Barangkali banyak generasi muda daerah ini yang belum mengetahui bahwa ada tokoh nasional yang berasal dari Trenggalek. Dahulu daerah Trenggalek, tidak terlihat di peta namun kiprah para pemuda Trenggalek terukir dalam sejarah nasional. Di antara mereka sebut saja R. Soeprapto dan Suprijadi.
R. Soeprapto (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 27 Maret 1897 – meninggal di Jakarta, 2 Desember 1964 pada umur 67 tahun) adalah Jaksa Agung pada tahun 1951 hingga 1959. Ia mengawali kariernya sebagai hakim diberbagai daerah, meskipun ia tak sempat meraih gelar akademis (MR. atau SH) namun sepak terjangnya di dunia penegak hukum membuktikan kepiawaian dan ketegasan yang terpuji terutama ketegasan sikapnya yang anti korupsi. Berkat kiprahnya dalam penegakan hukum, maka dengan SK Jaksa Agung ke IX Soegiharto, No KEP-061/D.A/1967, R Soeprapto kemudian ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan.
R. Soeprapto (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 27 Maret 1897 – meninggal di Jakarta, 2 Desember 1964 pada umur 67 tahun) adalah Jaksa Agung pada tahun 1951 hingga 1959. Ia mengawali kariernya sebagai hakim diberbagai daerah, meskipun ia tak sempat meraih gelar akademis (MR. atau SH) namun sepak terjangnya di dunia penegak hukum membuktikan kepiawaian dan ketegasan yang terpuji terutama ketegasan sikapnya yang anti korupsi. Berkat kiprahnya dalam penegakan hukum, maka dengan SK Jaksa Agung ke IX Soegiharto, No KEP-061/D.A/1967, R Soeprapto kemudian ditetapkan sebagai Bapak Kejaksaan.
Siapa Tidak Kenal Suprijadi?
Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 – meninggal tahun 1945?!) adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Suprijadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Sesudah menamatkan ELS (setingkat Sekolah Dasar), Suprijadi melanjutkan pendidikannya ke MULO (setingkat Sekolah Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang sampai Jepang mendarat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, Suprijadi memasuki Sekolah Menengah Tinggi. Sesudahnya, ia mengikuti Latihan Pemuda (Seinendoyo) di Tangerang.
Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan Tentara Sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut. Sementara dalam PETA, Jepang mejanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, dengan slogan "Indonesia Akan Merdeka".
Suprijadi mengikuti pendidikan PETA dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia sering bertugas mengawasi para romusya membangun bendungan dan benteng-benteng pertahanan dipantai selatan. Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya. Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin. Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit. Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu. Dengan beberapa orang temanya,ia merencanakan pemberontakan melawan jepang. Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat,namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan dilancarkan dinihari tanggal 14 februari 1945,di Daidan Blitar. Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak. Karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang. Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer Jepang. Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili, bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Dari sini ada kemungkinan ia sudah di bunuh Jepang pada waktu tertangkap. Kendati demikian sampai saat ini tidak diketahui dimana makam Suprijadi.
Merah Putih Berkibar 14 Februari 1945
Pemberontakan PETA Blitar pecah pada 14 Februari 1945. Sedianya, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke Tuban dipulangkan ke kotanya masing-masing. Rencana pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi kekecewaan para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap menjumpai tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi, sementara dalam latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan diskriminasi, seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski pangkatnya lebih rendah.
Suprijadi yang menjadi motor rencana pemberontakan, hanya seorang Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan kompi) Tjiptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun, tiada seorang pun yang memungkiri bahwa inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan Suprijadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham.
Syahdan pada 9 Februari 1945, Suprijadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan Bendo (Mungkinkah mbah Kasan ini berasal dari Desa Bendo, Kecamatan Pogalan, sehingga berjuluk Mbah Kasan Bendo?). Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4 bulan. "Tapi kalau Ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia," begitulah kira-kira kalimat Mbah Kasan Bendo.
Pesan itu disampaikan Suprijadi kepada rekan-rekannya. Kemudian Suprijadi menemui pimpinan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), Soekarno untuk minta persetujuan, namun gagal mendapat restu Soekarno. Suprijadi lalu mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono.
Rapat tersebut memutuskan pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Suprijadi dan rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan di Blitar ada satu gerbong anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Suprijadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
Rabu dini hari, tanggal 14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Pekik heroik dan semangat anti Jepang berkobar. Hotel berhasil direbut dan tentara PETA menurunkan slogan "Indonesia Akan Merdeka" (janji propaganda Jepang) lalu menggantinya dengan spanduk "Indonesia Sudah Merdeka!", Sang Saka Merah putih juga dikibarkan.
Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan “anjing-anjing” Nippon serta membebaskan tawanan dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Suprijadi Muksa (Raib) di Ngancar
Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Suprijadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana. Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi pasukan Suprijadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Di Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat, yakni:
Katagiri menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan samurai perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar. Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Suprijadi terakhir kali terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan bisa diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun berkembang juga isu bahwa ia sengaja melarikan diri. Mungkin ia memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.
Jika itu yang ia rasakan, Suprijadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku sesuai hukum militer. Hasil negosiasi menetapkan, 78 tentara PETA pemberontak diberangkatkan ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Sidang militer memvonis sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6 orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana dengan Suprijadi? Sejak ia menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali. Suprijadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia. Apa benar Suprijadi telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini. Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze. Tapi jelas beda dengan Misteri Supersemar.
Misteri Suprijadi
Dalam upaya mencoba mengundang kemunculan Suprijadi, tokoh pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945, Bung Karno telah sepakat dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk mengangkat Suprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakjat (Menteri Pertahanan RI) dalam Kabinet Pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi kemudian pada 20 Oktober 1945, karena Suprijadi tidak pernah muncul juga, Presiden Soekarno mengangkat Soeljadikoesoemo sebagai Menteri Keamanan Rakjat ad-interm (sementara). Bahkan hingga suatu ketika diadakan konferensi TKR yang menghasilkan Kolonel Sudirman menjadi Panglima Besar TKR dan berhak menyandang pangkat Jenderal, Suprijadi tetap saja tidak nampak kehadirannya.
Kemana Suprijadi? Ada beberapa versi yang menyatakan keberadaan tokoh kelahiran Trenggalek ini, Suprijadi pasca pemberontakan PETA di Blitar.
Suprijadi (lahir di Trenggalek, Jawa Timur, 13 April 1923 – meninggal tahun 1945?!) adalah pahlawan nasional Indonesia, pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai menteri keamanan rakyat pada kabinet pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi digantikan oleh Soeljadikoesoemo pada 20 Oktober 1945 karena Suprijadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Suprijadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Sesudah menamatkan ELS (setingkat Sekolah Dasar), Suprijadi melanjutkan pendidikannya ke MULO (setingkat Sekolah Pertama), kemudian memasuki Sekolah Pamong Praja di Magelang sampai Jepang mendarat di Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang, Suprijadi memasuki Sekolah Menengah Tinggi. Sesudahnya, ia mengikuti Latihan Pemuda (Seinendoyo) di Tangerang.
Pada bulan Oktober 1943, Jepang membentuk Tentara Pembela Tanah Air (PETA). PETA dibentuk dengan tujuan untuk memberikan latihan kemiliteran kepada pemuda-pemuda Indonesia. Mereka selanjutnya akan dipakai untuk membantu Jepang menahan serbuan Tentara Sekutu. Tetapi, tokoh-tokoh pergerakan nasional berhasil menanamkan perasaan kebangsaan di kalangan pemuda-pemuda tersebut. Sementara dalam PETA, Jepang mejanjikan kemerdekaan bagi Indonesia, dengan slogan "Indonesia Akan Merdeka".
Suprijadi mengikuti pendidikan PETA dan sesudah itu diangkat menjadi Shodanco di Blitar. Ia sering bertugas mengawasi para romusya membangun bendungan dan benteng-benteng pertahanan dipantai selatan. Ia menyaksikan bagaimana sengsaranya para romusya. Makanan kurang dan kesehatan tidak terjamin. Banyak diantaranya yang meninggal dunia karena sakit. Suprijadi tidak tahan melihat keadaan itu. Dengan beberapa orang temanya,ia merencanakan pemberontakan melawan jepang. Walaupun menyadari bahwa waktu itu Jepang sangat kuat,namun ia tetap berniat untuk melakukan perlawanan.
Pemberontakan dilancarkan dinihari tanggal 14 februari 1945,di Daidan Blitar. Jepang sangat terkejut mendengar perlawanan tersebut. Mereka mengerahkan kekuatan yang besar untuk menangkap anggota-anggota pasukan Peta Blitar. Selain itu,dilakukan pula siasat membujuk beberapa tokoh pemberontak. Karena kurang pengalaman dan kekuatan tidak seimbang pemberontakan itu ditindas Jepang. Tokoh-tokoh pemberontak yang tertangkap,diadili dalam mahkamah militer Jepang. Ada yang dihukum mati dan ada pula yang dipenjara. Suprijadi tidak ikut diadili, bahkan namanya tidak disebutkan dalam sidang pengadilan. Dari sini ada kemungkinan ia sudah di bunuh Jepang pada waktu tertangkap. Kendati demikian sampai saat ini tidak diketahui dimana makam Suprijadi.
