Malam ini adalah akhir tugas kalender 2008 diganti penanggalan 2009, untuk melayani catatan umat manusia dalam kurun waktu 12 bulan ke depan. Penanggalan Masehi memang milik semua orang. Beda dengan perhitungan Saka yang umumnya hanya dipakai orang-orang Jawa dan Hijriah yang menjadi milik ummat Islam.
Tanggal 1 Muharram dan 1 Syura setahu saya selalu bersamaan. Setiap menyongsong tahun baru Saka dan Hijriah , pada malam hari suasananya terasa sakral. Para sesepuh melakukan tirakat, mencuci benda-benda pusaka, wiridan, atau melaksanakan berbagai amalan, mendekatkan diri pada Dzat Kang Murbeng Dumadi.
Suasana sakral di 1 Syura dan 1 Muharram, setiap tahun memang masih kita rasakan. Namun, sendi-sendi religi dan magisnya terasa ada pergeseran. Nilai-nilai tradisi mencuat hanya sebatas permukaan, tanpa nafas budaya spiritual kecuali formalitas. Paling tidak itulah yang saya rasakan sepanjang beberapa tahun ini. Generasi penerus tradisi kebudayaan lokal, menampakkan kebimbangan, antara keyakinan magis-spiritual dan nilai-nilai budaya keturunan dengan kultur sosial yang dipengaruh perkembangan logika matematis dan intelegensi yakni peradaban teknologi telemedia dan informatika. Di mana seakan tiada lagi batasan ruang dan waktu.
Paradigma ini menimbulkan dilema yang makin tahun kian memojokkan budaya lokal (perilaku, pikiran dan spiritual). Nilai-nilai etika, estetika dan norma-norma tradisional meluncur drastis mendekati dasar yang kering tanpa makna, apalagi penghayatan yang diimplementasikan dalam keseharian. Alam metafisika lamban mereka cerna, sedangkan fakta fiksi yang mereka saksikan menyeret pola pikir mereka ke arah hedonisme dan apologis.
Pergeseran nilai budaya dalam masyarakat, memang ada positifnya. Disatu sisi bila mereka dulu sangat yakin dengan ajimat dan benda pusaka, kini sebagian mereka lebih cenderung memegang ajaran agamanya. Di sisi lain, jika ini terus berlanjut, bisa jadi lambat laun kesenian, permainan dan kebudayaan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai akan musnah. Misalnya, macapat, pagelaran wayang, gobak sodor, pathelele, bersih desa, labuh pari, atau bahkan kebiasaan gotong royong membangun fasilitas umum.
Mari kita melihat, malam tahun baru 2009 ini, meskipun hujan secara sporadis mengguyur beberapa desa, namun ternyata jalan-jalan menuju pusat kota Trenggalek penuh kendaraan warga yang merayakan. Sementara jika kita mau mengawasi dengan jeli, di sudut-sudut tertentu, banyak bergerombol anak muda. Apa yang mereka lakukan? Miras! Bahkan 2-3 tahun yang lalu saya kerap memergoki dan menerima info dari teman-teman, bahwa anak-anak muda ini juga ngoplo. Umumnya, mereka adalah anak yang kurang berpendidikan tapi sering kerja keluar kota/negeri.
Dalam kehidupan sehari-hari, sangat terasa "revolusi" tradisi di kalangan warga Trenggalek. Ini berlangsung sejak awal-awal dibukanya kran pengiriman tenaga kerja kita keluar negeri. Dan bersamaan pula dengan mulai banyaknya siaran telivisi swasta merambah ke seluruh pelosok desa, berisi acara kualitas eksploitasi iklan, serta beredarnya vcd dewasa bajakan. Lihatlah, bagaimana cara berdandan gadis-gadis desa sekarang, ditambah dengan telepon genggam yang ngetrend. Begitu pun dengan para perjakanya. Acara ulang tahun anak di pedesaan pada 20 tahun lalu tidaklah istimewa, namun kini meriah, malah cenderung meniru-niru tayangan televisi atau vcd. Hampir tak ada lagi keluguan yang tersisa.
Bagaimana kurangnya adab kesopanan, tatakrama (unggah-ungguh) antar generasi mereka -atau- terhadap yang lebih tua. Namun, masih untung tingkat produktivitas warga tidak mengalami penurunan. Sehingga, pergeseran kultur budaya tradisional tidak berpengaruh di sektor ekonomi di daerah kita. Budaya kerja keras, masih melekat.
