Di Amerika atau Eropa, internet disensor. Tapi di Indonesia bisa bebas. Korbannya anak-anak, remaja, dan juga Menlu Clinton
Oleh: Amran Nasution*
*)Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
Oleh: Amran Nasution*
SELAMA ini Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling korup di dunia. Kini berkat hasil kerja penyanyi pop kelompok Peterpan Bandung, Nazril Irham alias Ariel, bersama artis Luna Maya dan presenter televisi Cut Tari, Indonesia terkenal sebagai produser film porno dunia.
Rekaman video Ariel sedang melakukan hubungan sebadan dengan Luna Maya dan kemudian Cut Tari, sejak awal Juni lalu bertebaran ke seluruh dunia dengan cepat melalui internet (youtube), atau sebaran rekaman DVD dan telepon genggam.
The Daily Mail, tabloid harian terkenal dengan oplag kedua terbesar di Inggris (nyaris 2 juta eksemplar/hari), memberitakan kasus Ariel pada edisi 23 Juni lalu. Dengan berita itu tentu Indonesia dikenal di Eropa sebagai produsen video porno.
Di Amerika, prestasi Indonesia sudah lebih dulu diketahui publik. Koran terkemuka The New York Times menulis peristiwa memalukan ini 13 Juni lalu, sembari mengaitkannya dengan predikat Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim. Lalu Majalah TIME menurunkan laporan serupa 25 Juni 2010, angle-nya coba mengungkap mengapa banyak penggemar pornografi di negeri berpenduduk mayoritas muslim itu.
Di Australia, negeri tetangga, rekaman porno ini juga sudah tersebar. Sampai-sampai rombongan Komisi 1 DPR yang baru-baru ini berkunjung ke sana merasa mendapat sindiran dari pejabat negeri Kanguru itu. Memalukan.
Prestasi Indonesia sebagai sumber pornografi kian mendunia karena laporan dari kantor berita dunia seperti AFP dan AP kemudian dikutip koran-koran lokal. Wartawan Indonesia yang meliput Piala Dunia di Afrika Selatan merasa terpojok karena menjadi bahan pembicaraan masyarakat setempat setelah koran lokal menulis video Ariel.
Meski tak semassif dan seluas sekarang, tersebarnya rekaman porno semacam ini sebenarnya sudah sering terjadi. Salah satu adalah rekaman politisi Golkar Yahya Zaini dengan penyanyi dangdut Maria Eva, beberapa tahun lampau. Tapi waktu itu peristiwanya tak seheboh sekarang karena Yahya Zaini cuma politisi Golkar yang dikenal publik secara terbatas.
Selain itu, tentu saja Yahya tak seganteng Ariel, vokalis yang amat popular. Maria Eva, lawan main Yahya dalam rekaman itu pun cuma artis pinggiran. Sulit dibandingkan dengan Luna Maya atau Cut Tari yang rupawan dan tersohor.
Apalagi sebagai artis Luna Maya tampaknya dikenal sementara orang penting negeri ini. Buktinya, ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Nyonya Hillary Clinton mengunjungi Indonesia, tahun lalu, selain menemui Presiden SBY, Clinton sempat diwawancarai secara eksklusif oleh Luna Maya di sebuah stasiun televisi Indonesia.
Dan tak kepalang tanggung, untuk wawancara itu Nyonya Clinton harus mendatangi Luna Maya di stasiun televisinya. Tanpa hubungan khusus mana mungkin Nyonya Clinton bisa diwawancara seperti itu di Indonesia?
Sekarang, setelah rekaman porno itu tersebar, pemerintah Amerika Serikat tentu sangat kecewa bagaimana pejabat pentingnya – bekas Ibu Negara lagi -- diwawancara bintang porno semacam Luna Maya. Sepantasnya kalau Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mempertanyakan masalah ini kepada para pejabat Indonesia terkait, terutama dari lingkungan intelijen. Bagaimana bisa terjadi pejabat sepenting Nyonya Clinton diwawancarai bintang film tak senonoh?
