Di depan sebelah kanan gedung Utama – Kejaksaan Agung, Jalan Sultan Hasanudin, Jakarta Selatan ada patung setengah badan. Patung itu berbadan batu, ditumpangkan di atas bangunan dari marmer setinggi kurang lebih dua meter. Pemahatnya adalah dosen ITB-Senirupa, But Muchtar dan Sidharta. Pemrakarsa patung Jaksa Agung R. Soeprapto (1951-1959) adalah Jaksa Agung Soegih Arto (1967-1973), tertuang dalam Surat Keputusan Nomor Kep-061/D.A/7/1967. Pertimbangannya: pertama, sifat-sifat kebapakan dan memajukan perkembangan korps kejaksaan dan umumnya negara-bangsa. Kedua, perasaan korps terhadap beliau perlu mendapat kenyataan yang selayaknya, terutama dari warga Kejaksaan.
SK tersebut diterbitkan tanggal 22 Juli 1967, pada hari Ulang Tahun Kejaksaan ke-7 (1960-1967), ditandatangani oleh Jaksa Agung Soegih Arto –Mayor Jenderal– TNI. Dikirimkan ke Presidium kabinet Ampera, Kantor Urusan Pegawai dan pejabat structural Kejaksaan se-Indonesia.
Patung ini menjadi saksi prestasi seorang Jaksa Agung Ke-IV di Bumi Pertiwi. Jaksa Agung yang tekun, berani, cerdas dan tegas tidak pandang bulu serta anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selain memprakarsai pendirian patung pendahulunya itu, Jaksa Agung Soegih Arto juga menghidupkan kembali perwakilan kejaksaan di luar negeri, yakni di Singapura, Hongkong, Bangkok, Tokyo, dan Jeddah. Perwakilan tersebut pertama kali dirintis oleh Jaksa Agung R.
Soeprapto namun sempat dihentikan oleh Presiden Soekarno atas saran Menteri Luar Negeri Subandrio. Penghapusannya terlebih dulu harus menunggu pemberhentian R. Soeprapto. Sebab, ketika R. Soeprapto masih menjabat Jaksa Agung, rencana itu pernah dikemukakan oleh Presiden Soekarno, tetapi R. Soeprapto dengan tegas menolak. Bahkan R. Soeprapto juga menolak datang ke Istana untuk serah terima jabatan, dikarenakan pemberhentian atas
jabatannya tidak lebih dulu diketahuinya, R.Soeprapto hanya mendengar di siaran RRI pada saat dia tengah menengok orang tuanya di Yogya saat itu. Dia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959.
Siapakah R. Soeprapto?
R. Soeprapto, lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 27 Maret 1897 – meninggal di Jakarta, 2 Desember 1964 pada umur 67 tahun, adalah Jaksa Agung pada tahun 1951 hingga 1959. Ia mengawali kariernya sebagai hakim diberbagai daerah, meskipun ia tak sempat meraih gelar akademis (MR. atau SH) namun sepak terjangnya di dunia penegakan hukum membuktikan kepiawaian dan ketegasan yang terpuji dan berani.
Seperti layaknya keturunan priyayi zaman sebelum perang, Soeprapto biasa saja encantumkan gelar R. (Raden) di depan namanya. Karena ayahnya, Hadiwiloyo-pun memang bergelar Raden pula, yang ketika Soeprapto lahir, 27 Maret 1897, sang ayah sedang bertugas sebagai controlleur pajak di Trenggalek, Jawa Timur.
Soeprpato menamakan ELS (Europesche Lagere School – Sekolah Dasar untuk bangsa ropa) tahun 1914. Masa itu, status ELS lebih bergengsi daripada HIS yang sama-sama Sekolah Dasar. Kemudian Soeprapto remaja melanjutkan studinya ke Sekolah Hakim di Batavia, tamat 1920 menyandang predikat "tiga besar". Teman-teman seangkatannya di Sekolah Hakim (R.S – Rechtschool, 6 tahun), antara lain Wongsonegoro, Isqak dan Mas Soemardi. Dua nama tadi pernah menjabat menteri di zaman kabinet Parlementer.
Tidak seperti Wongsinegoro dan Isqak, yang sempat melanjutkan studinya ke Universitas Leiden bagian hukum, Soeprapto memilih langsung bekerja saja. Untuk pertama kali, ia ditempatkan di Landraaad (Pengadilan untuk kaum Bumi Putera) Tulungagung dan Trenggalek. Zaman itu, bagi lulusan tiga besar, diperbolehkan memilih tempat bekerja. Dan, Soeprpato yang cerdas, tekun, dan patuh itu memilih di kota kelahirannya Trenggalek untuk mengawali karirnya di pengadilan.
Pada zaman penjajahan Belanda itu hakim Soeprapto berpindah-pindah tempat tugas. Sebelum pendudukan Jepang, ia pindah dari Trenggalek ke Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar sampai Mataram – Lombok. Selama empat tahun, 1937-1941 hakim Soeprapto menjabat Kepala Landraad Cirebon-Kuningan, terus ke Salatiga-Boyolali, balik Banyuwangi menjadi Pengawas Hukum di Keresidenan Besuki. Ketika Jepang datang Maret 1942, Soeprapto menjabat Kepala Pengadilan Keresidenan Pekalongan.
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia dan ibukota RI pindah ke Yogyakarta hingga memperoleh kedaulatan pada 27 Desember 1949, Soeprapto tetap bekerja di pengadilan Keresidenan Pekalongan. Hingga Indonesia kembali lagi ke Jakarta pada tahun 1950, Soeprapto yang berkarier di kehakiman sejak 1920, mulai memasuki kamar penuntut umum. Atas jasa-jasa dan perjuangannya menegakkan citra kejaksaan, R. Soeprapto ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Republik Indonesia.