Nah, Anda tidak perlu heran bila suatu ketika menemukan remaja Trenggalek asal panggul, Munjungan atau desa lainnya, sekarang punya nama Afe Maria Stefany (afe=ave), Kristiano Ronaldo, Rafi Punjabi, Brian Adam Jordan (brian dibaca brian, bukan braen) atau Gofinda Rajip setyawan, ternyata berasal dari keluarga muslim, petani penggarap yang hidupnya pas-pasan. Sementara kelak, nama-nama seperti Setu, Kemis, Leginah, atau Sulikah, khas Jawa (Indonesia) akan hilang dari KTP dan lembar Kartu Keluarga.
Tanggal 1 Muharram dan 1 Syura setahu saya selalu bersamaan. Setiap menyongsong tahun baru Saka dan Hijriah , pada malam hari suasananya terasa sakral. Para sesepuh melakukan tirakat, mencuci benda-benda pusaka, wiridan, atau melaksanakan berbagai amalan, mendekatkan diri pada Dzat Kang Murbeng Dumadi.
Suasana sakral di 1 Syura dan 1 Muharram, setiap tahun memang masih kita rasakan. Namun, sendi-sendi religi dan magisnya terasa ada pergeseran. Nilai-nilai tradisi mencuat hanya sebatas permukaan, tanpa nafas budaya spiritual kecuali formalitas. Paling tidak itulah yang saya rasakan sepanjang beberapa tahun ini. Generasi penerus tradisi kebudayaan lokal, menampakkan kebimbangan, antara keyakinan magis-spiritual dan nilai-nilai budaya keturunan dengan kultur sosial yang dipengaruh perkembangan logika matematis dan intelegensi yakni peradaban teknologi telemedia dan informatika. Di mana seakan tiada lagi batasan ruang dan waktu.
Paradigma ini menimbulkan dilema yang makin tahun kian memojokkan budaya lokal (perilaku, pikiran dan spiritual). Nilai-nilai etika, estetika dan norma-norma tradisional meluncur drastis mendekati dasar yang kering tanpa makna, apalagi penghayatan yang diimplementasikan dalam keseharian. Alam metafisika lamban mereka cerna, sedangkan fakta fiksi yang mereka saksikan menyeret pola pikir mereka ke arah hedonisme dan apologis.
Pergeseran nilai budaya dalam masyarakat, memang ada positifnya. Disatu sisi bila mereka dulu sangat yakin dengan ajimat dan benda pusaka, kini sebagian mereka lebih cenderung memegang ajaran agamanya. Di sisi lain, jika ini terus berlanjut, bisa jadi lambat laun kesenian, permainan dan kebudayaan tradisional yang sarat dengan nilai-nilai akan musnah. Misalnya, macapat, pagelaran wayang, gobak sodor, pathelele, bersih desa, labuh pari, atau bahkan kebiasaan gotong royong membangun fasilitas umum.
Mari kita melihat, malam tahun baru 2009 ini, meskipun hujan secara sporadis mengguyur beberapa desa, namun ternyata jalan-jalan menuju pusat kota Trenggalek penuh kendaraan warga yang merayakan. Sementara jika kita mau mengawasi dengan jeli, di sudut-sudut tertentu, banyak bergerombol anak muda. Apa yang mereka lakukan? Miras! Bahkan 2-3 tahun yang lalu saya kerap memergoki dan menerima info dari teman-teman, bahwa anak-anak muda ini juga ngoplo. Umumnya, mereka adalah anak yang kurang berpendidikan tapi sering kerja keluar kota/negeri.
Dalam kehidupan sehari-hari, sangat terasa "revolusi" tradisi di kalangan warga Trenggalek. Ini berlangsung sejak awal-awal dibukanya kran pengiriman tenaga kerja kita keluar negeri. Dan bersamaan pula dengan mulai banyaknya siaran telivisi swasta merambah ke seluruh pelosok desa, berisi acara kualitas eksploitasi iklan, serta beredarnya vcd dewasa bajakan. Lihatlah, bagaimana cara berdandan gadis-gadis desa sekarang, ditambah dengan telepon genggam yang ngetrend. Begitu pun dengan para perjakanya. Acara ulang tahun anak di pedesaan pada 20 tahun lalu tidaklah istimewa, namun kini meriah, malah cenderung meniru-niru tayangan televisi atau vcd. Hampir tak ada lagi keluguan yang tersisa.
