Skenario Yang Mulus
Begitu meletus konspirasi G-30-S, inilah kesempatan Angkatan Darat untuk menghancurkan saingan beratnya itu. Tak ada ampun, pokoknya PKI harus musnah. Dan penghancuran itu akan lebih afdol jika presiden sendiri yang mengumumkan pembubaran PKI. Soalnya yang punya hak untuk membubarkan partai politik cuma presiden. Itu adalah hak prerogatif presiden. Tapi tunggu punya tunggu, Soekarno kok belum mau juga membubarkan PKI. Angkatan Darat melalui tangan Soeharto pun mengambil jalan pintas, mengajukan Konsep Supersemar. Isinya perintah presiden kepada Angkatan Darat (Soeharto) untuk mengamankan negara.
Berdalih mengamankan negara inilah Angkatan Darat jadi punya alasan mengganyang habis PKI. Angkatan Darat memang berlomba dengan waktu. Harus bergerak cepat. Kalau tidak, PKI bisa kembali bangkit mengumpulkan kekuatan dan mendepak jauh-jauh Angkatan Darat dari panggung kekuasaan. Now or never! Jadi sekarang Angkatan Darat tidak boleh kalah cepat! Soeharto memerintahkan para Jenderal tadi untuk membawa surat itu kepada Soekarno. Dengan pesan khusus, “pokoknya harus ditandatangani Soekarno”.
Sesudah Supersemar terbit, terjadilah tragedi mengenaskan. Di segala pelosok negeri berkubang darah ratusan atau bahkan jutaan rakyat dengan alasan pembasmian PKI demi keamanan negara. Korbannya tidak saja PKI, tapi juga orang-orang yang tiba-tiba di-PKI-kan atau dipaksa mengaku PKI. Berjuta rakyat mendadak tak bermasa depan dan terampas haknya karena dicap PKI. Justru, Soekarno sendiri pun turut menjadi korban.
Soekarno pernah mengatakan dia mengutuk sekeras-kerasnya Gestok (G-30-S PKI). Pelakunya harus dihukum, kalau perlu ditembak mati. Tapi orang yang memperuncing peristiwa G-30-S PKI, hingga terjadi provokasi membenarkan pembunuhan jutaan rakyat juga harus diadili. Apakah Soekarno bermaksud menujukan ucapannya ini pada Soeharto?
Yang jelas, sesudah pernyataan Soekarno itu, terjadi de-Soekarnoisasi. Kita tahu bagaimana Soekarno diisolasi, dituduh terlibat G 30 S PKI tanpa bukti yuridis dan tidak pernah diadili hingga akhir hayatnya. Padahal tuduhan itu aneh. Mungkinkah Soekarno melakukan kudeta terhadap dirinya sendiri? Buntutnya, semua yang berhubungan dengan Soekarno menjadi tabu dibicarakan di masa Orba. Bahkan beberapa departemen men-non-aktif-kan pegawai yang ketahuan pro-Soekarno, pembersihan di tubuh ABRI juga dilakukan.
Setelah skenario berjalan seperti harapan, konseptor Supersemar lalu mabuk kemenangan. PKI yang dulu jadi saingan utamanya untuk merebut “kursi Soekarno” sudah tersungkur. Dan Soekarno sang pemilik kursi juga sudah dipaksa meninggalkan kursinya. Soeharto tak menyia-nyiakan kesempatan. Kursi yang kosong tanpa pemilik itu harus diapakan lagi kalau bukan diduduki?
Dan ketika kursi Soekarno tadi diduduki Soeharto, di situlah awal mula kasak kusuk politik tentang “penyelewengan Supersemar”. Apakah betul tuduhan bahwa ada permainan sistematis Amerika di balik semua ini?
