Sabtu, 20 Juni, hasil Unas SMP diumumkan. Ternyata 30 siswa SMP Sore Pule, tidak lulus semua, SMP Muhammadiyah Watulimo, dari 38 siswa, 35 tidak lulus. Masih adanya sekolah dengan angka ketidaklulusan 100 persen telah mengundang banyak cemoohan dari para pengamat pendidikan di daerah ini. Padahal selama ini Dinas Pendidikan Trenggalek mengaku sudah melakukan berbagai upaya untuk peningkatan mutu pendidikan kita.
Tidak bermaksud meremehkan kinerja instansi terkait (termasuk lembaga sekolahnya), namun tulisan ini mencoba menyoroti (bukan mengevaluasi) dari sudut pandang "kawula alit". Data kelulusan SMP kemarin, terlihat bahwa yang menuai angka terbanyak siswa tidak lulus adalah sekolah yang berlokasi di pedalaman, sementara SMP (negeri/swasta) yang siswanya berhasil lulus terletak di daerah datar dan perkotaan. Apakah sekolah yang di pinggiran ini membawa pengaruh terhadap proses belajar mengajar?
Parameter keberhasilan kegiatan belajar mengajar sudah ditetapkan secara jeli dan akurat oleh para pakar. Prosedur pembinaan siswa pun sudah ada tuntunan dan pedomannya secara teoeritis dan pragmatis. Andaikata, siswa di sekolah sudah diberikan pendidikan sesuai dengan standardisasi dari Departemen Pendidikan, bukankah suatu hal yang sangat mengerikan bila masih juga terjadi ada sekolah yang siswanya 100% tidak lulus UNAS?
Penyebab ketidak lulusan yang tragis semacam ini harus dievaluasi secara jeli. Jangan hanya menyalahkan siswa dan orang tua murid. Pihak sekolah dan instansi terkait, harus berani bertanggungjawab dan mengakui dengan ksatria bahwa mereka memang telah melakukan kesalahan. Selama UNAS diadakan angka ketidak-lulusan didominasi oleh sekolah swasta utamanya yang ada di pelosok. Bukan berarti para guru di sekolah-sekolah swasta tidak mampu menerapkan paedagogis untuk menggiring murid mereka agar berprestasi. Namun faktor kesejahteraan guru di sekolah swasta ini barangkali juga telah membuat mereka "tersandung".
Peningkatan mutu pendidikan mutlak dilaksanakan, peningkatan kesejahteraan guru PNS juga sudah digulirkan oleh pemerintah diantaranya melalui sertifikasi sebagai "cek" untuk memperoleh tambahan tunjangan fungsional guru. Lalu, apakah perlakuan terhadap guru di sekolah-sekolah swasta sudah dimaksimalkan demi kesetaraan penghasilan mereka dengan "waktu" yang mereka habiskan di sekolah? Belum maksimal!
Banyak hal yang menyebabkan siswa tidak lulus. Walaupun demikian, dari gambaran data dan fakta yang terjadi di daerah ini, yang paling prioritas adalah kesejahteraan guru/pengelola lembaga tersebut. Yang akhirnya, berujung pada nasib siswa sekolah itu! Sungguh mengenaskan, dan kita dapat merasakan, seandainya anak kita juga tidak lulus! Masyaallah...!
Bagi para birokrat di daerah ini, mungkin tidak terlampau pusing. Paling juga hanya mengatakan, kasihan, kasihan dan kasihan anak-anak itu. Bukan itu yang dibutuhkan, tapi kinerja yang profesional, dan bertanggung jawab. Pemkab, dalam hal ini Dinas Pendidikan Trenggalek, seharusnya lebih merapatkan barisan dan menerapkan kebijakan tersendiri terhadap pembinaan sekolah-sekolah swasta. Bukan hanya dalam masalah tehnis, namun juga yang non tehnis.
Data yang masuk dari sekolah-sekolah, bukan untuk ditumpuk saja atau cuma dibaca. Perlu evaluasi dan solusi. Untuk itu, dibutuhkan kecerdasan intelektual, kepekaan hati nurani dan keluasan pengalaman. Evaluasi, bukan sekedar data tertulis yang ada di meja kerja. Kenyataan di lapangan terkadang lebih "buruk" dari apa yang disajikan dalam laporan.