Apa pun masalahnya, berhasil mewawancara eksklusif Menlu Hillary Clinton, menunjukkan kelas tersendiri Luna Maya. Nyonya Clinton boleh dibilang adalah pejabat terpenting Amerika Serikat nomor tiga setelah Presiden Obama dan Wakil Presiden Joe Biden.
Semua ini menjadi jawaban mengapa rekaman porno yang melibatkan Luna Maya begitu menggegerkan. Apalagi Luna adalah bintang iklan sejumlah produk terkenal seperti sabun Lux, selain duta berbagai kegiatan nasional ke luar negeri. Contoh: Luna Maya adalah Duta Bulu Tangkis Indonesia.
Tapi sekarang selain Nyonya Clinton, betapa banyak korban jatuh akibat meluasnya peredaran rekaman porno itu? Dampak yang terjadi, terutama pada anak dan remaja kita, sungguh luar biasa. Menurut pengamatan Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), rekaman itu telah ditonton mayoritas anak-anak di kota besar.
“Dari 30 anak yang saya tanya, 24 anak menyatakan telah melihat,’’ kata Hadi Supeno kepada wartawan ketika mengunjungi Markas Besar Kepolisian Jakarta, 24 Juni lalu. Bisa ditebak apa yang terjadi ketika anak-anak melihat adegan-adegan porno itu. Maka korban pun berjatuhan.
Menurut laporan yang diterima KPAI, dari 14 hingga 23 Juni 2010 saja, sebanyak 33 anak usia 4 hingga 12 tahun telah menjadi korban perkosaan oleh remaja usia 16-18 tahun. Dan menurut Hadi Supeno, para pelaku pemerkosaan yang tertangkap mengaku melakukan perbuatan biadab itu karena terangsang menonton video porno para artis terkenal itu.
Mengingat begitu meluasnya pemakaian telepon genggam, pemilikan komputer (atau sebaran warung internet), dan rekaman VCD/DVD bajakan, wajar kalau peredaran video porno itu tak terbatas pada anak atau remaja kota besar (seperti sinyalemen Hadi Supeno), tapi telah menjalar ke kota kecil atau pedesaan dengan kecepatan seperti api membakar ilalang kering.
Sesungguhnya video mesum ini mempertontonkan gaya hidup seks bebas yang selama ini dikampanyekan kaum liberalis di sini sebagai hak-hak individual. Lihatlah bagaimana Cut Tari didampingi suaminya Yusuf Subrata setiap datang ke kantor polisi. Secara demonstratif dipertontonkan seolah sang suami sedikit pun tak keberatan istrinya melakukan berbagai adegan ranjang dengan lelaki lain dan direkam dalam video yang beredar luas itu. Hubungan suami-istri seperti ini dalam kampanye kaum liberalis dianggap ideal karena saling tahu dan menghargai hak individual masing-masing.
Markas Besar Kepolisian memang sedang mengusut kebenaran rekaman itu. Untuk itu, polisi telah menangkap dan menahan Ariel sejak 22 Juni lalu. Luna Maya dan Cut Tari juga sudah menjadi tersangka. Tapi keduanya tak ditahan polisi. Sejumlah yang lain disangka polisi sebagai penyebar film porno itu.
Tuduhan terhadap vokalis grup musik Bandung yang kini diplesetkan orang dengan Peterporn itu adalah membuat dan mengedarkan video porno. Bila terbukti, Ariel bisa dihukum 12 tahun penjara karena melanggar pasal pidana seperti diatur UU Pornografi dan beberapa undang-undang lainnya. Tapi tampaknya pemeriksaan berjalan lambat.
Isu yang beredar menyebutkan polisi sengaja memperlambat pemeriksaan karena kasus ini dianggap sangat menarik dan mendominasi perhatian publik. Dengan demikian isu ini diharap bisa menutupi berbagai isu lain yang menyerempet institusi Polri, seperti tuduhan pembalasan dendam Mabes Polri terhadap Komisaris Jenderal Susno Duadji, bekas Kabag Reskrim Polri, atau heboh rekening sejumlah perwira tinggi Polri yang dibongkar Majalah TEMPO dan organisasi antikorupsi, ICW.