Faktanya, dengan diselewengkannya maksud Supersemar, yang paling berbahagia adalah Amerika. Karena itu berarti jatuhnya Soekarno. Akhirnya mimpi Amerika terkabul sudah. Terang-terangan Amerika menyatakan jatuhnya Soekarno sebagai kemenangan Amerika. Presiden Richard Nixon menggambarkan kemenangan itu sebagai, “Hadiah terbesar dari Asia Tenggara”. Sudah jelas. Karena hadiah sesungguhnya terletak pada kekayaan alam Indonesia yang menanti untuk dikuras. Dan batu penghalang yang menghalang-halangi Amerika menguras alam Indonesia, yaitu Soekarno, sudah dibikin terjungkal. Inilah awal kemenangan Amerika yang sejak 10 tahun sebelumnya ingin menggulingkan Soekarno.
Bung Karno berhasil mengusir penjajahan Belanda. Tapi setelah itu Bung Karno ambruk oleh Amerika. Mungkin karena cara Amerika lebih cerdik. Soalnya Amerika tidak memegang gagang keris secara langsung untuk menikam Soekarno. Keris itu diserahkannya kepada rakyat Soekarno sendiri, yang menghujamkannya langsung ke presidennya sendiri, di antaranya melalui provokasi perebutan kekuasaan dan akhirnya menunggangi G-30-S.
Pasca G-30-S, rakyat menjadi sangat takut dengan yang kekiri-kirian. Ini artinya Indonesia meninggalkan Rusia dan berpaling ke Amerika. Dan setelah Supersemar dijadikan surat sakti untuk memberantas sisa-sisa G-30-S, lalu pemegang Supersemar diangkat menjadi presiden, Indonesia berubah haluan 180 derajat. Hampir semua jabatan vital dipegang oleh perwira Angkatan darat. Sehingga rakyat berbisik takut-takut dan bertanya siapa sebetulnya yang meng-kup Soekarno?
Di bawah pemerintahan yang hampir semuanya orang militer, rakyat Indonesia jadi takut dan kapok dengan yang segala yang berbau kiri. Semua orang tiba-tiba saja beragama. Banyak orang tiba-tiba rajin ke mesjid dan ke gereja. Soalnya takut dituduh PKI. Sehingga kiblat Indonesia berganti ke Amerika, tidak lagi ke Blok Timur. Uni Sovyet yang tadinya sahabat Indonesia sekarang menyingkir. Amerika jingkrak-jingkrak! Soalnya mimpi mereka untuk menancapkan kuku di Indonesia akhirnya terwujud.
Bumi Indonesia yang mengandung banyak emas dan minyak itu akhirnya jatuh ke pelukan Amerika. Apa buktinya? Kepentingan Amerika cuma satu. Pokoknya modal Amerika mesti masuk ke Indonesia. Hasilnya? Begitu pemegang Supersemar diangkat menjadi Presiden menggantikan Soekarno, maka produk undang-undang pertama yang digodok adalah RUU Penanaman Modal Asing Tahun 1967.
Setelah lahir UU Penanaman Modal Asing, sebut saja sumber daya alam mana di Indonesia yang sampai sekarang tidak dikuasai Amerika? Disusul era “kapitalisme Cendana”, dan dukungan penuh Amerika terhadap 'integrasi' Timor Timur, yang dikhawatirkan Amerika akan jadi basis militer komunis Uni Sovyet.
Mengungkap SP 13 Maret
Penafsiran Supersemar adalah ”penyerahan atau pengalihan kekuasaan” diyakini oleh pembawa naskah itu sendiri, Jenderal Amir Machmud cs. ”Lho , ini kan penyerahan kekuasaan” demikian Amir Machmud dalam perjalanan mobil sepulang dari istana Bogor membawa Supersemar itu. Ketika Sudharmono dan Moerdiono kesulitan mencari dasar hukum bagi pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), mereka bergembira setelah tahu keluar Supersemar.
Padahal, Presiden Soekarno menegaskan Supersemar itu hanya untuk bidang teknis keamanan, bukan politis keamanan. Dan kerancuan pun segera menggelombang apalagi setelah Supersemar di-Tap MPRS-kan. Pertama, sudah jelas yang paling mengerti isi sebuah perintah tentu saja adalah pemberi perintah itu sendiri. Adalah janggal jika orang lain, bahkan yang diberi perintah sebagai figur terpercaya oleh yang memerintah, berpretensi lebih mengerti isi perintah.