Merah Putih Berkibar 14 Februari 1945
Pemberontakan PETA Blitar pecah pada 14 Februari 1945. Sedianya, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke Tuban dipulangkan ke kotanya masing-masing. Rencana pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi kekecewaan para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap menjumpai tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi, sementara dalam latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan diskriminasi, seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski pangkatnya lebih rendah.
Suprijadi yang menjadi motor rencana pemberontakan, hanya seorang Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan kompi) Tjiptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun, tiada seorang pun yang memungkiri bahwa inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan Suprijadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham.
Syahdan pada 9 Februari 1945, Suprijadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan Bendo (Mungkinkah mbah Kasan ini berasal dari Desa Bendo, Kecamatan Pogalan, sehingga berjuluk Mbah Kasan Bendo?). Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4 bulan. "Tapi kalau Ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia," begitulah kira-kira kalimat Mbah Kasan Bendo.
Pesan itu disampaikan Suprijadi kepada rekan-rekannya. Kemudian Suprijadi menemui pimpinan Poetera (Poesat Tenaga Rakjat), Soekarno untuk minta persetujuan, namun gagal mendapat restu Soekarno. Suprijadi lalu mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono.
Rapat tersebut memutuskan pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati. Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Suprijadi dan rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan di Blitar ada satu gerbong anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Suprijadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.
Rabu dini hari, tanggal 14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Pekik heroik dan semangat anti Jepang berkobar. Hotel berhasil direbut dan tentara PETA menurunkan slogan "Indonesia Akan Merdeka" (janji propaganda Jepang) lalu menggantinya dengan spanduk "Indonesia Sudah Merdeka!", Sang Saka Merah putih juga dikibarkan.
Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan “anjing-anjing” Nippon serta membebaskan tawanan dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.
Suprijadi Muksa (Raib) di Ngancar
Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Suprijadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana. Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi pasukan Suprijadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. Di Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat, yakni:
- Mempercepat kemerdekaan Indonesia
- Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya.
- Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar takkan dimintai pertanggungjawaban.
Diorama saat Katagiri menyerahkan Samurainya |
Jika itu yang ia rasakan, Suprijadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku sesuai hukum militer. Hasil negosiasi menetapkan, 78 tentara PETA pemberontak diberangkatkan ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Sidang militer memvonis sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6 orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.
Bagaimana dengan Suprijadi? Sejak ia menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali. Suprijadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia. Apa benar Suprijadi telah gugur? Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini. Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze. Tapi jelas beda dengan Misteri Supersemar.
Misteri Suprijadi
Dalam upaya mencoba mengundang kemunculan Suprijadi, tokoh pemberontakan PETA di Blitar pada 14 Februari 1945, Bung Karno telah sepakat dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk mengangkat Suprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakjat (Menteri Pertahanan RI) dalam Kabinet Pertama Indonesia, Kabinet Presidensial, tapi kemudian pada 20 Oktober 1945, karena Suprijadi tidak pernah muncul juga, Presiden Soekarno mengangkat Soeljadikoesoemo sebagai Menteri Keamanan Rakjat ad-interm (sementara). Bahkan hingga suatu ketika diadakan konferensi TKR yang menghasilkan Kolonel Sudirman menjadi Panglima Besar TKR dan berhak menyandang pangkat Jenderal, Suprijadi tetap saja tidak nampak kehadirannya.
Kemana Suprijadi? Ada beberapa versi yang menyatakan keberadaan tokoh kelahiran Trenggalek ini, Suprijadi pasca pemberontakan PETA di Blitar.
- Sumber pertama, artikel dari Majalah Vidya Yudha kepunyaan Dinas Sedjarah Angkatan Darat No 12 Tahun III/1971 yang ditulis oleh Mayor Soebardjo. Di halaman 55 disebutkan tentang hipotesa tentang gugurnya Suprijadi:
Berdasar pamitan Suprijadi terhadap ibundanya beberapa hari sebelum peristiwa Pemberontakan PETA, apabila dirinya dalam waktu 3-5 tahun tidak kembali maka itu adalah tanda bahwa dirinya telah meninggal/gugur.
Pada tanggal 26 Januari 1947 saat Mojokerto jatuh ke tangan Belanda, Seorang bekas pembantu Kempetai (Kempeiho) yang sedang melakukan pengunduran pasukan ke daerah Pacet menceritakan kepada Lt Sasmita bahwa Suprijadi tewas di Gunung Wilis.Sang bekas Kempeiho bercerita bahwa sepasukan Jepang dan Kempeiho berhasil menyergap Suprijadi ketika sedang minum air.Sayang sang bekas Kempeiho sampai sekarang tidak diketahui namanya karena Lt Sasmita tidak sempat menanyakan nama sang Kempeiho tersebut karena adanya serangan Belanda pada saat itu. - Sumber Kedua, Buku berjudul Catatan Kisah Perjuangan TP (Tentara Pelajar) Solo : Merdeka atau Mati Bagian II Terbitan Yayasan Al Qalam Jakarta 1983 Halaman 22 dan seterusnya. Kejadian diperkirakan setelah tanggal 30 Desember 1948.