Berani Karena Benar
Diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959. Dalam buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan (1945-1985), pemberhentian ini merupakan ekor yang tidak sedap dari kasus peradilan Jungschläger dan Schmidt yang ditangkap pada tahun 1954. Awal peristiwanya, setelah tuduhan terhadap Leon Nicolaas Hubert Jungschläger gugur demi hukum, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka tinggallah Schmidt yang diadili. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta, Schmidt dijatuhi hukuman seumur hidup, di tahun 1958. Terpidana ini mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi Jakarta memutus lebih ringan, 5 tahun, dipotong masa tahanan. Karena Schmidt sudah menjalani hukuman 5 tahun, Pengadilan tinggi membebaskannya. Karena Kejaksaan Agung tidak mengajukan permohonan kasasi, maka Jaksa Agung memerintahkan eksekusi.
Dendam rakyat yang tidak suka pada orang Belanda pemberontak ini, menurut Jaksa Agung Soeprapto menjadi pertimbangan untuk memulangkan Schmidt ke negerinya. Menurut buku Sejarah Kejaksaan Agung, kesalahan R. Soeprapto sebagai jaksa agung tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom. Ini dikecam keras oleh partai-partai politik dan tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Kejadian di awal 1959 ini, agaknya merepotkan Jaksa Agung R. Soeprapto. Tapi, menurut (Alm) Ny. Soeprapto kepada Forum Keadilan. “Sebenarnya perintah eksekusi Schmidt itu telah disetujui oleh Maengkom".
Soeprapto bersama keluarga sedang berada di Yogya ketika mendengar siaran RRI yang menyiarkan tentang akan digantikannya Jaksa Agung, Soeprapto melihat “Pemerintah dan Bung Karno sudah tidak proporsional lagi,” kata Soeprapto seperti ditirukan istrinya.
Sekembalinya ke Jakarta, Jaksa Agung yang tegar ini menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak mau minta maaf. Ia menolak menarik kembali tindakan yang beliau yakini benar, baik secara hokum maupun hirarki. Apalagi untuk bergabung dengan politisi, hanya sekedar untuk mempertahankan jabatannya. Sekembalinya ke Jakarta, Jaksa Agung yang tegar ini menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak mau minta maaf. Ia menolak menarik kembali tindakan yang ia yakini benar, baik secara hukum maupun hirarki. Apalagi untuk bergabung dengan politisi, hanya sekedar untuk mempertahankan jabatannya.
Contoh keteladanan R. Soeprapto lainnya yang patut dijadikan cermin, adalah ketegasannya ketika pada 13 Agustus 1955, memerintahkan menahan Djodi Gondokusumo yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo karena perbuatan korupsi, penangkapan dilakukan oleh Polisi Militer atas perintahnya sebagai Jaksa Tentara Agung.
Proses peradilan menjadi “sengit” karena aparat Kejaksaan Agung dan kehakiman harus berhadapan dengan bekas atasan, selain sebagai Menteri Kehakiman, Djody juga politisi PRN. Angkatan Darat menyatakan bahwa tindakan CPM menberantas korupsi tidak berdasar sentimen. Saat itu Soeprapto terus koordinasi dengan Perdana Menteri Mr. Burhanuddin Harahap, Kepala Kepolisian Soekanto, juga memimpin pertemuan Kejaksaan Agung, CPM, DPKN Pusat, Jawatan Kepolisian Negara, Kejaksaan Jakarta, dan JRP Jaksa Agung Muda Abdul Moethalib Moro.
Di sisi lain, PRN dan Pemuda Nasional menyatakan tindakan Soeprapto hanya ditujukan terhadap suatu partai atau golongan dan bermuatan politis. Namun Soeprapto menanggapi bahwa pemeriksaan wajib dilakukan pada siapa pun yang dianggap berbuat salah dan kepentingan negara harus diutamakan dibanding kepentingan lainnya seperti partai dan golongan.
Djody Gondokusumo didakwa dua tuduhan. Primair, memberi visa permanen Bong Kim Tjhong tanpa perduli keberatan diajukan Kepala Kepolisian Negara dalam suratnya tertanggal 16/12/1954 No.E3518/2146-54. Subsidair, menerima hadiah sebesar Rp.40.000 yang dianggap sebagai pelicin agar visa tersebut lulus. Perbuatan ini dapat dihukum menurut, Pasal 419 subsidair 418 KUHP.
Tanggal 2 Januari 1956, Hakim Ketua Mr. Satochid Kartanegara memvonis satu tahun penjara potong masa tahanan, atas tuduhan subsidair, pihak Pembela mengajukan grasi. Tanggal 19 Juli 1956, Presiden meluluskan grasi dengan mengurangi masa tahanan jadi enam bulan. Sebelum vonis MA jatuh, terpidana sudah menjalani penahanan lima bulan, maka harus menjalani penahanan selama satu bulan. Sehari kemudian, Mr. Djody Gondokusumo menjalani hukuman di penjara Cipinang.