Kedua, pada umumnya ahli hukum Tata Negara, terutama Dahlan Ranuwihardja SH, anggota MPRS, sangat heran kenapa executive order diubah begitu saja sebagai Tap MPR(S) tanpa bertanya dulu kepada pemberi perintah. ”Jadi enggak bisa dong MPR(S) melakukan sesuatu yang bukan wewenangnya.
Bukan hanya keliru memahami, Jenderal Soeharto sebagai pengemban Supersemar sengaja menyalahgunakan sebagai mandat politik dengan membubarkan PKI betapapun langkah itu secara kondisional adalah tepat. Karena itu, Presiden Soekarno terkejut dan marah dengan langkah Soeharto. Presiden lantas mengeluarkan SP 13 Maret 1966, yang tidak banyak diketahui umum dan generasi baru berhubung Soeharto dan rezim sengaja menyembunyikannya. Autobiografi Soeharto pun tidak pernah secuil pun mengatakannya.
SP 13 Maret itu dibawa oleh Waperdam II Leimena dan Brigjen KKO Hartono kepada Soeharto yang sesudah membacanya, Soeharto menyatakan pembubaran PKI itu adalah tanggung jawabnya sendiri. SP 13 Maret terdiri atas tiga hal yakni: a) mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/administratif, tidak politik, semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS; b) bahwa Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yag melampaui bidang politik, sebab bidang politik adalah wewenang langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata; c) Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di Istana untuk memberikan laporannya (D & R, 12 September 1998).
Menghendaki Kekuasaan
Terlebih dulu dapat diruntut betapa Soeharto sesungguhnya berkepentingan benar terhadap keluarnya Supersemar; atau dengan kata lain mengehendaki sesuatu kekuasaan sebagaimana kesaksian Jenderal Kemal Idris, Jenderal Mursjid, Jenderal Soemitro dan Ketua RT tempat kediaman Soeharto sekaligus kolega baiknya, yakni Mashuri SH, yang kelak diberi jabatan menteri dan terakhir Wakil Ketua MPR/DPR.
Jenderal Soeharto mengatakan, pada minggu kedua sebelum 11 Maret, rapat Staf Umum AD yang dipimpin Jendeal Soeharto memutuskan untuk memisahkan Bung Karno dari ”Durna-Durna”-nya dan para Durna akan ditangkap oleh RPKAD. Itulah yang kemudian mewujud dalam fenomena ”pasukan tak dikenal”, mengepung istana pagi hari saat Sidang Kabinet 11 Maret 1966, yang membuat Bung Karno diterbangkan ke Bogor.
Ketika kejadian itu dilaporkan kepada Soeharto, menurut Kemal Idris, maka Soeharto menulis pesan kepada Bung Karno yang dibawa Amirmachmud cs ke Istana Bogor. Isi pesannya, ”Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.” (D&R, 12 September 1998).
Adapun Jenderal Mursyid, Asisten Menpangad Jenderal A Yani lebih tegas menyatakan Soekarno itu dikudeta dalam konteks bertemunya kepentingan pihak luar –Amerika cs– dan pihak dalam negeri. Mursjid berbeda pendapat dengan analisis kudeta itu berjalan ”merangkak-rangkak” dengan tonggak-tonggak pokok: 1 Oktober atau G-30-S/PKI; 11 Maret 1966 dan penolakan pidato Presiden Nawaksara/Pelengkap Nawaksara.
”Saya tetap berpegang bahwa 1 Oktober kudetanya. Formalnya, terjadi pada tanggal 11 Maret dengan Supersemar, yang dikoreksi BK pada 13 Maret. Dengan kata lain, tanggal 1 Oktober merupakan langkah-langkah ke arah 11 Maret itu. Itulah aibnya Soeharto, ia ambil kekuasaan dengan paksa”, (Tajuk, 1-17 September 1998). Namun demikian ia tidak melihat Soeharto ”dalang” kejatuhan Bung Karno, bukan orang pertama dan orang tunggal.
