Mohammad Mahfud Md. harus turun tangan meme riksa anak buahnya yang dituduh menerima suap. Rabu malam pekan lalu ia memanggil Makhfud, anak buahnya itu, ke ruang kerjanya di lantai 15 gedung Mahkamah Konstitusi. Tim investigasi dugaan makelar kasus pimpinan Refly Harun menyebut panitera pengganti itu telah menerima fulus saat menangani perkara pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan.
Dicecar berbagai pertanyaan tentang duit itu, Makhfud hanya bisa berlinang air mata. Ia mengaku pernah menerima uang Rp 58 juta dan sertifikat tanah dari Dirwan Mahmud, calon Bupati Bengkulu Selatan yang tengah beperkara di Mahkamah Konstitusi. Tapi uang tersebut sudah dikembalikan. "Menurut dia, orang itu yang memaksakan pemberian tersebut," kata Mahfud kepada Tempo.
Dirwan bermaksud mengajukan judicial review atas Pasal 58 Undang-Undang Pemerintah Daerah. Pasal itu telah menganulir kemenangannya dalam pemilihan kepala daerah Bengkulu Selatan pada Desember 2008. Mahkamah memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Daerah Bengkulu Selatan menye lenggarakan pemilihan ulang tanpa keikutsertaan Dirwan. Lelaki itu dinyatakan tak memenuhi syarat administrasi karena pernah dipenjara tujuh tahun. Karena perkaranya dikalahkan, Makhfud diminta mengembalikan fulus haram tersebut.
Kasus Dirwan ini juga menyeret nama hakim konstitusi Arsyad Sanusi. Ada juga dugaan keluarga Arsyad membantu transaksi uang dari Dirwan kepada Makhfud. Putri dan adik ipar Arsyad disebut-sebut berperan "membawa" Dirwan ke Makhfud.
Arsyad, yang ditemui sejumlah wartawan di gedung Mahkamah Konstitusi, mengakui anaknya sempat me ngenalkan Dirwan kepada Makhfud. Namun, menurut dia, putrinya sekadar membantu, setelah Dirwan menge luh dizalimi. Dirwan, kata Arsyad, ingin mengetahui apakah perkara yang sudah diputus boleh diajukan kembali. Arsyad memastikan keterlibatan anaknya hanya sampai di situ. Pekan-pekan ini, ujar Mahfud Md., MK akan meme riksa mereka yang disebut-sebut dalam kasus ini.
Mahfud Md. mengakui isu tak sedap tentang MK memang meruyak setelah lembaganya itu mendapat wewenang mengadili sengketa pemilihan kepala daerah. Semula perkara semacam ini ditangani Mahkamah Agung. Pada 1 November 2008, Mahkamah Agung melimpahkan pengadilan sengketa itu ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi tak diajak berembuk perihal pelimpahan tugas tersebut. "Mahkamah Konstitusi kaget, tiba-tiba ada pelimpahan kewenangan ini," ujar Mahfud.
Dasar penyerahan kewenangan itu adalah Undang-Undang Nomor 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Di sana dinyatakan pemilu kepala daerah sama dengan pemilu seperti dimaksud Pasal 22 Undang-Undang Dasar. "Karena sama, penangan annya dibawa ke Mahkamah Konstitusi," kata Mahfud.
5 Komentar:
hhe hhe,maaf ya ka..
saya gak ngerti mau koment apa..
tapi gak apa2 kan kalau saya ikut koment...??
@ sibutiz : Saya juga gak ngarti, Friend. Saya copas hanya untuk tunjukkan bahwa blog ini mendukung gerakan Anti Korupsi. Xaxaxaxa... thanks sudah mampir, ya Gan...
Saya agak bingung mengikuti kasus seperti ini. Pihak yang menuduh dan dituduh merasa sama2 benar. Mending sebagai pembaca berita saja, semoga ada hasil baik di akhirnya...
Jangan sampai seperti KPK, saya sih percaya Antasari Azhar jadi korban dan sayangnya 'mereka' sukses. Siapa ya dalangnya? Semoga tidak berujung dengan turunnya Mahfud Md. Saya takutnya beliaulah yang jadi sasarannya. Soalnya Beliau janji akan turun kalau terbukti ada korupsi dan suap di MK...
berbicara mengenai korupsi di Indonesia , emng gak akan bisa selesai . mudah-mudahan saja deh para koruptor di Indonesia segera bertobat ^_^
@ lina@happy family : Benar sekali, Jenk. Lembaga yang kredible memang banyak yang memusuhi dan berusaha untuk membubarkannya.
@ Chandra : Setuju banget, mudah-mudahan ada malaikat yang turun tangan langsung...xaxaxa..
Thanks for you all. God bless you
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".