Sebagai pegawai yang pejuang dengan dedikasi tinggi, cerdas, tekun, dan ulet, tidak ada dalam kamus Soeprapto untuk mempolitikkan jabatannya, demi ideologi atau kepentingan apapun selain Pancasila dan UUD yang berlaku, pada kala itu yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUD-S 1950). R. Soeprapto dengan watak kebapakannya, telah memberikan sebagian besar perjalanan usianya untuk penegakan hukum di negeri ini. Ia buktikan dari tahun 1920 sampai 1958, dalam zaman kolonial, pendudukan militer Jepang dan RI dalam berbagai cuaca politik yang sering berganti. R. Soeprapto, akhirnya menutup mata pada tanggal 2 Desember 1964 di Jakarta, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tanpa Bandang Bulu
Apa yang kita dapat dari perjalanan karier dan hidup R. Soeprapto? Banyak! Dia-lah yang berani memanggil sekian menteri dan sejumlah jenderal untuk diperiksa. Dia pula-lah yang turun sendiri menuntut Sultan Hamid – Menteri Negara semasa Kabinet Natsir – karena pemberontakan bersama Westerling. Dalam zaman parlementer dan jaksa agung di bawah menteri kehakiman, Soeprapto justru berani memanggil menteri atau jenderal yang melanggar hukum. Dari sekian keberanian yang paling top dan belum pernah terjadi selama ini: R. Soeprapto adalah satu-satunya jaksa agung yang menolak dipanggil ke istana untuk serah-terima jabatan.
Pada periode awal pulihnya kedaulatan, tercatat kerawanan politik, keamanan dan keuangan negara. Banyak gerakan separatis yang muncul. Sebut saja peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Sultan Hamid, Andi Aziz-RMS, DI/TII dan PRRI/Permesta. Di ibukota, tentara yang tidak puas terhadap tingkah laku politisi dan Bung Karno “ikut campur dan memihak dalam pergolakan Angkatan Darat” melakukan “kudeta” ke Istana Presiden. Untuk semuanya itu, Jaksa Agung R. Soeprapto tidak segan memanggil, memeriksa dan turun menuntut sendiri kepda siapa saja yang tersangkut kasus itu.
Pemerikasaan pertama dilakukan terhadap Menteri Negara Sultan Hamid. Sampai di persidangan, yang majelis hakimnya diketuai Ketua Mahkamah Agung, Mr. wirjono Prodjodikoro, tampil Jaksa Agung, R. Soeprapto sebagai penuntut umum. Hasilnya, Sultan Hamid yang pro Belanda dijatuhi hukuman 10 tahun dari tuntutan 18 tahun potong masa tahanan. Karena peradilan ini menganut asas forum privilegiatum, maka tidak dikenal banding dan kasasi. Itu putusan jatuh 8 April 1953, dengan mempergunakan pasal-pasal KUHP.
Selama berlangsung pengadilan Sultan Hamid, Jaksa Agung R. Soeprapto juga disibukkan memeriksa Jenderal Abdul Haris Nasution dan anak-buahnya. Seperti Kemal Idris (yang pernah menjadi duta besar dan mantan Pangkostrad), dan beberapa perwira lainnya.
Kewenangan ini dimungkinkan, karena jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi, termasuk dalam lingkup peradilan ketentaraan, berdasar UU no.6/1950. UU ini kemudian diadakan perubahan, yakni jaksa tentara tidak dapat menyerahkan berkas perkara tanpa persetujuan komandan tentara yang bersangkutan. Masa itu banyak jaksa di oditurat militer diisi oleh jaksa sipil dengan diberi pangkat militer tituler. Atas dasar UU No.6/1950 ini pula, R. Seoprapto merangkap sebagai Jaksa Agung Militer. Beliau diberi pangkat letnan jenderal, seperti diatur dalam PP. no. 24/1950.
Selama diperiksa oleh R. Soeprapto -sang Putera Trenggalek, Jenderal Nasution dan Kemal Idris, dikenakan tahanan rumah dan kota. Hasilnya, Pak Nas dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Tiga tahun kemudian, 1955, Jenderal Nasution diangkat kembali menjadi KASAD dan “berbulan madu” dengan Bung Karno. Bahkan tahun 1959 dalam pembentukan Kabinet Karya I, Nasution ikut menyusun kabinet yang menempatkan jaksa agung di bawah Koordinasi Menteri Bidang Keamanan, dengan Jenderal Nasution sebagai Menteri Bidang keamanan. Waktu kabinet ini terbentuk, Soeprapto baru beberapa bulan diberhentikan dari jabatannya sebagai Jaksa Agung.
Selepas Pemilu pertama (1955) PKI muncul sebagai lima besar. Bersama Bung Hatta dan orang-orang yang tidak suka komunis, R. Soeprapto sudah memperingatkan Bung Karno. Agaknya mulai masa itu, “Pak Prapto lebih dekat dengan Bung Hatta daripada Bung karno,” demikian cerita Ny. R. Soeprapto.
Dalam era kabinet parlementer ini, kendati jaksa agung di bawah koordinasi Menteri Kehakiman, tapi dalam setip rapat kabinet atau acara kenegaraan lainnya, tempat duduk jaksa agung dekat dengan Presiden. Biasanya yang dekat dengan Presiden – di samping Wakil Presiden dan Perdana Menteri – adalah Meneteri Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Kekurang-dekatannya dengan Bung Karno, selain tidak suka terhadap komunis yang ingin mempengaruhi jalan penegakan hukum, juga merasa dihalangi sewaktu memeriksa Mr. Isqak dan Ruslan Abdulgani. Waktu itu, Soeprapto diminta Presiden Soekarno agar pemeriksaan terhadap Ruslan tidak diteruskan. Tapi, Jaksa Agung tidak menerima permintaan itu. Pemeriksaan berjalan terus, dan di Pengadilan Negeri Jakarta Cak Roeslan (pernah menjabat Ketua P-7) yang mantan Menteri Luar Negeri dan Penerangan itu, dijatuhi hukuman denda karena tindak pidana ekonomi (cek kosong).
