Citra polisi (Kepolisian Negara Republik Indonesia) kini sedang menukik hingga ke titik nadir. Lembaga pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat ini sedang menghadapi berbagai cercaan akibat diduga merekayasa kasus perencanaan pembunuhan, pemerasan dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan tiga pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sebagai upaya untuk mengkriminalisasi KPK.
Kendati Kapolri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri sudah berulangkali menegaskan bahwa tidak ada rekayasa untuk mengkriminalisasi KPK, namun kepercayaan kepada Polri tidak kunjung pulih. Seolah-olah polisi selalu salah dan KPK selalu benar.
Ada sebuah anekdot tentang kepercayaan kepada polisi, yang menggambarkan berbuat baik dengan tulus pun, polisi selalu dicurigai, tidak dipercaya.
Alkisah, di sebuah kota hidup seorang janda beranak satu. Suaminya telah meninggal semasih Si Anak berusia dua tahun. Namun Si Anak belum memahami betul tentang kematian ayahnya. Sehingga seringkali Si Anak bertanya kepada ibunya: “Di mana ayah, koq lama banget tak pernah kembali?”
Ibunya selalu menjawab bahwa ayahnya sudah pergi ke sorga, dipanggil oleh Tuhan. “Jadi ayah tidak mengingat kita lagi dan tak mau kembali lagi?” tanya Si Anak.
“Bukan! Ayah sangat sayang sama kita dan selalu ingat sama kita. Di sana ayah sedang membangun rumah untuk kita. Nanti kita akan dipanggil ke sorga, bertemu lagi dengan ayah,” jelas ibunya.
Suatu ketika, saat Si Anak duduk di kelas satu SD, beberapa orang teman sepermainannya memiliki sepeda. Si Anak yang sangat sedih karena belum punya sepeda, meminta kepada ibunya supaya dibelikan sepeda. Tetapi ibunya tidak segera memenuhi permintaan Si Anak.
Sehingga Si Anak teringat kepada ayahnya. Karena, kata teman-temannya, sepeda itu dibeli oleh ayah mereka dengan harga satu juta rupiah. Lalu, Si Anak menulis surat kepada ayahnya, berbunyi:
Ayah di Sorga.
Teman-temanku sudah punya sepeda, dibeli oleh ayah mereka. Tinggal aku yang belum. Kalau ayah tidak sempat pulang, tolonglah kirimkan uang satu juta rupiah untuk membeli sepeda.
Si Anak pun memasukkan surat itu ke dalam amplop dan mengirimkannya ke kotak pos di Kantor Pos dekat kelurahan. Di sampul amplop dia tulis: Kepada Ayah di Sorga. Di kolom pengirim, Si Anak pun menulis nama dan alamat rumahnya dengan lengkap, meniru alamat yang selalu dibuat ibunya setiap kali mengirim surat kepada kerabat.
Kemudian esok harinya, Pak Pos menyortir dan mengantar surat itu. Membaca tujuan surat tersebut, Pak Pos merasa iba sehingga tidak tega mengembalikan suratnya. Mau dikemanakan surat itu? Akhirnya Pak Pos menyerahkannya ke kantor polisi terdekat. Siapa tahu surat itu berisi sesuatu hal.
Ketika polisi menerima surat itu, si petugas juga berpikiran demikian. Lalu polisi itu membuka surat dan membacanya. Si Polisi sangat terenyuh membaca surat itu. Dia langsung menangkap bahwa Si Anak ini mungkin sudah tidak punya ayah.
Lalu petugas polisi melaporkan surat itu kepada komandannya. Si Komandan juga terenyuh. Spontan, komandan meminta semua anak buahnya berkumpul di ruang rapat. Kepada anak buahnya, komandan menjelaskan isi surat Si Anak itu. Komandan pun mengajak semua anak buahnya dengan sukarela, tulus, urunan memenuhi permintaan Si Anak.
Untuk memotivasi, komandan langsung merogoh koceknya. “Ini dari saya dua ratus lima puluh ribu,” katanya. Lalu, semua anak buahnya pun membuka dompet, hingga terkumpullah uang sebanyak Rp 900.000.
“Iya, sudah, segitu juga sudah cukup. Kan, ada juga sepeda seharga Rp 900.000,” kata komandan. Komandan pun segera menugaskan dua orang anak buahnya mengantarkan uang itu ke alamat Si Anak.
Kebetulan, Si Anak ada di rumah sendirian. Dengan sedikit kaget, Si Anak membukakan pintu. “Kamu yang bernama Si Anu dan mengirim surat kepada ayahmu di sorga?” tanya polisi, yang diiyakan Si Anak. “Oh, ini uang yang kamu minta,” kata polisi seraya menyerahkan uang itu dan mengelus-elus kepala Si Anak. Setelah berbasa-basi menanyakan keadaan Si Anak dan ibunya, kedua polisi itu pun pergi.
Setelah polisi itu pergi, dengan sangat gembira, Si Anak membuka amplop berisi uang itu. Setelah dia hitung jumlahnya Rp900.000. Dia tercenung beberapa saat. Lalu, Si Anak segera menulis surat lagi kepada ayahnya di sorga dan mengirimkannya lewat kantor pos.
Oleh Pak Pos, surat itu diantar lagi ke kantor polisi. Petugas piket di kantor polisi, langsung menyerahkan surat itu ke komandan, karena dia yakin surat itu berisi ucapan terimakasih dari Si Anak. Komandan pun membuka dan membaca surat itu.
Ayah di Sorga!
Terima kasih telah mengirimkan uang untuk membeli sepeda. Tapi, ayah, lain kali kalau mau kirim uang jangan lewat polisi. Karena kalau lewat polisi langsung dipotong sepuluh persen, yang mereka serahkan hanya Rp 900.000.
Membaca surat itu, komandan polisi geleng-geleng kepala. “Kita menolong dengan tulus pun, tidak dipercaya,” desahnya.
►crs (berita indonesia 72)
1 Komentar:
Saya tertarik terhadap anekdot Anda yang berjudul "Polisi yang Tulus". Kalau diperkenankan anekdot tersebut akan saya jadikan bahan kajian teks dalam buku pelajaran yang saya tulis untuk SMA. Untuk itu, sudilah Anda membalas permohonan ini.
Salam,
Wahono
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".