Malaysia kembali berulah lagi!!! Negara tetangga kita, yang mengaku "Saudara Serumpun" dengan Indonesia hanya tatkala ada maunya itu, minggu lalu telah menangkap petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Bagi saya, perbuatan mereka (Polisi Diraja Malaysia) itu hanyalah topeng untuk membalas tindakan petugas perairan kita yang telah menangkap basah sekelompok nelayan pencuri ikan dari negeri jiran itu.
Nampaknya, semenjak jatuhnya pemerintah Orde Baru, Malaysia sudah menganggap kita sebelah mata! Mereka seolah yakin, bahwa kedaulatan Ibu Pertiwi bisa saja sewaktu-waktu disempali (digempili) sedikit demi sedikit. Mengapa pemerintah era reformasi ini begitu sangat lamban bersikap, bahkan terkesan "membiarkan" keutuhan wilayah NKRI digerogoti tetangga?!
Zaman Bung Karno dan masa keemasan Orde Baru, kedaulatan Ibu Pertiwi sungguh-sungguh terpeta dan disegani oleh seluruh bangsa di dunia. Bahkan Amerika, Inggris, Perancis, Belanda -semua negara Barat- harus berpikir sekian kali bila ingin coba-coba memecah belah wilayah kesatuan Republik Indonesia tercinta. Adakah yang kurang dari para penguasa negeriku tercinta pada dekade terakhir ini? Padahal, segenap rakyat Indonesia tua muda, lelaki-perempuan, anak-anak, bahkan janin yang masih dalam kandunganpun siap mati demi mempertahankan Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kami siapkan seluruh jiwa raga kami bagi Ibu Pertiwi!
Kepala Riset Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Suhana meminta Pemerintah mewaspadai insiden pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di perairan Bintan, Kepulauan Riau, berakhir seperti kasus Sipadan dan Ligitan.
"Perlu kita cermati secara mendalam, insiden perairan Bintan jangan sampai menjadi strategi untuk mengklaim perairan Bintan sebagai wilayah kedaulatannya," kata Suhana di Jakarta, Kamis.
Seperti diketahui hingga saat ini perundingan perbatasan Indonesia dengan Malaysia di perairan Bintan tempat terjadinya insiden masih mengalami kebuntuan, ujar Suhana. Untuk itu Pemerintah perlu tegas terhadap sikap Malaysia atas insiden tersebut.
Menurut dia, Pemerintah Malaysia sebelumnya juga pernah mengklaim wilayah perairan tersebut sebagai wilayah kedaulatannya dengan mengeluarkan peta, namun Pemerintah Indonesia sudah melayangkan penolakan atas peta tersebut. Namun demikian upaya Malaysia untuk mengklaim perairan tersebut ternyata tidak berhenti sampai disitu, mereka terus melakukan berbagai upaya untuk menunjukkan bahwa perairan tersebut masuk kedalam kedaulatan mereka, lanjutnya.
"Karena itu jangan sampai kelengahan pengawas perikanan Indonesia dimanfaatkan. Kita tahu bahwa jumlah hari operasi Kapal Pengawas Kelautan dan Perikanan tahun 2010 ini mengalami penurunan dari 180 hari menjadi 100 hari, akibatnya pengawasan pencurian ikan di perairan Indonesia menjadi lengah," tegas Suhana. Sehingga tidak heran kalau aktivitas pencurian ikan di perairan Indonesia saat ini cenderung meningkat, katanya.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menunjukan bahwa sampai akhir Juni 2010 tercatat dari 116 kapal ikan ilegal yang tertangkap kapal pengawas perikanan, 112 diantaranya merupakan kapal ikan asing, termasuk kapal Malaysia. Berkurangnya hari operasi kapal pengawas tersebut, ia berpendapat sebagai dampak dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan yang merealokasi anggaran di (KKP) Tahun 2010.
"Kami menduga ada kesengajaan lima kapal nelayan Malaysia melakukan pencurian ikan di wilayah perairan Bintan. Karena bila tidak ada tindakan protes dari aparat Indonesia, mereka dapat mengklaim perairan tersebut merupakan wilayah kedaulatannya," lanjut Suhana, sebagaimanata ditulis Antara.
Ia mengatakan jika melihat kembali dokumen beralihnya Pulau Sipadan dan Ligitan, di mana perundingan Indonesia dan Malaysia saat itu mengalami kebuntuan dan akhirnya disepakati status quo. Namun dalam kondisi status tersebut Pemerintah Malaysia telah memanfaatkan kelengahan Pemerintah Indonesia atas pengawasan terhadap kedua pulau tersebut dengan cara memberikan izin untuk membuat berbagai sarana wisata.
"Upaya tersebut berhasil dilakukan karena tidak ada protes dari Pemerintah Indonesia," tegasnya.
Dalam Sidang Mahkamah Internasional Tahun 2002, sempat memutuskan bahwa tidak satu pun dari Pemerintah Indonesia dan Malaysia yang berhak atas Pulau Ligitan dan Sipadan berdasarkan traktat. Namun pertimbangan Mahkamah selanjutnya berpihak pada yang memiliki hak kepemilikan (title) atas pulau-pulau sengketa berdasarkan penguasaan efektif (effectivites) yang diajukan oleh mereka.
Dalam kaitan ini, Suhana menjelaskan Mahkamah menentukan apakah klaim kedaulatan para pihak berdasarkan kegiatan-kegiatan yang membuktikan adanya suatu tindakan nyata, pelaksanaan kewenangan secara terus menerus terhadap kedua pulau, antara lain misalnya (adanya) itikad dan keinginan untuk bertindak sebagai perwujudan kedaulatan.
Berdasarkan effectivites tersebut maka pada tanggal 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengakui penguasaan efektif yang telah dilakukan oleh Pemerintah Malaysia atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan, dan selama penguasaan efektif tersebut tidak ada gugatan atau protes dari pemerintah Indonesia.
"Karena itu kami mendesak Pemerintah untuk tegas dalam perundingan terkait perbatasan, segera meningkatkan pengawasan di perbatasan, dan menekan negara lain yang tidak segera menyelesaikan perundingan perbatasan dengan meninjau kembali kerja sama yang telah dilakukan dua negara," ujar Suhana.
Postingan tahun lalu :
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".