Dalam pemeriksaan terhadap Mr. Isqak Tjokrohadisuro (Menteri Kemakmuran), selain tekanan dari Bung Karno, juga istri Isqak menemui Soeprapto di rumah Jalan Imam Bonjol. Entah apa yang dirasakan Soeprapto, karena Mr. Isqak adalah teman sekolahnya dulu di Rectschool (RS, 1920) yang lulusnya juga bersamaan. Tetapi, sekali saja Soeprapto menolak permintaan Bung Karno maka biasanya Bung Karno segan mengulangi.
“Barangkali Bung Karno merasa sungkan, karena lebih muda ketimbang bapak. “ ujar isterinya. Memang, Bung Karno 4 tahun lebih muda. Diantara pejabat dan para tokoh nampaknya R. Soeprapto dan Mr. Isqak bersaing tertua. Di tahun 1951, bung Karno berusia 50 tahun, sedangkan Soeprapto dan Mr. Isqak berusia 55 dan 56 tahun.
Terhadap delict pers yang menuduh Asa Bafagih membocorkan rahasia negara, Jaksa Agung R. Soeprapto malah mendeponir perkara itu. Alasannya, karena belum jelas apa yang dimaksud dengan rahasia negara yang dibocorkan Asa Bafagih. Jaksa Agung tidak beralasan demi ketertiban atau yang berbau politik. Pemeriksaan terhadap Asa Bafagih diprotes segenap wartawan, buruh percetakan dan akademisi pers. Itu kejadian di tahun 1953, ketika R. Soeprapto baru dua tahun menjabat Jaksa Agung.
Selain menangani perkara menteri dan jenderal, Jaksa Agung asli Trenggalek ini ternyata juga “dekat“ dengan garong. Di awal proklamasi dulu, Kutil memilih mengungsi bersama pak Hakim Soeprapto, tanpa ada dendam atau khawatir dibunuh tentara. Begitu-pun, para garong yang berafiliasi dengan gerombolan DI, minta dengan hormat “Jika tidak diperiksa Pak Prapto, kami tidak akan menyerah!”. Maksudnya, mereka hanya mau menyerah apabila yang memeriksa mereka adalah R. Soeprapto, sebab mereka sangat yakin Soeprapto adalah penegak hukum yang adil dan bersih.
Suatu ketika pernah gerombolan garong (sekitar 15 orang) menyerah dan diperiksa kejaksaan. Supaya mereka merasa aman dan yang memeriksa Pak Prapto sendiri, para garong ini di “simpan” di rumah dinas Jaksa Agung. Keluarga Soeprapto juga memberikan fasilitas berolahraga agar mereka punya kesibukan selama dalam tahanan di rumah dinas. Tapi, setelah sekian minggu Bu Prapto merasa tidak enak –bukan karena omongan orang- tapi ibu empat anak ini memergoki para garong justru berusaha mengintip ruangan lain di rumah itu, terpaksalah, para garong ini diserahkan kepada polisi.
Saat R Soeprapto menjabat Jaksa Agung, negara sedang dirongrong oleh berbagai kemelut politik dan ketidakstabilan pemerintahan. Beberapa staf perwakilan Kejaksaan ditempatkan di perwakilan RI di luar negeri, seperti di Singapura, Hongkong, Bangkok, Manila, Tokyo dan Jeddah/Kairo. Hal ini terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, khususnya di bidang keamanan. Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi dan Kepala Kepolisian Yustisial, baik represif maupun preventif sudah seharusnya mengetahui segala peristiwa dan perkembangan masyarakat dalam segala bidang. Penempatan perwakilan Kejaksaan di luar negeri tersebut dimaksudkan agar Jaksa Agung senantiasa memperoleh informasi dan pengetahuan yang lengkap tentang situasi dan kondisi negara-negara di Asia dan Timur Tengah.
Layak Diteladani
Dari R. Soeprapto, kita belajar, bahwa pendidikan formal bukan jaminan seseorang tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Meskipun tidak pernah bergelar Meester in de Rechten (disingkat Mr.) atau sarjana hukum (SH), berhasil menjadi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (1951-1959). Karena belum berstatus menteri, maka jabatan Jaksa Agungnya itu merupakan puncak karier pegawai tinggi dengan pangkat tituler Letnan Jenderal. sebagai Jaksa Agung, dia sukses bahkan kariernya sangat gemilang dan tanpa tanding! Hingga akhir hayatnya, dia tidak mengejar formalitas kependidikan. Sebab, itu menurutnya tidak penting. Walaupun demikian, pada masa jabatannya, secara berangsur-angsur mulai ada penambahan jaksa-jaksa dengan tenaga muda lulusan universitas dan sekolah pendidikan Jaksa.
Dari R. Soeprapto sang Jaksa Agung putera Trenggalek ini, kita banyak belajar sikap-sikap adiluhung dan watak yang teguh dalam prinsip menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan terhadapnya. Ia dicintai dan mencintai bawahannya. Ia disegani oleh kalangan yang mau mempermainkan hukum. Tidak pernah menomor-satukan siapapun di negeri ini, baginya semua warga negara adalah sama di mata hukum. Tidak pernah takut dan tidak pernah menyesal untuk menetapkan keputusan yang diyakininya benar dan berpijak pada peraturan-perundangan. Kendati, untuk itu dia harus berhadapan dengan presiden yang telah mengangkatnya menjadi Jaksa Agung. (dari berbagai sumber, antara lain: rsoeprapto.com dan wikipedia).
SK tersebut diterbitkan tanggal 22 Juli 1967, pada hari Ulang Tahun Kejaksaan ke-7 (1960-1967), ditandatangani oleh Jaksa Agung Soegih Arto –Mayor Jenderal– TNI. Dikirimkan ke Presidium kabinet Ampera, Kantor Urusan Pegawai dan pejabat structural Kejaksaan se-Indonesia.
