Lahir tanggal 12 Mei 1955 di desa Sukowetan, Kecamatan Karangan, Kabupaten Trenggalek. Proses kelahirannya hanya dibantu seorang dukun bayi. Pria ini kemudian diberi nama Bardan.
Masa kecilnya tiada yang menonjol, rata-rata sama dengan anak sebayanya, namun tekun dan rajin membantu di sawah, mencari belut atau angon. Hingga remaja, setamat SMP meneruskan sekolah ke STM Karya Dharma di Karangsoko, Trenggalek. Saat itulah bakat kepemimpinan dan kepedulian terhadap sesama mulai menonjol.
Tahun 1975, setamat STM, Bardan muda meninggalkan Sukowetan menuju Tangerang. Dia tinggal bersama pakliknya. Di kota ini, pemuda Bardan bekerja serabutan dan berpindah-pindah juragan. Pernah jadi kuli bangunan, penjual rokok eceran, pencari barang bekas, kuli di pabrik kertas dan berbagai pekerjaan kasar lainnya.
Selama di perantauan, Bardan muda tidak pernah lupa pada desa kelahirannya. Setiap kali pulang dia senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Respon positif akan ditunjukkannya bila ada tetangga yang butuh bantuan. Beberapa tahun kemudian, puluhan anak muda di desanya diajak ke Jakarta bekerja bersamanya (orang desa kurang akrab dengan Tangerang, jadi menyebutnya Jakarta).
Bantuan maupun infaq yang dikucurkannya ke lingkungan, lebih sering melalui tangan saudaranya yang ada di desa. Baginya, apa yang dia lakukan bukan untuk pamer dan nama baiknya. Semua itu cuma bentuk solidaritas kecil yang tiada arti. "Apakah amal jariah, tanpa pamrih atau bukan, saya gak tahu. Biarlah Allah yang menilai". Katanya saat aku temui di rumah orang tuanya, ketika baru selesai memperbaiki rumah mbah Tumi yang ambruk dihantam topan. Rumah mbah Tumi sekarang lebih layak dihuni. Lantainya diplester, pekarangan dibersihkan. Bukan itu saja, perabot rumah yang luluh lantak rata dengan tanah 'dibruki' pondok yang roboh, juga diganti, seperti meja kursi dan tempat tidur yang langsung diambilkan dari Medari Indah -toko meubel di kota Trenggalek. Mbah Tumi adalah janda tua sebatangkara, usianya hampir 80 tahun. Di pondok itulah dia hidup seorang diri menanti sang Khaliq memanggil.
Bardan, cah Nggalek itu kini sudah cukup mapan. Meskipun demikian, dia tetap berpenampilan sederhana. Mobilnya ada empat, punya armada truk, peternakan sapi dan pemasok bahan baku (kertas bekas) ke beberapa pabrik kertas.
Di kota Tangerang, cah Nggalek ini dipanggil "pak Haji". Warga kota ini lebih merasa memilikinya dari pada warga desa Sukowetan tempat di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Pasalnya, H. Bardan dikenal ramah dan peduli lingkungan. Selain Ketua Kelompok Penggemuk Sapi Bangkit Jaya, dia juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kota Tangerang. Hubungannya dengan Walikota Tangerang H.Wahidin Halim (adik kandung Hasan Wirayuda mantan menlu kita) sangat akrab. Dibuktikan dengan -antara lain- hadiah satu unit delman+kuda dari Walikota ini untuk dirinya.
Menurutku, sungguh beruntung jadi H. Bardan, dia bisa menderma pada kaum dhuafa dan menyumbang atau membangun mushola dan masjid di sekitarnya. "Saya hanya anak desa, cah angon yang bukan apa-apa". Mungkin maksudnya dahulu dia hanya pemuda miskin yang merantau. Kariernya merangkak dari bawah selama belasan tahun. Pria paruh baya ini dalam radius ribuan meter dari tempat tinggalnya di perumahan Paris Indah Tangerang sangat dikenal masyarakat, mulai dari tukang ojek sampai lurah dan camat. Namun tak berniat jadi anggota Legeslatif. "Kalau saya mau, banyak yang menawari", dia menyebut beberapa nama pejabat setingkat dirjen dan menteri yang aktif di parpol.
Okay, gak usah aktif di politik, Pak Haji. Kataku, sebelum pulang. Dalam hati aku menambahkan "Tapi bantuin donk mushola di dukuh gue". Tidak kuucapkan, karena aku belum musyawarah dengan takmir. Iya, mushola kami memang sedang dibangun dan kekurangan dana. Namun belum tentu warga tidak mau "urunan". Hehehe, Pak Haji tentu gak akan pernah baca blog ini, sibuk urusan KTNA ame bisnis. Met sukses, Pak Haji Bardan, infaq, shodaqoh, jariah dan kurban dari Pak Haji sangat berarti bagi kami kawula alit Sukowetan. Semoga Allah meridloi, selalu melindungi dan menambah rizqi Pak Haji sekeluarga. Amin ya Mujibasshailin.
Pentingnya Ilmu Farmasi dalam Kehidupan Manusia
3 bulan yang lalu
4 Komentar:
BEner pak... gak usah masuk ke ranah Politik. aalagi ditwari dadi caleg..
engko malah dheleg-dheleg sisan!!!
Beliau sampai saat ini masih kukuh tidak berniat terjun dalam politik, tapi ketika Pilihan Walikota Tangerang, beliau mendukung Bapak Wahidin Halim.
saya bangga dgn abang...saya alumni stm KD 87,sy mencoba mngadu nasib sampai ke kota metropolitan...alhamdulillah skr sy sdh bs bekerja d salah satu kontraktor nasonal (PT.TATA)...
kesan yg tdk prnh sy lupakan waktu sy msh sekolah dulu yaitu sering di hukum sm P Made dan Mbah Lan...
Dengan kejadian2 trsbut itulah yg membuat sy bs sprti skr ini bs lbh mandiri dan lbh tegar dlm hidup...trima ksh...
@Edy Sugianto:
Tahun 1987, berarti 23 tahun yang lalu Anda sudah meninggalkan STM KD. Sekarang kondisinya sangat berbeda, STM KD sangat megah. P. Made dan p. Ramlan telah purna.
Bila Anda punya cerita pengalaman di rantau orang yang ingin Anda bagikan bisa Anda kirim melalui email skwetan@gmail.com, dilengkapi foto dokumentasi.
Insyaallah akan bermanfaat bagi generasi di daerah. Kegigihan perjuangan hidup di ibukota, adalah kisah yang menarik untuk disimak.
Terimakasih, semoga sukses selalu. Salam untuk keluarga.
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".