tadi siang, aku mendatangi beberapa orang dari remaja tersebut yang berasal dari lingkunganku satu persatu, dan kembali kupakai trik lama : ancaman dan ultimatum.
Beberapa tahun yang lalu, aku memakai gaya persuasif. Saat mereka (remaja di desaku) bermiras ria maka aku ikutan ngumpul bersama mereka dan turut pula menenggak satu “sloki penghormatan”. Kemudian dilain waktu, aku membicarakan bersama mereka segi manfaat dan mudaratnya miras. Bahkan, pernah lima orang dari mereka terkena kasus sebagai efek “bermiras” yang memaksa mereka untuk menginap di Polres Trenggalek, aku mengajak istriku untuk menjenguk mereka, membawakan mereka rokok, dan lain-lain. Alhamdulillah, cara-caraku pada akhirnya membuahkan hasil. Sekarang mereka sudah tidak lagi bermiras ria. Perlu diketahui, bahwa remaja yang kupergoki di pekuburan kemarin sore, dari generasi berbeda dengan yang kusebut belakangan. Untuk kasus kemarin, aku tidak lakukan gaya “awor-wowor-among” (maksudku persuasif), sebab sudah bukan saatnya lagi bagiku.
Reformasi Tradisi “Maleman”
Sepuluh hari menjelang lebaran, ada tradisi “maleman” di desaku, juga di mana pun kaum muslimin berada, yakni saat-saat malam “lailatul qadar”, yakni malam 21, 23, 25, 27, dan 29. Selain mengkhusyu’kan diri dengan ibadah malam, puluhan tahun hingga belasan tahun lalu warga di desaku menyambut malam ganjil tersebut dengan kebiasaan (baca: tradisi) “ater-ater”, si-mBok dulu saling bertukar “tajilan” plus “berkat” dengan tetangga kami. Tapi satu dekade sesudah itu, “ater-ater” berubah menjadi kami mengundang tetangga ke rumah lalu berganti aku diajak Bapak menghadiri undangan mereka untuk kenduren, pulangnya kami membawa berkat. Dalam kenduren tersebut selain “ubo rampe” khusus, cara penyajian hidangan dan pembagian “berkat” sungguh sangat akrab. Nasi dan lauk pauknya dibagi oleh orang-orang tertentu yang memang terbiasa melakukannya, hanya dengan tangan mereka.
Ayam panggang (ingkung) mereka “preteli”, nasi juga diciduk dengan telapak tangan, ditaruh di daun sebagai pengganti piring. Kebiasaan pembagian berkat kenduren seperti ini masih berlangsung sampai sekarang. Dan aku merasa ini sangat baik dan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah, kita makan dengan telapak tangan (muluk) akan lebih baik dari pada kalau pakai sendok. Di telapak tangan kita ini menurut ilmu kedokteran ternyata mengandung kuman yang bisa mempercepat proses pencernaan makanan dalam perut kita. Aku juga ingat, bila ada lalat dalam minuman kita, maka sebaiknya justru kita tenggelam dulu lalat tersebut baru dibuang dan minuman niscaya akan tetap sehat untuk dikonsumsi. H. Agus Salim juga pernah berkilah, ketika dalam suatu jamuan makan di luar negeri disindir oleh diplomat Manca Negara tentang :”buruknya” kebiasaan makan langsung dari tangan (muluk), beliau menjawab “saya lebih percaya kebersihan tangan saya dari pada sendok”.
Lima tahun terakhir, kebiasaan “ater-ater” dan saling mengundang tetangga untuk kenduren “maleman” berubah lagi. Kini istriku setiap menjelang “maleman”, sore hari sibuk di dapur, kemudian waktu tarawih dia membawa “sesuatu” ke mushola (itu adalah nasi bungkus/”pelangan”), aku sendiri lebih sering tarawih di rumah, kalau di mushola raka'atnya banyak, bila kulakukan sendiri paling 11 raka'at atau 9 raka'at dan aku malas pakai doa Qunut. Tetanggaku juga demikian. Pulang dari shalat tarawih, dia membawa “pelangan” tapi bukan miliknya, melainkan milik tetatangga kami. Sudah tentu, dia hanya nmembawa pulang jatah kami secukupnya. Giliran bawa nasi bungkus ke mushola ini bergantian jadi tidak serentak tiap rumah, juga hanya mereka yang mampu.
Mungkin sepuluh tahun lagi, “ater-ater” ini berubah lagi, siapa tahu? Bisa saja mengikuti perkembangan teknologi, “ater-ater” di malam lailatul qadar memanfaatkan internet sebagai media bertukar “berkat/tajilan”…. Anak atau cucuku mengirim email pada tetangganya berisi doa-doa sambil mengatakan bahwa “ater-ater” sudah dikirim dan tinggal menunggu diantar oleh penyedia jasa layanan, karena mereka pesan lewat “koki online”. Hiya kaaaan??? (Mudah-mudahan tidak terjadi, amin).
Kutulis Buat :
Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan. Maafkan Abah.
Keluargaku Tercinta. Tiada harta yang bisa kuwariskan. Maafkan Abah.
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".