Bagaimana kurangnya adab kesopanan, tatakrama (unggah-ungguh) antar generasi mereka -atau- terhadap yang lebih tua. Namun, masih untung tingkat produktivitas warga tidak mengalami penurunan. Sehingga, pergeseran kultur budaya tradisional tidak berpengaruh di sektor ekonomi di daerah kita. Budaya kerja keras, masih melekat.
Nah, Anda tidak perlu heran bila suatu ketika menemukan remaja Trenggalek asal panggul, Munjungan atau desa lainnya, sekarang punya nama Afe Maria Stefany (afe=ave), Kristiano Ronaldo, Rafi Punjabi, Brian Adam Jordan (brian dibaca brian, bukan braen) atau Gofinda Rajip setyawan, ternyata berasal dari keluarga muslim, petani penggarap yang hidupnya pas-pasan. Sementara kelak, nama-nama seperti Setu, Kemis, Leginah, atau Sulikah, khas Jawa (Indonesia) akan hilang dari KTP dan lembar Kartu Keluarga.
3 Komentar:
ya...kalo saia sih budaya yang membawa nuansi syirik hilang mah lebih bagus pak. kalo perlu budaya seperti adus di suatu sendang karena kepercayaan akan emningkatkan derajat orang ybs, itu dihilangkan saja.
budaya ya budaya
syirik ya syirik
keduanya tidak dapat berdiri bersama
nah...kalo perlu tuh...budaya kembang api di alun2 itu dihentikan saja. mubadzir. dan mubadzir itu temannya setan.
trus masalah nama modern. ya...ga tau artinya sih. tapi setidaknya ada kemajuan daripadi dikasih nama Cikrak ato Lencung misalnya. Yang lebih modern dari Bapak Mbok-nya. STUGIN SAKLITINOV. alias anaknya Pak SeTU dan Mbok LeGINah yang lahir pada SAbtu KLIwon TIga NOVember. Setidaknya menandakan bapak-mboknya itu kreatif.hehehe...
Mas Wipy, thank's for your coment. Namun ada hal yang pantas diwaspadai dari intervensi budaya asing, apalagi jika masuknya langsung via kecanggihan teknologi informasi. Dewasa ini akulturasi budaya dalam Islam mulai sedikit ternetralisir. Untuk mengikisnya secara frontal, tidak pernah diteladankan oleh Rasulullah SAW. Contohnya, Hajarul ashwad dan Ka'bah hingga kini tetap kita pertahankan tanpa berhala di sekelilingnya. Jadi, ada juga budaya tradisional yang adiluhung yang pantas kita pertahankan, semisal jemuk manten, tedhak siti, mitoni, dan lainnya.
Kreativitas sangat dianjurkan dalam Islam. Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat, dari Palestina hingga ke negeri Cina. Menurut saya adalah dasar bagi kita untuk berkreasi dan menyerap modernisasi. Meski demikian, batasan yang harus kita capai jelas : tidak boleh menjurus ke arah yang bertentangan dengan aqidah.
Kebudayaan, pada hakekatnya ialah kebiasaan hidup yang berlangsung lama dalam suatu komunitas manusia. Karena itu, nama seseorang bisa mencerminkan dari mana asal pemiliknya. Skenario para orientalis berjangka panjang, hingga pada suatu saat bisa terjadi jiwa kaum muslimin terintervensi gaya hidup kaum orientalis. Awalnya dari nama diri, lalu ke hal-hal yang seleratif - normatif - dan seterusnya.
Menpan Harmoko dipenghujung jabatannya pernah bertanya yang intinya : apakah bangsa kita siap menerima arus globalisasi informasi dan menerapkan teknologi ini?
Menurut saya, itu adalah pertanyaan yang arif. Mungkin kita bisa mengatakan banyaknya kasus mutilasi, trafficking, pelacuran terselubung, kriminal dan modus korupsi yang memanfaatkan jaringan canggih bukan karena "teknologi informasi yang kehilangan kontrol"?! Atau, mungkin masyarakat kita memang belum siap beradaptasi dengan semua ini demi kemaslahatan ummat?
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".