ISMAIL TAUFIK ISMAIL, salah seorang penyair kawakan dan ternama Indonesia yang memiliki nama besar di tingkat dunia. Ia disebut-sebut sebagai sosok jenius dan termasuk dalam penyair Angkatan 66. Selain produktif berpuisi ia juga menulis esei dan menterjemahkan buku-buku asing.
Taufik Ismail lahir hari Jum'at, 25 Juni 1937 di Bukittinggi Sumatra Barat, anak Abdul Gafar Ismail. Ia tumbuh besar di Pekalongan Jawa Tengah karena ayahnya dipindahtugaskan ke kota itu. Sekolah dasar ia tempuh di dua tempat, pertama di Bukittinggi, kemudian ke Pekalongan hingga tamat. Ia masuk SMP di Pekalongan lantas hijrah ke Bogor untuk memperdalam ilmu di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (sekarang IPB), lulus tahun 1963.
Pada kurun tahun 1962 hingga tahun 1965 ia menjadi dosen di tempatnya kuliah, IPB. Kemudian profesi yang sama ia jalani di Universitas Indonesia (UI) sebagai tenaga pengajar di Fakultas Psikologi hingga tahun 1967. Pada tahun 1970-1971 ia menjadi Sekretaris DPH DKI. Kemudian sampai dengan tahun 1973 ia menduduki posisi sebagai General Manajer Taman Ismail Marzuki (TIM).
Selepas dari TIM ia menduduki kursi manajer PT Unilever Indonesia bagian Hubungan Luar. Pensiun dari perusahaan papan atas itu ia hijrah ke Kairo dan bekerja di ibu kota Mesir itu. Sementara sepak terjangnya di dunia sastra sebagai penyair sudah ia rintis sejak tahun 1965. Kala itu, lewat syairnya, ia menyenandungkan amarah Angkatan Muda Indonesia. Namanya kian melambung saat kumpulan puisinya berjudul “Tirani” dan kemudian disusul “Benteng” terbit dalam format yang sederhana.
Puisi-puisinya menyuarakan protes terhadap pemerintahan orde lama pimpinan Soekarno. Karena Soekarno melarang seluruh tokoh manifes menulis, maka Taufik Ismail menyiasati penerbitan kumpulan puisinya itu dengan nama samaran. Setelah orde lama tumbang dan orde baru tiba menggantikannya, nama Taufik Ismail lantas tenar sebagai penyair Angkatan 66. Pada tahun 1973-1977 ia menduduki jabatan sebagai ketua LPKJ.
Kendati sibuk, ia tidak pernah berhenti menulis dan membacakan sajak-sajaknya. Puisinya amat imajinatif, dan ini membuktikan bahwa Taufik adalah penulis yang peka terhadap situasi. Karyanya sarat dengan kritik sosial dan menyuarakan keluhan masyarakat bawah.Kendati demikian,sentuhan humor juga tersurat dalam puisinya, disamping ungkapan sajak religi yang membuatnya lebih dekat dengan Sang Pencipta. Sentuhan religius itu menjadikan dirinya dipercaya grup musik kawakan Trio Bimbo untuk mengisi lirik lagu. Dunia anak-anak pun menarik perhatiannya.
Kumpulan puisi anak-anaknya berjudul “Saya ini Hewan” ditetapkan sebagai buku bacaan Inpres. Pada tahun 1978, bertepatan dengan Hari Kemanusiaan Sedunia, ia menggubah puisi berjudul “Rasa Santun Yang Tertidur”. Puisi itu dipublikasikan ke seluruh penjuru tanah air lewat media koran dan majalah. Puisi itu ditulisnya lantaran ia malu, setidaknya malu pada diri sendiri, lantaran tak bisa berbuat banyak bagi mereka yang mendekam dalam sel tahanan atau jeruji penjara.
Taufik paling hobi olahraga lari. Itu dilakukannya setiap pagi termasuk ketika ia sedang melawat ke luar negeri. Di negeri orang, jika cuaca mengijinkan, Taufik tak pernah meninggalkan olah raga itu. Pada sebuah acara di TIM, ia pernah menjajal kemampuannya bertanding pada nomor lari 1.500 meter. Walaupun tak berhasil masuk peringkat atas dalam ajang lomba lari tersebut, paling tidak dia sudah menunjukkan betapa pedulinya dia pada olahraga ini demi menjaga vitalitas dan stamina.
Berkat jasa-jasa dan prestasinya Taufik Ismail mendapatkan Penghargaan Bintang jasa Mahaputra RI dalam bidang Kebudayaan. Karya Berikut ini adalah karya Taufik Ismail, baik yang berbentuk buku maupun yang tersebar di surat kabar atau majalah. Tidak semuanya dicantumkan, melainkan hanya beberapa cuplikan dari seluruh karyanya yang sangat banyak.
- Buku Mini Taufik Ismail (1971).
- Bacaan sajak-sajak di AS (1971).
- Dua Ratus Juta Mulut (1971).
- Kembalika Indonesia Kepadaku.
- Nyonya-nyonya Pembesar (dibacakan di kota Paris).
- Perjalanan Malam ke Roterdam.
- Selamat Pagi Indonesial.
- Tumpulnya Diriku.
- Sajak Pantun Terang Bulan di Midwest (1972).
- Tidak Ada Dispensasi Moral Bagi Seninan (1972).
- Ladang Angin dan Langit.
- Bagaimana Kalau Hutang-hutang Indonesia Dibayar Dengan Pementasan Rendra? (1973).
- Seni di Laut, Seni di Lembah, Seni di Udara (1975).
- Gembala di Bukit-bukit Palestina (1976).
- Sajak-Sajak Perlawanan I dan II (1979).
- Syair-syair untuk Seorang Petani di Waimital Pulau Seram (1980).
- Perkenalkan Saya Hewan (1983).
- Bagi Anda yang Merasa Orde Baru (1984).
- Renungan Menyambut Idhul Fitri (1985).
- Kaum Modern Masihkah Membuthkan Puisi? (1986).
- Arti Ulang Tahun (1987).
- Cerita Seorang Anak Yatim Piatu (1988).
- Seandainya Saya Don King (1989).
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".