Dalam pada itu, Mashuri SH menyatakan bahwa kejatuhan Bung Karno itu bukan creeping coup d’etat atau ”kudeta merangkak”, melainkan memang kudeta. ”Itu jelas kudeta, tidak pakai merangkak-rangkak. Jadi orang mengatakan sidang Nawaksara di sana itu dihabisi Soekarno, itu tanggal 11 Maret sudah terjadi kudeta. Jadi Soeharto mengepung istana dan Bung Karno terbang ke Bogor itu sudah kudeta. Begini saya pernah bilang pada Ruslan (Abdulgani?). Sidang MPRS Nawaksara itu hanya sebagai ijab ijab kabul, tapi sebelum menyampaikan harus menghadap penghulu dulu, penghulunya ya, Sebelas Maret itu,” (Gema Reformasi, September 1998).
Rekonstruksi
Tampaklah bahwa SP 11 Maret, sekaligus SP 13 Maret sebagai satu kesatuan perintah presiden membutuhkan rekonstruksi. Bukan hanya rekonstruksi, malahan suatu dekonstruksi pun perlu mengingat begitu besarnya kontroversi– di antaranya yang pokok peranan Jenderal Soeharto pada khususnya dan Angkatan Darat pada umumnya.
Ben Anderson, ahli ilmu politik Cornell University yang dimusuhi rezim Orde Baru misalnya menyebutkan Supersemar cuma langkah terakhir dari serangkaian strategi. Adapun langkah awalnya menurut dia adalah di sekitar 1964 saat ”geng Soeharto” membuka jalan rahasia langsung ke Malaysia, Inggris dan Amerika di luar jalur Nasution dan Yani –saat itu Soeharto adalah panglima dengan tugas konfrontasi terhadap Malaysia.
Saat-saat itulah Benny Moerdani dan Ali Moertopo –yang disebutnya anggota ”geng” tadi justru membuka jalur sendiri ke Washington dengan memakai orang-orang eks-PRRI, Des Alwi cs. ”Ini ada buktinya. Data-datanya saya ada di Amerika. Nah, kalau mereka tidak berambisi untuk posisi paling atas, untuk apa itu. Itu jelas semacam pengkhianatan terhadap politik yang ada waktu itu,” demikian Anderson, yang Cornell Paper-nya untuk G-30-S/PKI berseberangan dengan Buku Putih pemerintah Orde Baru (Detak, 9-15 Maret 1999).
Karena itu bisa dimengerti adanya suatu analisis, betapapun Soeharto dan Nasution mempunyai pertentangan khususnya ketika selaku Pangdam Diponegoro Soeharto dicopot atas kasus dagang dan penyelundupan; sewaktu pasca-G-30-S/PKI mereka dipertemukan oleh adanya musuh bersama, yakni: Soekarno dan para pendukung setianya semisal Soebandrio dan Chaerul Saleh, serta PKI yang saat itu dikambinghitamkan sebagai satu-satunya dalang dan penggerak G-30-S. (Detak, 2-8 Maret 1999).
Dalam hubungannnya dengan hilang atau dihilangkannya SP Maret itu sendiri, boleh jadi versi yang paling mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan ”geng”nya untuk kurang beritikad baik. Pertama, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk : menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.
Kedua, kesaksian Soebandrio membenarkan bahwa dalam naskah asli SP 11 Maret sebenarnya ada tertera point: setelah keadaan terkendali Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Hal ini dikuatkan oleh Kemal Idris, ”Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai ya harus lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” (Detak, 2-8 Maret 1999). Tak mengherankan bagi Soeharto dan kelompoknya, SP 13 Maret perlu makin disembunyikan- lebih dari SP 11 Maret. (35) (sumber utama: Drs Slamet Sutrisno MSi, dosen Sejarah Pergerakan Nasional di Fakultas Filsafat UGM)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".