Indonesia sebagai negara demokrasi telah memilih sistem presidensial sebagai mekanisme kenegaraan. Dalam sistem presidensial di berbagai negara selalu diikuti dengan sistem multi partai sederhana (simple multy party system). Sistem multi partai sederhana digunakan agar sistem presidensial dapat berjalan efektif dan efisien. Untuk menciptakan sistem multi partai sederhana, tentu saja tidak boleh menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi seperti pemaksaan, namun harus berjalan alami dan diterima oleh semua kalangan.
Seperti diungkapkan oleh Scott Mainwaring, dalam paper-nya, Presidentialism, Multiparty System, and Democracy: The Difficult Equation, sistem presidensialisme yang disertai dengan sistem multi partai, adalah sesuatu yang berbahaya (inimical) bagi stabilitas demokrasi. Tapi, tentu saja, menegakkan stabilitas demokrasi tentu tak dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak fair. Sebab, fairness merupakan salah satu nilai penting demokrasi.
Diawali dengan sistem banyak partai (multy party sistem) Indonesia bergeser ke arah sistem multi partai sederhana (simple multy party sistem) secara bertahap. Pertama, di awal reformasi dimana reformasi 1998 membawa euphoria politik yang luar biasa di Indonesia. Kebebasan berekspresi melalui saluran politik yang dibungkam selama 30 tahun dengan adanya reformasi terbuka sudah. Puluhan partai politik dengan berbagai latar belakang bermunculan bak jamur di musim hujan. Pemilu 1999 yang diikuti oleh 48 partai politik menyepakati, bahwa diperlukan ambang suara untuk mengikuti Pemilu berikutnya. Maka ditetapkanlah 2 persen perolehan suaralah yang boleh mengikuti Pemilu berikutnya. Dari 48 partai politik peserta Pemilu, maka hanya 19 partai politik yang mempunyai kursi di parlemen. Dan bagi partai politik yang tidak mencapai 2 persen suara, jika ingin mengikuti pemilu selanjutnya, maka partai tersebut harus mengubah nama partai atau bergabung dengan partai lainnya.1
Ambang batas suara ini dimaksudkan hanya sebagai persyaratan untuk mengikuti Pemiu berikutnya. Adapun perolehan suara yang kurang dari 2 persen, namun mendapatkan kursi di parlemen, maka seseorang dapat menjadi anggota legislative mewakili partainya, meski tidak dapat membuat fraksi sendiri. Untuk dapat membuat fraksi, maka partai-partai yang tidak mencapai 2 persen, namun memiliki kursi di DPR bergabung untuk membuat fraksi sendiri atau bergabung dengan partai yang bisa membuat fraksi sendiri.
Kedua, penerapan ambang batas suara 2 persen masih dirasakan belum efektif untuk membuat sistem multi partai sederhana, maka pada Pemilu 2004 ambang batas suara ditingkatkan menjadi 3 persen. Dari 24 partai politik peserta Pemilu, maka hanya 19 partai politik yang memperoleh kursi DPR RI.2
Ketiga, dengan menerapkan sistem ambang batas suara, ternyata kurang efektif dalam membuat multi partai sederhana, maka pada pemilu 2009 diterapkanlah sistem Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold). Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilihan umum anggota DPR untk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, Pasal 202 yang menetapkan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) sebesar 2,5 persen dari jumlah suara sah nasional dan hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, tidak untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota.
Diterapkannya sistem ambang batas parlemen, maka peserta Pemilu yang terdiri dari 39 partai politik, yang lolos dari 2,5 persen, yang berarti hanya sembilan partai politik (Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura dan Partai Gerindra) yang dapat masuk parlemen dan membuat fraksi sendiri. Maka penerapan Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) menjadi efektif dalam membuat multi partai sederhana.3
Bertitik tolak dari efektifnya sistem Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold), dalam membuat sistem multi partai sederhana, maka pada Pemilu berikutnya 2014, pemerintah merencanakan menaikan Ambang Batas Parlemen menjadi 4 persen. Usulan pemerintah ini mendapat respon beragam dari partai politik. Partai Demokrat, sama seperti usulan pemerintah 4 persen. Sedangkan, Partai Golkar dan PDIP menginginkan agar ambang batas naik hingga lima persen. Sedangkan PKS mengusulkan ambang batas sebesar tiga hingga empat persen. Dan PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra, dan Partai Hanura, tetap ingin mempertahankan PT sama dengan Pemilu 2009, yakni 2,5 persen.
Implikasi Dinaikannya Ambang Batas
Penerapan Ambang Batas Parlemen 2,5 persen dimaksudkan agar jumlah partai politik di parlemen menjadi sedikit. Penerapan ambang batas tersebut, terbilang efektif dalam menyederhanakan partai politik di parlemen hanya 9 partai politik dari 39 partai peserta pemilu atau lebih dari sepertiga yang terpotong tidak masuk parlemen. Sedikitnya jumlah partai politik (simple multy party sistem) di parlemen sejalan dengan sistem presidensialime yang dianut demokrasi Indonesia.
Namun jika sistem ambang batas parlemen ini akan ditambah, maka ada beberapa implikasi yang tidak menutup kemungkinan, justru malah akan mengebiri demokrasi itu sendiri.
Pertama, jika ambang batas dinaikan 4-5 persen, maka kemungkinan hanya 2-3 partai politk yang akan lolos ke parlemen. Dengan kata lain, ada ‘pemaksaan’ secara halus untuk terhadap eksistensi partai politik. Dengan penerapan 2,5 persen saja sepertiga lebih partai politik terpotong dari parlemen. Hal ini secara tidak langsung bertentangan dengan sistem demokrasi, sebab diterapkannya ambang batas parlemen 2,5 persen pada tahun 2009, sama artinya dengan membuang suara 19 juta suara rakyat terbuang percuma. Padahal prinsip demokrasi dalam Pemilu adalah one vote, one person and one value betapa tingginya satu nilai suara.