Bahkan berita penyerangan kantor majalah TEMPO di kawasan Proklamasi Jakarta dengan bom Molotov, serta penganiayaan terhadap aktivis ICW yang membongkar rekening perwira tinggi Polri, tak mampu menggeser dominasi berita video Ariel.
Presiden SBY Harus Tanggung Jawab
Kini polisi di pelbagai daerah sibuk menguber para penyebar video porno. Tapi masalahnya, mereka itu bukanlah pengunggah pertama, sehingga tak bisa diketahui hubungannya dengan Ariel, Luna Maya, maupun Cut Tari. Artinya, pelacakan yang dilakukan polisi atas kasus ini masih jauh dari tuntas.
Yang terjadi sekarang adalah sebuah bencana nasional – bahkan internasional – yang harus dihadapi masyarakat dan pemerintah. Pornografi kini mengancam dunia (terutama anak-anak) karena ia tersebar luas berkat kemajuan teknologi, antara lain internet dan telepon genggam. Penyebaran material porno itu berekor pada meluasnya penularan penyakit mematikan HIV/AIDS.
Tapi anehnya, Presiden SBY seakan tak peduli. Dalam kasus Undang-Undang Pornografi saja, ketika muncul tantangan kuat dari kelompok-kelompok liberalis dulu, SBY tak pernah terdengar suaranya. Mungkin karena dia terpengaruh ide-ide kelompok itu atau karena berteman dengan sejumlah pentolan liberalis. Padahal dengan UU Pornografi itulah Ariel dan orang semacamnya bisa ditindak.
Dengan sikap Presiden SBY selama ini, Indonesia menjadi negara paling liberal di dunia. Di sini pula pornografi paling bebas, dengan mudah dicapai anak-anak dan remaja. Pergilah ke kawasan Glodok, Jakarta, dengan mudah Anda temukan betapa bebasnya video porno itu diperjual-belikan, termasuk untuk anak-anak dan remaja.
Warung internet (Warnet) ada di pelbagai pojok kota dengan bebasnya menyediakan fasilitas untuk anak-anak menonton pornografi, asal bisa bayar. Itu sesuatu yang tak bisa ditemukan di negara-negara Barat yang paling liberal sekali pun.
Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan penyebaran internet sebebas-bebasnya tanpa sensor sama sekali. Inilah bukti paling konkret bahwa Presiden SBY menjalankan politik liberal mengikuti selera kaum liberalis Indonesia.
Padahal negara paling liberal sekali pun seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Spanyol, melakukan sensor atas internet, terutama untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya pornografi. Sensor yang sama dilakukan semua negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand, atau Australia dan Selandia Baru. Kita tak bicara tentang China, Iran, Arab Saudi dan sejumlah negara di Timur Tengah yang menyensor internet dengan sangat ketat.
Lantas kenapa kita bebaskan internet tanpa sensor? Untuk itu rakyat harus minta pertanggung-jawaban pemerintah, terutama Presiden SBY. Akibat pembebasan internet itu, anak-anak dan generasi muda kita telah kenyang oleh pornografi seperti dikhawatirkan para pendidik selama ini.
Sekarang setelah peristiwa ini meledak baru Presiden SBY bilang setuju dilakukan sensor terhadap internet. Sungguh sebuah pernyataan yang amat terlambat setelah bertahun-tahun internet menelan begitu banyak korban dengan leluasa.
Itu tak terjadi di Eropa atau Amerika. Mereka sudah lama menyensor internet demi kepentingan generasi mendatang. Amerika Serikat, misalnya, tak main-main dalam melindungi anak-anak dari pornografi, terutama karena dampak kemajuan teknologi internet.
Undang-undang federalnya pun dipersiapkan dengan baik, dikenal sebagai PROTECT Act (Prosecutorial remedies and Others to End the Exploitation of Children Today), yang dianggap ampuh menghadapi perdagangan pornografi anak-anak lewat internet.