Patung ini menjadi saksi prestasi seorang Jaksa Agung Ke-IV di Bumi Pertiwi. Jaksa Agung yang tekun, berani, cerdas dan tegas tidak pandang bulu serta anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Selain memprakarsai pendirian patung pendahulunya itu, Jaksa Agung Soegih Arto juga menghidupkan kembali perwakilan kejaksaan di luar negeri, yakni di Singapura, Hongkong, Bangkok, Tokyo, dan Jeddah. Perwakilan tersebut pertama kali dirintis oleh Jaksa Agung R.
Soeprapto namun sempat dihentikan oleh Presiden Soekarno atas saran Menteri Luar Negeri Subandrio. Penghapusannya terlebih dulu harus menunggu pemberhentian R. Soeprapto. Sebab, ketika R. Soeprapto masih menjabat Jaksa Agung, rencana itu pernah dikemukakan oleh Presiden Soekarno, tetapi R. Soeprapto dengan tegas menolak. Bahkan R. Soeprapto juga menolak datang ke Istana untuk serah terima jabatan, dikarenakan pemberhentian atas
jabatannya tidak lebih dulu diketahuinya, R.Soeprapto hanya mendengar di siaran RRI pada saat dia tengah menengok orang tuanya di Yogya saat itu. Dia diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959.
Siapakah R. Soeprapto?
R. Soeprapto, lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 27 Maret 1897 – meninggal di Jakarta, 2 Desember 1964 pada umur 67 tahun, adalah Jaksa Agung pada tahun 1951 hingga 1959. Ia mengawali kariernya sebagai hakim diberbagai daerah, meskipun ia tak sempat meraih gelar akademis (MR. atau SH) namun sepak terjangnya di dunia penegakan hukum membuktikan kepiawaian dan ketegasan yang terpuji dan berani.
Seperti layaknya keturunan priyayi zaman sebelum perang, Soeprapto biasa saja encantumkan gelar R. (Raden) di depan namanya. Karena ayahnya, Hadiwiloyo-pun memang bergelar Raden pula, yang ketika Soeprapto lahir, 27 Maret 1897, sang ayah sedang bertugas sebagai controlleur pajak di Trenggalek, Jawa Timur.
Soeprpato menamakan ELS (Europesche Lagere School – Sekolah Dasar untuk bangsa ropa) tahun 1914. Masa itu, status ELS lebih bergengsi daripada HIS yang sama-sama Sekolah Dasar. Kemudian Soeprapto remaja melanjutkan studinya ke Sekolah Hakim di Batavia, tamat 1920 menyandang predikat "tiga besar". Teman-teman seangkatannya di Sekolah Hakim (R.S – Rechtschool, 6 tahun), antara lain Wongsonegoro, Isqak dan Mas Soemardi. Dua nama tadi pernah menjabat menteri di zaman kabinet Parlementer.
Tidak seperti Wongsinegoro dan Isqak, yang sempat melanjutkan studinya ke Universitas Leiden bagian hukum, Soeprapto memilih langsung bekerja saja. Untuk pertama kali, ia ditempatkan di Landraaad (Pengadilan untuk kaum Bumi Putera) Tulungagung dan Trenggalek. Zaman itu, bagi lulusan tiga besar, diperbolehkan memilih tempat bekerja. Dan, Soeprpato yang cerdas, tekun, dan patuh itu memilih di kota kelahirannya Trenggalek untuk mengawali karirnya di pengadilan.
Pada zaman penjajahan Belanda itu hakim Soeprapto berpindah-pindah tempat tugas. Sebelum pendudukan Jepang, ia pindah dari Trenggalek ke Surabaya, Semarang, Demak, Purworejo, Bandung, Banyuwangi, Singaraja, Denpasar sampai Mataram – Lombok. Selama empat tahun, 1937-1941 hakim Soeprapto menjabat Kepala Landraad Cirebon-Kuningan, terus ke Salatiga-Boyolali, balik Banyuwangi menjadi Pengawas Hukum di Keresidenan Besuki. Ketika Jepang datang Maret 1942, Soeprapto menjabat Kepala Pengadilan Keresidenan Pekalongan.
Selepas proklamasi kemerdekaan Indonesia dan ibukota RI pindah ke Yogyakarta hingga memperoleh kedaulatan pada 27 Desember 1949, Soeprapto tetap bekerja di pengadilan Keresidenan Pekalongan. Hingga Indonesia kembali lagi ke Jakarta pada tahun 1950, Soeprapto yang berkarier di kehakiman sejak 1920, mulai memasuki kamar penuntut umum. Atas jasa-jasa dan perjuangannya menegakkan citra kejaksaan, R. Soeprapto ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan Republik Indonesia.
Berani Karena Benar
Diberhentikan dengan hormat oleh Presiden Soekarno, pada tanggal 1 April 1959. Dalam buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan (1945-1985), pemberhentian ini merupakan ekor yang tidak sedap dari kasus peradilan Jungschläger dan Schmidt yang ditangkap pada tahun 1954. Awal peristiwanya, setelah tuduhan terhadap Leon Nicolaas Hubert Jungschläger gugur demi hukum, karena yang bersangkutan meninggal dunia, maka tinggallah Schmidt yang diadili. Oleh Pengadilan Negeri Jakarta, Schmidt dijatuhi hukuman seumur hidup, di tahun 1958. Terpidana ini mengajukan banding, dan Pengadilan Tinggi Jakarta memutus lebih ringan, 5 tahun, dipotong masa tahanan. Karena Schmidt sudah menjalani hukuman 5 tahun, Pengadilan tinggi membebaskannya. Karena Kejaksaan Agung tidak mengajukan permohonan kasasi, maka Jaksa Agung memerintahkan eksekusi.
