"Innalillahi Wainnailaihi Rojiuun: Telah berpulang ke Rahmatullah, Gesang Sang Maestro Bengawan Solo".
Tak banyak penyanyi atau pemusik Indonesia yang bisa melegenda di masyarakat. Satu dari yang sedikit itu adalah Gesang. Lagu Bengawan Solo diciptakan pada 1940, ketika ia masih berusia 23 tahun. Pada saat itu, ia tengah duduk di tepi Bengawan Solo.
Gesang yang memiliki nama lengkap Gesang Martohartono. Gesang dalam bahasa Jawa “kromo inggil” berarti "hidup", dan Gesang memang telah banyak menghidupkan dunia musik keroncong di Indonesia. Bengawan Solo salah satu ciptaan Gesang yang legendaris, dan saat ini lagu Bengawan Solo menjadi perebutan antara pihak Belanda dan Indonesia. Padahal Gesang sudah mendaftarkan hak cipta lagu Bengawan Solo tersebut, tapi ada saja orang Belanda yang mengaku menciptakan lagu tersebut.
Biografi Gesang
Lahir di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 1 Oktober 1917. Gesang dikenal sebagai “Maestro keroncong Indonesia” dengan lagu Bengawan Solo yang terkenal dan legendaris itu. Musisi senior tersebut selalu kagum dengan sungai itu sehingga terinspirasi untuk menciptakan sebuah lagu. Proses kreatif lagu ini memakan waktu sekitar enam bulan.
Bukan saja lagu tersebut terkenal di dalam negeri Indonesia saja, di Jepang pun lagu Bengawan Solo sangat terkenal dan banyak digemari terutama oleh kalangan “sepuh” nya. Tidak hanya di Tanah Air, Bengawan Solo juga memiliki popularitas di luar negeri, terutama di Jepang. Bahkan lagu ini sempat dipakai dalam salah satu film layar lebar di Negeri Sakura. Lagu Bengawan Solo diterjemahkan ke dalam setidaknya 13 bahasa dunia, termasuk diantaranya dalam terjemahan bahasa Inggris, bahasa Tionghoa, dan bahasa Jepang.
Gesang pertama kali menciptakan lagu pada 1938 berjudul Keroncong Piatu. Sementara lagu Bengawan Solo yang diciptakan pada 1940 adalah karyanya yang ketiga. Jepang memberikan penghargaan kepada Gesang pada tahun 1983, atas jasanya dalam perkembangan musik keroncong. Bentuk penghargaannya diwujudkan dalam bangunan Taman Gesang di dekat Bengawan Solo. Pemeliharaan Taman Gesang ini didanai oleh Dana Gesang, sebuah lembaga di Jepang yang didirikan untuk Gesang.
Beberapa lagu ciptaan Gesang yang paling populer diantaranya adalah Bengawan Solo, Jembatan Merah, Pamitan, Caping Gunung dan Ojo Lamis (3 yang terakhir terkenal dalam bahasa Jawa).
Akhir Hayat Yang Memprihatinkan
Tidak selamanya popularitas yang diraih seorang seniman bisa menjamin tingkat kesejahteraan hidup. Ini terbukti pada banyak seniman terutama seniman di Indonesia. Kondisi ekonomi Gesang selama hidupnya terbilang sangat sederhana. Bahkan rumah hadiah tipe 21 di Perumahan Nasional Palur, Surakarta, Jateng, yang pernah dihuni bersama sang istri tetap dalam bentuk aslinya, tidak pernah mengalami renovasi.
Meski demikian, sebagai seniman yang tak terlalu pusing memikirkan soal kemapanan, dia tidak pernah mengeluh, apalagi kecewa. Malah sebaliknya, Gesang bangga lantaran lagu hasil karyanya laris manis dan terus diproduksi. Dia juga tak pernah berpikir untuk menerima royalti dari setiap karyanya.
Setelah sang istri meninggal dunia dua tahun silam. Rumah tipe 36 di Perumnas Palur, Karanganyar, Surakarta, yang masih ditempati hingga tiga tahun silam, kini ditinggalkan. Gesang memilih pindah ke Kampung Kemplayan, rumah saudara kelimanya, Toyibi. Sedangkan rumah hadiah almarhum Soepardjo Roestam saat menjabat gubernur Jawa Tengah, ditempati keponakannya.
Sikap lugu Gesang yang tak memikirkan royalti, mengundang simpati PT Penerbit Karya Musik Pertiwi (PT PMP). Sejak 1996, perusahaan itu berjuang mengumpulkan keuntungan dari karya Gesang di seluruh dunia yang mencapai puluhan juta rupiah setiap tahun. Suatu keberuntungan bila kemudian di usia senjanya, Gesang masih sempat menikmati hasil jerih payahnya secara materiil.
Saat ini, lagu-lagu yang diciptakan Gesang diakui sebagai aset nasional. Agar karya Gesang tetap abadi maka PT PMP menerbitkan buku berisi 44 partitur serta syair-syair lagu.
Semasa hidup, Gesang banyak menghabiskan waktunya dengan burung-burung kacer merah kesayangannya. Sesekali ia masih berusaha berjalan di sekitar rumah, menikmati alam pedesaan. Walaupun harus dilakukan dengan susah payah dan tertatih-tatih.
Kini, sang maestro keroncong itu telah pergi. Setelah dirawat selama sembilan hari, Gesang Martohartono mengembuskan napas terakhir dalam usia hampir 93 tahun di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Solo, Jawa Tengah, Kamis (20/5). Sang maestro wafat pada pukul 18.10 WIB setelah kondisinya kembali menurun drastis sejak pukul 12.00 WIB siang tadi.
(Dari berbagai sumber)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".