Dengan PROTECT Act, orang bisa dituntut hanya dengan mempromosikan material pornografi anak-anak kepada orang lain, meski pun materialnya sendiri tak ada atau tak ditemukan. Itu diperlukan karena seringkali sulit membuktikan pornografi di internet yang melibatkan anak-anak secara langsung.
Polisi Federal Amerika Serikat, FBI, menjadikan kejahatan dunia maya (cybercrime), terutama dalam mencegah pornografi anak-anak, sebagai prioritas tertinggi ketiga setelah terorisme (counterterrorism) dan spionase asing (counterintelligence).
Bukan cuma itu. Bea Cukai dan Imigrasi Amerika Serikat (US Immigration dan Customs Enforcement) memiliki Cyber Crimes Center di Fairfax County yang memfokuskan diri menghadapi serangan pornografi anak-anak dari luar Amerika.
Setiap Anda mendarat di lapangan terbang mana pun di Amerika Serikat, bersiaplah karena komputer jinjing (laptop) yang Anda bawa akan digeledah habis-habisan. Mereka mencari bahan pornografi (lihat The New York Times, 26 Juni 2008).
Departemen Kehakiman memiliki Proyek Selamatkan Anak-anak (Project Safe Childhood) yang mengkoordinasikan perlawanan terhadap pornografi anak-anak. Dalam soal hukuman terhadap pasal-pasal pidana ini, pengadilan tak main-main. Tiga tahun lalu, Charles Rust-Tierney, mantan Kepala Perserikatan Kebebasan Hak-Hak Sipil Amerika (American Civil Liberties Union), divonis 7 tahun penjara karena ketahuan mengunduh (download) ratusan bahan pornografi anak-anak dari internet (The Washington Post, 15 Desember 2007). Bayangkan: 7 tahun penjara hanya untuk merekam adegan porno dari internet.
Banyak orang lain mengalami nasib serupa. Ada profesor dari kampus terkemuka, ada perwira polisi atau tentara, dan ada pula pegawai pemerintah. Sementara di Indonesia pemerintah membebaskannya sebebas-bebasnya sampai anak-anak dan generasi muda kita mabuk pornografi. Sampai Menlu Clinton pun terpeleset diwawancarai bintang porno.[hidayatullah]
Rekaman video Ariel sedang melakukan hubungan sebadan dengan Luna Maya dan kemudian Cut Tari, sejak awal Juni lalu bertebaran ke seluruh dunia dengan cepat melalui internet (youtube), atau sebaran rekaman DVD dan telepon genggam.
The Daily Mail, tabloid harian terkenal dengan oplag kedua terbesar di Inggris (nyaris 2 juta eksemplar/hari), memberitakan kasus Ariel pada edisi 23 Juni lalu. Dengan berita itu tentu Indonesia dikenal di Eropa sebagai produsen video porno.
Di Amerika, prestasi Indonesia sudah lebih dulu diketahui publik. Koran terkemuka The New York Times menulis peristiwa memalukan ini 13 Juni lalu, sembari mengaitkannya dengan predikat Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim. Lalu Majalah TIME menurunkan laporan serupa 25 Juni 2010, angle-nya coba mengungkap mengapa banyak penggemar pornografi di negeri berpenduduk mayoritas muslim itu.
Di Australia, negeri tetangga, rekaman porno ini juga sudah tersebar. Sampai-sampai rombongan Komisi 1 DPR yang baru-baru ini berkunjung ke sana merasa mendapat sindiran dari pejabat negeri Kanguru itu. Memalukan.
Prestasi Indonesia sebagai sumber pornografi kian mendunia karena laporan dari kantor berita dunia seperti AFP dan AP kemudian dikutip koran-koran lokal. Wartawan Indonesia yang meliput Piala Dunia di Afrika Selatan merasa terpojok karena menjadi bahan pembicaraan masyarakat setempat setelah koran lokal menulis video Ariel.
Meski tak semassif dan seluas sekarang, tersebarnya rekaman porno semacam ini sebenarnya sudah sering terjadi. Salah satu adalah rekaman politisi Golkar Yahya Zaini dengan penyanyi dangdut Maria Eva, beberapa tahun lampau. Tapi waktu itu peristiwanya tak seheboh sekarang karena Yahya Zaini cuma politisi Golkar yang dikenal publik secara terbatas.