Dendam rakyat yang tidak suka pada orang Belanda pemberontak ini, menurut Jaksa Agung Soeprapto menjadi pertimbangan untuk memulangkan Schmidt ke negerinya. Menurut buku Sejarah Kejaksaan Agung, kesalahan R. Soeprapto sebagai jaksa agung tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Menteri Kehakiman, G.A. Maengkom. Ini dikecam keras oleh partai-partai politik dan tidak dapat diterima oleh Pemerintah. Kejadian di awal 1959 ini, agaknya merepotkan Jaksa Agung R. Soeprapto. Tapi, menurut (Alm) Ny. Soeprapto kepada Forum Keadilan. “Sebenarnya perintah eksekusi Schmidt itu telah disetujui oleh Maengkom".
Soeprapto bersama keluarga sedang berada di Yogya ketika mendengar siaran RRI yang menyiarkan tentang akan digantikannya Jaksa Agung, Soeprapto melihat “Pemerintah dan Bung Karno sudah tidak proporsional lagi,” kata Soeprapto seperti ditirukan istrinya.
Sekembalinya ke Jakarta, Jaksa Agung yang tegar ini menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak mau minta maaf. Ia menolak menarik kembali tindakan yang beliau yakini benar, baik secara hokum maupun hirarki. Apalagi untuk bergabung dengan politisi, hanya sekedar untuk mempertahankan jabatannya. Sekembalinya ke Jakarta, Jaksa Agung yang tegar ini menolak hadir di Istana dalam acara serah terima jabatan. Ia tidak mau minta maaf. Ia menolak menarik kembali tindakan yang ia yakini benar, baik secara hukum maupun hirarki. Apalagi untuk bergabung dengan politisi, hanya sekedar untuk mempertahankan jabatannya.
Contoh keteladanan R. Soeprapto lainnya yang patut dijadikan cermin, adalah ketegasannya ketika pada 13 Agustus 1955, memerintahkan menahan Djodi Gondokusumo yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo karena perbuatan korupsi, penangkapan dilakukan oleh Polisi Militer atas perintahnya sebagai Jaksa Tentara Agung.
Proses peradilan menjadi “sengit” karena aparat Kejaksaan Agung dan kehakiman harus berhadapan dengan bekas atasan, selain sebagai Menteri Kehakiman, Djody juga politisi PRN. Angkatan Darat menyatakan bahwa tindakan CPM menberantas korupsi tidak berdasar sentimen. Saat itu Soeprapto terus koordinasi dengan Perdana Menteri Mr. Burhanuddin Harahap, Kepala Kepolisian Soekanto, juga memimpin pertemuan Kejaksaan Agung, CPM, DPKN Pusat, Jawatan Kepolisian Negara, Kejaksaan Jakarta, dan JRP Jaksa Agung Muda Abdul Moethalib Moro.
Di sisi lain, PRN dan Pemuda Nasional menyatakan tindakan Soeprapto hanya ditujukan terhadap suatu partai atau golongan dan bermuatan politis. Namun Soeprapto menanggapi bahwa pemeriksaan wajib dilakukan pada siapa pun yang dianggap berbuat salah dan kepentingan negara harus diutamakan dibanding kepentingan lainnya seperti partai dan golongan.
Djody Gondokusumo didakwa dua tuduhan. Primair, memberi visa permanen Bong Kim Tjhong tanpa perduli keberatan diajukan Kepala Kepolisian Negara dalam suratnya tertanggal 16/12/1954 No.E3518/2146-54. Subsidair, menerima hadiah sebesar Rp.40.000 yang dianggap sebagai pelicin agar visa tersebut lulus. Perbuatan ini dapat dihukum menurut, Pasal 419 subsidair 418 KUHP.
Tanggal 2 Januari 1956, Hakim Ketua Mr. Satochid Kartanegara memvonis satu tahun penjara potong masa tahanan, atas tuduhan subsidair, pihak Pembela mengajukan grasi. Tanggal 19 Juli 1956, Presiden meluluskan grasi dengan mengurangi masa tahanan jadi enam bulan. Sebelum vonis MA jatuh, terpidana sudah menjalani penahanan lima bulan, maka harus menjalani penahanan selama satu bulan. Sehari kemudian, Mr. Djody Gondokusumo menjalani hukuman di penjara Cipinang.
Sebagai pegawai yang pejuang dengan dedikasi tinggi, cerdas, tekun, dan ulet, tidak ada dalam kamus Soeprapto untuk mempolitikkan jabatannya, demi ideologi atau kepentingan apapun selain Pancasila dan UUD yang berlaku, pada kala itu yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar Sementara (UUD-S 1950). R. Soeprapto dengan watak kebapakannya, telah memberikan sebagian besar perjalanan usianya untuk penegakan hukum di negeri ini. Ia buktikan dari tahun 1920 sampai 1958, dalam zaman kolonial, pendudukan militer Jepang dan RI dalam berbagai cuaca politik yang sering berganti. R. Soeprapto, akhirnya menutup mata pada tanggal 2 Desember 1964 di Jakarta, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tanpa Bandang Bulu
Apa yang kita dapat dari perjalanan karier dan hidup R. Soeprapto? Banyak! Dia-lah yang berani memanggil sekian menteri dan sejumlah jenderal untuk diperiksa. Dia pula-lah yang turun sendiri menuntut Sultan Hamid – Menteri Negara semasa Kabinet Natsir – karena pemberontakan bersama Westerling. Dalam zaman parlementer dan jaksa agung di bawah menteri kehakiman, Soeprapto justru berani memanggil menteri atau jenderal yang melanggar hukum. Dari sekian keberanian yang paling top dan belum pernah terjadi selama ini: R. Soeprapto adalah satu-satunya jaksa agung yang menolak dipanggil ke istana untuk serah-terima jabatan.