Kedua, yang patut menjadi pertimbangan mengapa ambang batas parlemen tidak perlu dinaikan, sebab negara kita adalah Negara yang mempunyai prinsip Kebhinekaan. Perlu diingat selama ini kita selalu mengkampanyekan 4 pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tinggal Ika dan Persatuan Indonesia), kebhinekaan kita merupakan anugrah dari yang Maha Kuasa, karenanya keterwakilan dari setiap suku bangsa dan kepentingan golongan apapun harus terwadahi. Dengan menaikan ambang batas parlemen menjadi 4 persen, maka akan ada 30 juta suara yang akan sia-sia. Karena semakin tinggi ambang batas, maka akan semakin kecil keterwakilan masyarakat. Artinya ada 30 juta aspirasi dari kebhinekaan yang menguap dan tidak terwadahi.
Ketiga, dengan diterapkannya sistem ambang batas parlemen 2,5 persen secara psikologi politik membuat masyarakat berpikir ulang untuk membuat partai politik. Hal ini bisa dilihat dari minimnya keinginan masyarakat untuk membuat partai politik, hingga saat ini hanya ada beberapa saja partai yang kelihatannya akan lolos verifikasi dari Kemkumham seperti Nasional Demokrat (Nasdem) yang dimotori oleh Surya Paloh, Partai Nasional Republik (Nasrep) yang mengusung Tommy Soeharto dan Suara Rakyat Independen (SRI) yang akan mengusung Sri Mulyani. Selebihnya partai-partai gurem akan bergabung satu sama lain, seperti terlihat pada bergabungnya 10 partai gurem yang gagal ke Senayan, ke dalam satu wadah, yaitu Partai Persatuan Nasional
(PPN).
Keempat, jika hanya 2-3 partai politk yang akan lolos ke parlemen artinya kita memutar kembali jam sejarah yang pernah kita lalui. Dengan hanya 2-3 partai politik yang ada di parlemen tidak ada jaminan sistem presidensial akan berjalan secara efektif. Kita pernah mempunyai pengalaman buruk dengan sistem dua partai (biparty) atau tiga partai (three party). Selama Orde Baru ketiga partai saat itu tidak lebih dan tidak kurang hanya sebagai kamuflase politik dalam nyanyian demokrasi. Bukankah dengan demikian kita memutar jam sejarah, memunculkan otoritarian dengan model baru.
Dari penelaahan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen dalam konteks Indonesia sudah proporsional. Dengan kata lain, bahwa untuk melampaui 2,5 persen bukan sesuatu yang mudah, hal ini terbukti pada Pemilu 2009 lebih dari sepertiga partai politik tak dapat masuk parlemen. Selain itu, partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu juga berpikir ulang. Karena sulitnya melampaui 2,5 persen untuk masuk ke parlemen.
Seiring dengan sistem presidensial yang harus diikuti dengan sistem multi partai sederhana, maka keterwakilan penduduk Indonesia yang multi etnis, agama, budaya dan kepentingan harus juga tetap terwadahi. Dengan tetap mempertahankan ambang batas parlemen 2,5 persen, maka akan terwujud sistem multi partai sederhana yang sejalan dengan sistem presidensial. Dan jika menaikan ambang batas parlemen menjadi 4 persen, alih-alih akan membuat efektifitas demokrasi, yang terjadi malah sebaliknya, sistem otoritarian dengan model baru. Dan yang tak kalah pentingnya adalah,menaikan amabang batas parlemen sama artinya dengan mengingkari Kebhinekaan bangsa ini.
- Dengan pemberlakuan ET, tidak berpengaruh terhadap penyederhanaan jumlah partai di parlemen. Sebab, partai yang meraih satu kursi pun berhak duduk di Senayan. Tapi bila partai itu tak lolos ET, maka dia tak bisa ikut pemilu berikut, kecuali mengganti nama dan tanda gambar. Pada ET 2%, hanya enam partai yang otomatis menjadi peserta Pemilu 2004, yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PBB.
- Lewat pemberlakuan ET 3% pada Pemilu 2004, jumlah partai yang otomatis menjadi peserta Pemilu 2009 menjadi tujuh, yaitu Demokrat, Golkar, PDIP, PKS, PPP, PAN, dan PKB. Tapi ketentuan ini kemudian dianulir lewat revisi UU Pemilu, ditukar guling dengan ketentuan PT 2,5%, sehingga 16 partai yang memiliki kursi DPR kemudian otomatis menjadi peserta pemilu.
- Dengan pemberlakuan PT 2,5%, keikutsertaan partai yang tak lolos PT dalam pemilu berikutnya tak lagi dibatasi, sepanjang lolos verifikasi Depkumham dan KPU. Tapi, jika tak melampaui PT, partai-partai tak akan mendapatkan kursi.
4 Komentar:
waahh, bacaan tingkat tinggi neh ...
@ Ririe Khayan: Salam sahabat; tingkat tinggi banget, ane juga kagak mudhenk, Jenk.
Thanks, Godbless you, Princess...
Semoga para pemimpin memikirkan juga tentang ke Bhineka Tunggal Ika an Indonesia sehingga tidak terjadi Perselisihan2 yang pada akhirnya merugikan rakyat dan melanggar sistem demokrasi itu sendiri.
@ Anak Rantau: Salam sahabat; para pemimpin kita sesungguhnya memiliki Ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang kokoh, tapi sayangnya sifat serakah dan ingin tetap berkuasa juga bersemayam di lubuk hati mereka!!!
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".