Selain itu, tentu saja Yahya tak seganteng Ariel, vokalis yang amat popular. Maria Eva, lawan main Yahya dalam rekaman itu pun cuma artis pinggiran. Sulit dibandingkan dengan Luna Maya atau Cut Tari yang rupawan dan tersohor.
Apalagi sebagai artis Luna Maya tampaknya dikenal sementara orang penting negeri ini. Buktinya, ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Nyonya Hillary Clinton mengunjungi Indonesia, tahun lalu, selain menemui Presiden SBY, Clinton sempat diwawancarai secara eksklusif oleh Luna Maya di sebuah stasiun televisi Indonesia.
Dan tak kepalang tanggung, untuk wawancara itu Nyonya Clinton harus mendatangi Luna Maya di stasiun televisinya. Tanpa hubungan khusus mana mungkin Nyonya Clinton bisa diwawancara seperti itu di Indonesia?
Sekarang, setelah rekaman porno itu tersebar, pemerintah Amerika Serikat tentu sangat kecewa bagaimana pejabat pentingnya – bekas Ibu Negara lagi -- diwawancara bintang porno semacam Luna Maya. Sepantasnya kalau Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mempertanyakan masalah ini kepada para pejabat Indonesia terkait, terutama dari lingkungan intelijen. Bagaimana bisa terjadi pejabat sepenting Nyonya Clinton diwawancarai bintang film tak senonoh?
Apa pun masalahnya, berhasil mewawancara eksklusif Menlu Hillary Clinton, menunjukkan kelas tersendiri Luna Maya. Nyonya Clinton boleh dibilang adalah pejabat terpenting Amerika Serikat nomor tiga setelah Presiden Obama dan Wakil Presiden Joe Biden.
Semua ini menjadi jawaban mengapa rekaman porno yang melibatkan Luna Maya begitu menggegerkan. Apalagi Luna adalah bintang iklan sejumlah produk terkenal seperti sabun Lux, selain duta berbagai kegiatan nasional ke luar negeri. Contoh: Luna Maya adalah Duta Bulu Tangkis Indonesia.
Tapi sekarang selain Nyonya Clinton, betapa banyak korban jatuh akibat meluasnya peredaran rekaman porno itu? Dampak yang terjadi, terutama pada anak dan remaja kita, sungguh luar biasa. Menurut pengamatan Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), rekaman itu telah ditonton mayoritas anak-anak di kota besar.
“Dari 30 anak yang saya tanya, 24 anak menyatakan telah melihat,’’ kata Hadi Supeno kepada wartawan ketika mengunjungi Markas Besar Kepolisian Jakarta, 24 Juni lalu. Bisa ditebak apa yang terjadi ketika anak-anak melihat adegan-adegan porno itu. Maka korban pun berjatuhan.
Menurut laporan yang diterima KPAI, dari 14 hingga 23 Juni 2010 saja, sebanyak 33 anak usia 4 hingga 12 tahun telah menjadi korban perkosaan oleh remaja usia 16-18 tahun. Dan menurut Hadi Supeno, para pelaku pemerkosaan yang tertangkap mengaku melakukan perbuatan biadab itu karena terangsang menonton video porno para artis terkenal itu.
Mengingat begitu meluasnya pemakaian telepon genggam, pemilikan komputer (atau sebaran warung internet), dan rekaman VCD/DVD bajakan, wajar kalau peredaran video porno itu tak terbatas pada anak atau remaja kota besar (seperti sinyalemen Hadi Supeno), tapi telah menjalar ke kota kecil atau pedesaan dengan kecepatan seperti api membakar ilalang kering.