Pada periode awal pulihnya kedaulatan, tercatat kerawanan politik, keamanan dan keuangan negara. Banyak gerakan separatis yang muncul. Sebut saja peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), Sultan Hamid, Andi Aziz-RMS, DI/TII dan PRRI/Permesta. Di ibukota, tentara yang tidak puas terhadap tingkah laku politisi dan Bung Karno “ikut campur dan memihak dalam pergolakan Angkatan Darat” melakukan “kudeta” ke Istana Presiden. Untuk semuanya itu, Jaksa Agung R. Soeprapto tidak segan memanggil, memeriksa dan turun menuntut sendiri kepda siapa saja yang tersangkut kasus itu.
Pemerikasaan pertama dilakukan terhadap Menteri Negara Sultan Hamid. Sampai di persidangan, yang majelis hakimnya diketuai Ketua Mahkamah Agung, Mr. wirjono Prodjodikoro, tampil Jaksa Agung, R. Soeprapto sebagai penuntut umum. Hasilnya, Sultan Hamid yang pro Belanda dijatuhi hukuman 10 tahun dari tuntutan 18 tahun potong masa tahanan. Karena peradilan ini menganut asas forum privilegiatum, maka tidak dikenal banding dan kasasi. Itu putusan jatuh 8 April 1953, dengan mempergunakan pasal-pasal KUHP.
Selama berlangsung pengadilan Sultan Hamid, Jaksa Agung R. Soeprapto juga disibukkan memeriksa Jenderal Abdul Haris Nasution dan anak-buahnya. Seperti Kemal Idris (yang pernah menjadi duta besar dan mantan Pangkostrad), dan beberapa perwira lainnya.
Kewenangan ini dimungkinkan, karena jaksa agung adalah penuntut umum tertinggi, termasuk dalam lingkup peradilan ketentaraan, berdasar UU no.6/1950. UU ini kemudian diadakan perubahan, yakni jaksa tentara tidak dapat menyerahkan berkas perkara tanpa persetujuan komandan tentara yang bersangkutan. Masa itu banyak jaksa di oditurat militer diisi oleh jaksa sipil dengan diberi pangkat militer tituler. Atas dasar UU No.6/1950 ini pula, R. Seoprapto merangkap sebagai Jaksa Agung Militer. Beliau diberi pangkat letnan jenderal, seperti diatur dalam PP. no. 24/1950.
Selama diperiksa oleh R. Soeprapto -sang Putera Trenggalek, Jenderal Nasution dan Kemal Idris, dikenakan tahanan rumah dan kota. Hasilnya, Pak Nas dicopot dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD). Tiga tahun kemudian, 1955, Jenderal Nasution diangkat kembali menjadi KASAD dan “berbulan madu” dengan Bung Karno. Bahkan tahun 1959 dalam pembentukan Kabinet Karya I, Nasution ikut menyusun kabinet yang menempatkan jaksa agung di bawah Koordinasi Menteri Bidang Keamanan, dengan Jenderal Nasution sebagai Menteri Bidang keamanan. Waktu kabinet ini terbentuk, Soeprapto baru beberapa bulan diberhentikan dari jabatannya sebagai Jaksa Agung.
Selepas Pemilu pertama (1955) PKI muncul sebagai lima besar. Bersama Bung Hatta dan orang-orang yang tidak suka komunis, R. Soeprapto sudah memperingatkan Bung Karno. Agaknya mulai masa itu, “Pak Prapto lebih dekat dengan Bung Hatta daripada Bung karno,” demikian cerita Ny. R. Soeprapto.
Dalam era kabinet parlementer ini, kendati jaksa agung di bawah koordinasi Menteri Kehakiman, tapi dalam setip rapat kabinet atau acara kenegaraan lainnya, tempat duduk jaksa agung dekat dengan Presiden. Biasanya yang dekat dengan Presiden – di samping Wakil Presiden dan Perdana Menteri – adalah Meneteri Luar Negeri, Pertahanan dan Keamanan, Dalam Negeri dan Jaksa Agung.
Kekurang-dekatannya dengan Bung Karno, selain tidak suka terhadap komunis yang ingin mempengaruhi jalan penegakan hukum, juga merasa dihalangi sewaktu memeriksa Mr. Isqak dan Ruslan Abdulgani. Waktu itu, Soeprapto diminta Presiden Soekarno agar pemeriksaan terhadap Ruslan tidak diteruskan. Tapi, Jaksa Agung tidak menerima permintaan itu. Pemeriksaan berjalan terus, dan di Pengadilan Negeri Jakarta Cak Roeslan (pernah menjabat Ketua P-7) yang mantan Menteri Luar Negeri dan Penerangan itu, dijatuhi hukuman denda karena tindak pidana ekonomi (cek kosong).
Dalam pemeriksaan terhadap Mr. Isqak Tjokrohadisuro (Menteri Kemakmuran), selain tekanan dari Bung Karno, juga istri Isqak menemui Soeprapto di rumah Jalan Imam Bonjol. Entah apa yang dirasakan Soeprapto, karena Mr. Isqak adalah teman sekolahnya dulu di Rectschool (RS, 1920) yang lulusnya juga bersamaan. Tetapi, sekali saja Soeprapto menolak permintaan Bung Karno maka biasanya Bung Karno segan mengulangi.