Wahai, bagaimana rasanya jika yang tidak lulus itu adalah anak seorang bupati atau kepala dinas? Apakah orang tua siswa itu bisa menerima kenyataan? Tulisan ini, hanyalah "senandung kawula alit", bukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, juga tidak bisa dijadikan apa-apa.
Tidak bermaksud meremehkan kinerja instansi terkait (termasuk lembaga sekolahnya), namun tulisan ini mencoba menyoroti (bukan mengevaluasi) dari sudut pandang "kawula alit". Data kelulusan SMP kemarin, terlihat bahwa yang menuai angka terbanyak siswa tidak lulus adalah sekolah yang berlokasi di pedalaman, sementara SMP (negeri/swasta) yang siswanya berhasil lulus terletak di daerah datar dan perkotaan. Apakah sekolah yang di pinggiran ini membawa pengaruh terhadap proses belajar mengajar?
Parameter keberhasilan kegiatan belajar mengajar sudah ditetapkan secara jeli dan akurat oleh para pakar. Prosedur pembinaan siswa pun sudah ada tuntunan dan pedomannya secara teoeritis dan pragmatis. Andaikata, siswa di sekolah sudah diberikan pendidikan sesuai dengan standardisasi dari Departemen Pendidikan, bukankah suatu hal yang sangat mengerikan bila masih juga terjadi ada sekolah yang siswanya 100% tidak lulus UNAS?
Penyebab ketidak lulusan yang tragis semacam ini harus dievaluasi secara jeli. Jangan hanya menyalahkan siswa dan orang tua murid. Pihak sekolah dan instansi terkait, harus berani bertanggungjawab dan mengakui dengan ksatria bahwa mereka memang telah melakukan kesalahan. Selama UNAS diadakan angka ketidak-lulusan didominasi oleh sekolah swasta utamanya yang ada di pelosok. Bukan berarti para guru di sekolah-sekolah swasta tidak mampu menerapkan paedagogis untuk menggiring murid mereka agar berprestasi. Namun faktor kesejahteraan guru di sekolah swasta ini barangkali juga telah membuat mereka "tersandung".
Peningkatan mutu pendidikan mutlak dilaksanakan, peningkatan kesejahteraan guru PNS juga sudah digulirkan oleh pemerintah diantaranya melalui sertifikasi sebagai "cek" untuk memperoleh tambahan tunjangan fungsional guru. Lalu, apakah perlakuan terhadap guru di sekolah-sekolah swasta sudah dimaksimalkan demi kesetaraan penghasilan mereka dengan "waktu" yang mereka habiskan di sekolah? Belum maksimal!
Banyak hal yang menyebabkan siswa tidak lulus. Walaupun demikian, dari gambaran data dan fakta yang terjadi di daerah ini, yang paling prioritas adalah kesejahteraan guru/pengelola lembaga tersebut. Yang akhirnya, berujung pada nasib siswa sekolah itu! Sungguh mengenaskan, dan kita dapat merasakan, seandainya anak kita juga tidak lulus! Masyaallah...!
Bagi para birokrat di daerah ini, mungkin tidak terlampau pusing. Paling juga hanya mengatakan, kasihan, kasihan dan kasihan anak-anak itu. Bukan itu yang dibutuhkan, tapi kinerja yang profesional, dan bertanggung jawab. Pemkab, dalam hal ini Dinas Pendidikan Trenggalek, seharusnya lebih merapatkan barisan dan menerapkan kebijakan tersendiri terhadap pembinaan sekolah-sekolah swasta. Bukan hanya dalam masalah tehnis, namun juga yang non tehnis.
Data yang masuk dari sekolah-sekolah, bukan untuk ditumpuk saja atau cuma dibaca. Perlu evaluasi dan solusi. Untuk itu, dibutuhkan kecerdasan intelektual, kepekaan hati nurani dan keluasan pengalaman. Evaluasi, bukan sekedar data tertulis yang ada di meja kerja. Kenyataan di lapangan terkadang lebih "buruk" dari apa yang disajikan dalam laporan.
Wahai, bagaimana rasanya jika yang tidak lulus itu adalah anak seorang bupati atau kepala dinas? Apakah orang tua siswa itu bisa menerima kenyataan? Tulisan ini, hanyalah "senandung kawula alit", bukan apa-apa dan tidak bisa berbuat apa-apa, juga tidak bisa dijadikan apa-apa.
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".