Sesungguhnya video mesum ini mempertontonkan gaya hidup seks bebas yang selama ini dikampanyekan kaum liberalis di sini sebagai hak-hak individual. Lihatlah bagaimana Cut Tari didampingi suaminya Yusuf Subrata setiap datang ke kantor polisi. Secara demonstratif dipertontonkan seolah sang suami sedikit pun tak keberatan istrinya melakukan berbagai adegan ranjang dengan lelaki lain dan direkam dalam video yang beredar luas itu. Hubungan suami-istri seperti ini dalam kampanye kaum liberalis dianggap ideal karena saling tahu dan menghargai hak individual masing-masing.
Markas Besar Kepolisian memang sedang mengusut kebenaran rekaman itu. Untuk itu, polisi telah menangkap dan menahan Ariel sejak 22 Juni lalu. Luna Maya dan Cut Tari juga sudah menjadi tersangka. Tapi keduanya tak ditahan polisi. Sejumlah yang lain disangka polisi sebagai penyebar film porno itu.
Tuduhan terhadap vokalis grup musik Bandung yang kini diplesetkan orang dengan Peterporn itu adalah membuat dan mengedarkan video porno. Bila terbukti, Ariel bisa dihukum 12 tahun penjara karena melanggar pasal pidana seperti diatur UU Pornografi dan beberapa undang-undang lainnya. Tapi tampaknya pemeriksaan berjalan lambat.
Isu yang beredar menyebutkan polisi sengaja memperlambat pemeriksaan karena kasus ini dianggap sangat menarik dan mendominasi perhatian publik. Dengan demikian isu ini diharap bisa menutupi berbagai isu lain yang menyerempet institusi Polri, seperti tuduhan pembalasan dendam Mabes Polri terhadap Komisaris Jenderal Susno Duadji, bekas Kabag Reskrim Polri, atau heboh rekening sejumlah perwira tinggi Polri yang dibongkar Majalah TEMPO dan organisasi antikorupsi, ICW.
Bahkan berita penyerangan kantor majalah TEMPO di kawasan Proklamasi Jakarta dengan bom Molotov, serta penganiayaan terhadap aktivis ICW yang membongkar rekening perwira tinggi Polri, tak mampu menggeser dominasi berita video Ariel.
Presiden SBY Harus Tanggung Jawab
Kini polisi di pelbagai daerah sibuk menguber para penyebar video porno. Tapi masalahnya, mereka itu bukanlah pengunggah pertama, sehingga tak bisa diketahui hubungannya dengan Ariel, Luna Maya, maupun Cut Tari. Artinya, pelacakan yang dilakukan polisi atas kasus ini masih jauh dari tuntas.
Yang terjadi sekarang adalah sebuah bencana nasional – bahkan internasional – yang harus dihadapi masyarakat dan pemerintah. Pornografi kini mengancam dunia (terutama anak-anak) karena ia tersebar luas berkat kemajuan teknologi, antara lain internet dan telepon genggam. Penyebaran material porno itu berekor pada meluasnya penularan penyakit mematikan HIV/AIDS.
Tapi anehnya, Presiden SBY seakan tak peduli. Dalam kasus Undang-Undang Pornografi saja, ketika muncul tantangan kuat dari kelompok-kelompok liberalis dulu, SBY tak pernah terdengar suaranya. Mungkin karena dia terpengaruh ide-ide kelompok itu atau karena berteman dengan sejumlah pentolan liberalis. Padahal dengan UU Pornografi itulah Ariel dan orang semacamnya bisa ditindak.
Dengan sikap Presiden SBY selama ini, Indonesia menjadi negara paling liberal di dunia. Di sini pula pornografi paling bebas, dengan mudah dicapai anak-anak dan remaja. Pergilah ke kawasan Glodok, Jakarta, dengan mudah Anda temukan betapa bebasnya video porno itu diperjual-belikan, termasuk untuk anak-anak dan remaja.
Warung internet (Warnet) ada di pelbagai pojok kota dengan bebasnya menyediakan fasilitas untuk anak-anak menonton pornografi, asal bisa bayar. Itu sesuatu yang tak bisa ditemukan di negara-negara Barat yang paling liberal sekali pun.
Indonesia adalah salah satu negara di dunia dengan penyebaran internet sebebas-bebasnya tanpa sensor sama sekali. Inilah bukti paling konkret bahwa Presiden SBY menjalankan politik liberal mengikuti selera kaum liberalis Indonesia.