“Barangkali Bung Karno merasa sungkan, karena lebih muda ketimbang bapak. “ ujar isterinya. Memang, Bung Karno 4 tahun lebih muda. Diantara pejabat dan para tokoh nampaknya R. Soeprapto dan Mr. Isqak bersaing tertua. Di tahun 1951, bung Karno berusia 50 tahun, sedangkan Soeprapto dan Mr. Isqak berusia 55 dan 56 tahun.
Terhadap delict pers yang menuduh Asa Bafagih membocorkan rahasia negara, Jaksa Agung R. Soeprapto malah mendeponir perkara itu. Alasannya, karena belum jelas apa yang dimaksud dengan rahasia negara yang dibocorkan Asa Bafagih. Jaksa Agung tidak beralasan demi ketertiban atau yang berbau politik. Pemeriksaan terhadap Asa Bafagih diprotes segenap wartawan, buruh percetakan dan akademisi pers. Itu kejadian di tahun 1953, ketika R. Soeprapto baru dua tahun menjabat Jaksa Agung.
Selain menangani perkara menteri dan jenderal, Jaksa Agung asli Trenggalek ini ternyata juga “dekat“ dengan garong. Di awal proklamasi dulu, Kutil memilih mengungsi bersama pak Hakim Soeprapto, tanpa ada dendam atau khawatir dibunuh tentara. Begitu-pun, para garong yang berafiliasi dengan gerombolan DI, minta dengan hormat “Jika tidak diperiksa Pak Prapto, kami tidak akan menyerah!”. Maksudnya, mereka hanya mau menyerah apabila yang memeriksa mereka adalah R. Soeprapto, sebab mereka sangat yakin Soeprapto adalah penegak hukum yang adil dan bersih.
Suatu ketika pernah gerombolan garong (sekitar 15 orang) menyerah dan diperiksa kejaksaan. Supaya mereka merasa aman dan yang memeriksa Pak Prapto sendiri, para garong ini di “simpan” di rumah dinas Jaksa Agung. Keluarga Soeprapto juga memberikan fasilitas berolahraga agar mereka punya kesibukan selama dalam tahanan di rumah dinas. Tapi, setelah sekian minggu Bu Prapto merasa tidak enak –bukan karena omongan orang- tapi ibu empat anak ini memergoki para garong justru berusaha mengintip ruangan lain di rumah itu, terpaksalah, para garong ini diserahkan kepada polisi.
Saat R Soeprapto menjabat Jaksa Agung, negara sedang dirongrong oleh berbagai kemelut politik dan ketidakstabilan pemerintahan. Beberapa staf perwakilan Kejaksaan ditempatkan di perwakilan RI di luar negeri, seperti di Singapura, Hongkong, Bangkok, Manila, Tokyo dan Jeddah/Kairo. Hal ini terkait dengan kepentingan nasional Indonesia, khususnya di bidang keamanan. Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum tertinggi dan Kepala Kepolisian Yustisial, baik represif maupun preventif sudah seharusnya mengetahui segala peristiwa dan perkembangan masyarakat dalam segala bidang. Penempatan perwakilan Kejaksaan di luar negeri tersebut dimaksudkan agar Jaksa Agung senantiasa memperoleh informasi dan pengetahuan yang lengkap tentang situasi dan kondisi negara-negara di Asia dan Timur Tengah.
Layak Diteladani
Dari R. Soeprapto, kita belajar, bahwa pendidikan formal bukan jaminan seseorang tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya. Meskipun tidak pernah bergelar Meester in de Rechten (disingkat Mr.) atau sarjana hukum (SH), berhasil menjadi Jaksa Agung pada Mahkamah Agung (1951-1959). Karena belum berstatus menteri, maka jabatan Jaksa Agungnya itu merupakan puncak karier pegawai tinggi dengan pangkat tituler Letnan Jenderal. sebagai Jaksa Agung, dia sukses bahkan kariernya sangat gemilang dan tanpa tanding! Hingga akhir hayatnya, dia tidak mengejar formalitas kependidikan. Sebab, itu menurutnya tidak penting. Walaupun demikian, pada masa jabatannya, secara berangsur-angsur mulai ada penambahan jaksa-jaksa dengan tenaga muda lulusan universitas dan sekolah pendidikan Jaksa.
Dari R. Soeprapto sang Jaksa Agung putera Trenggalek ini, kita banyak belajar sikap-sikap adiluhung dan watak yang teguh dalam prinsip menjalankan tugas-tugas yang diamanatkan terhadapnya. Ia dicintai dan mencintai bawahannya. Ia disegani oleh kalangan yang mau mempermainkan hukum. Tidak pernah menomor-satukan siapapun di negeri ini, baginya semua warga negara adalah sama di mata hukum. Tidak pernah takut dan tidak pernah menyesal untuk menetapkan keputusan yang diyakininya benar dan berpijak pada peraturan-perundangan. Kendati, untuk itu dia harus berhadapan dengan presiden yang telah mengangkatnya menjadi Jaksa Agung. (dari berbagai sumber, antara lain: rsoeprapto.com dan wikipedia).
2 Komentar:
Wah pemimpin seperti itu yg kita butuhkan untuk negara kita, gak cuma berani doank kaya yg sekarang di TV-TV tapi juga punya jiwa anti KKN... percuma klo cuma bisa ngomong doank... :P
Semangat n Met aktivitas Sob.. maaf nie lama gak kesini hhe..
@ Ferdinand : Betul, Bro... R. Soeprapto memang tokoh anti KKN nan berani, tegas dan layak ditauladani. Thanks sudah shared di sini. God bless you, Guys.
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".