Padahal negara paling liberal sekali pun seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Belanda, Italia, Spanyol, melakukan sensor atas internet, terutama untuk melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya pornografi. Sensor yang sama dilakukan semua negara tetangga seperti Singapore, Malaysia, Thailand, atau Australia dan Selandia Baru. Kita tak bicara tentang China, Iran, Arab Saudi dan sejumlah negara di Timur Tengah yang menyensor internet dengan sangat ketat.
Lantas kenapa kita bebaskan internet tanpa sensor? Untuk itu rakyat harus minta pertanggung-jawaban pemerintah, terutama Presiden SBY. Akibat pembebasan internet itu, anak-anak dan generasi muda kita telah kenyang oleh pornografi seperti dikhawatirkan para pendidik selama ini.
Sekarang setelah peristiwa ini meledak baru Presiden SBY bilang setuju dilakukan sensor terhadap internet. Sungguh sebuah pernyataan yang amat terlambat setelah bertahun-tahun internet menelan begitu banyak korban dengan leluasa.
Itu tak terjadi di Eropa atau Amerika. Mereka sudah lama menyensor internet demi kepentingan generasi mendatang. Amerika Serikat, misalnya, tak main-main dalam melindungi anak-anak dari pornografi, terutama karena dampak kemajuan teknologi internet.
Undang-undang federalnya pun dipersiapkan dengan baik, dikenal sebagai PROTECT Act (Prosecutorial remedies and Others to End the Exploitation of Children Today), yang dianggap ampuh menghadapi perdagangan pornografi anak-anak lewat internet.
Dengan PROTECT Act, orang bisa dituntut hanya dengan mempromosikan material pornografi anak-anak kepada orang lain, meski pun materialnya sendiri tak ada atau tak ditemukan. Itu diperlukan karena seringkali sulit membuktikan pornografi di internet yang melibatkan anak-anak secara langsung.
Polisi Federal Amerika Serikat, FBI, menjadikan kejahatan dunia maya (cybercrime), terutama dalam mencegah pornografi anak-anak, sebagai prioritas tertinggi ketiga setelah terorisme (counterterrorism) dan spionase asing (counterintelligence).
Bukan cuma itu. Bea Cukai dan Imigrasi Amerika Serikat (US Immigration dan Customs Enforcement) memiliki Cyber Crimes Center di Fairfax County yang memfokuskan diri menghadapi serangan pornografi anak-anak dari luar Amerika.
Setiap Anda mendarat di lapangan terbang mana pun di Amerika Serikat, bersiaplah karena komputer jinjing (laptop) yang Anda bawa akan digeledah habis-habisan. Mereka mencari bahan pornografi (lihat The New York Times, 26 Juni 2008).
Departemen Kehakiman memiliki Proyek Selamatkan Anak-anak (Project Safe Childhood) yang mengkoordinasikan perlawanan terhadap pornografi anak-anak. Dalam soal hukuman terhadap pasal-pasal pidana ini, pengadilan tak main-main. Tiga tahun lalu, Charles Rust-Tierney, mantan Kepala Perserikatan Kebebasan Hak-Hak Sipil Amerika (American Civil Liberties Union), divonis 7 tahun penjara karena ketahuan mengunduh (download) ratusan bahan pornografi anak-anak dari internet (The Washington Post, 15 Desember 2007). Bayangkan: 7 tahun penjara hanya untuk merekam adegan porno dari internet.
Banyak orang lain mengalami nasib serupa. Ada profesor dari kampus terkemuka, ada perwira polisi atau tentara, dan ada pula pegawai pemerintah. Sementara di Indonesia pemerintah membebaskannya sebebas-bebasnya sampai anak-anak dan generasi muda kita mabuk pornografi. Sampai Menlu Clinton pun terpeleset diwawancarai bintang porno.[hidayatullah]
*)Penulis adalah mantan Redaktur GATRA dan TEMPO. Kini, bergabung dengan IPS (Institute for Policy Studies) Jakarta
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".