Dikisahkan tentang dua orang anggota TP yang bernama Jacob Mardjadi dan Moeljadi Ohoek yang ditugaskan untuk menyusup sebagai mata-mata masuk ke kota Solo.Di daerah Bumi, kedua orang tersebut bertemu seseorang yang merasa kenal kepada Moeljadi Ohoek bahwa Moeljadi Ohoek adalah murid Taman Dewasa.Seseorang tersebut dikenal juga oleh Moeljadi Ohoek. Sang pria misterius ini memberi nasehat kepada dua anggota TP tadi agar berhati-hati di dalam kota karena penyamaran mereka kelihatan sekali, padahal di kota banyak mata-mata Belanda. Pria misterius itu juga mengatakan bahwa dirinya telah berada di Solo selama satu minggu untuk melakukan pencarian terhadap teman-temannya, tapi tidak bertemu karena ternyata teman dari pria misterius itu telah pergi dari Kota Solo. Setelah keadaan aman, Moeljadi Ohoek pun menerangkan kepada Jacob bahwa pria misterius tersebut adalah Suprijadi tokoh PETA yang memberontak di Blitar.Alasannya: Moeljadi Ohoek pernah bertemu Suprijadi dalam pertemuan atau rapat khusus di Sekolah Taman Dewasa sewaktu pendudukan Jepang. Rapat khusus itu hanya diikuti oleh pengurus PPTS (Persatuan Pemuda Taman Siswa) Solo ditambah beberapa murid senior. - Sumber berikutnya, Buku Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan : Seri Pemberontakan Peta Blitar, terbitan Departemen Sosial tahun 1978. Di halaman 74-76.
- Menurut Harjomiarso, Kades Sumberagung, Blitar pada jaman pendudukan Jepang. Beliau pernah menyembunyikan Suprijadi selama beberapa hari di Sumberagung.
- Menurut Ronomejo, Kamituwo Desa Ngliman, Nganjuk. Saat memimpin rombongan Romusha di Gunung Cemarakandang Nganjuk pernah menyembunyikan Suprijadi di sebuah gua di dekat air terjun Sedudo, Ngliman, Nganjuk. Kemudian Ronomejo mengantar ayah Suprijadi yang bernama Darmadi ke gua tersebut, tetapi sudah tidak menjumpai Suprijadi di gua tersebut.
- Menurut M Nakajima, anggota Intel Tenatar Jepang dan anak buah Yanagawa melatih Suprijadi di Seinendojo Tangerang. Kira-kira awal Maret 1945 ketika bertugas di Salatiga, Nakajima didatangi Suprijadi di rumahnya di Jalan Jangkongan Salatiga. Nakajima sempat menyembunyikan Suprijadi selama beberapa hari. Nakajima kemudian menegaskan bahwa Suprijadi menuju ke Bayah, Banten Selatan (tempat sembunyi yang sama dengan Tan Malaka). Di daerah tersebut banyak terdapat Romusha yang bekerja di tambang batubara.
- Menurut keterangan Haji Mukandar, kira-kira Juli 1945 telah merawat dan menguburkan Suprijadi di daerah Bayah, Banten . Suprijadi meninggal karena terkena disentri di bulan Juli 1945. Ketika diuji dengan foto puluhan tentara PETA dan pemuda-pemuda yang dilatih di Seinendojo Tangerang, H Mukandar dapat segera dan tanpa ragu menunjukan foto Suprijadi dengan tepat.
Misteri Bedera Merah Putih
Cerita mengenai pemberontakan PETA Blitar, tidak hanya bicara mengenai sosok Supriyadi yang misterius. Seketika setelah pemberontakan berlangsung sebuah bendera Merah Putih, berkibar di Blitar. Pengibaran dilakukan oleh Parthohardjono (Tentara PETA Blitar), sosok yang dengan gagah berani mengibarkan merah putih di lapangan depan markas Tentara PETA Blitar. Tempat itu, kini masuk dalam kawasan taman makam pahlawan Raden Wijaya, kota Blitar, persis di seberang monumen PETA Blitar. Sebuah catatan menyebut, pasca proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 Panglima Besar Jenderal Sudirman mengunjungi tempat ini, sekaligus menyematkan karangan bunga.
Parthohardjono, yang kala itu tidak tinggal didalam asrama Tentara PETA Blitar (karena telah menikah), memilih tinggal indekos disebuah rumah tak jauh dari asrama. Bersama istrinya, berbulan-bulan lamanya memang telah menyiapkan kain merah (bekas kain penutup peti/kotak peluru/amunisi) dan kain putih, bekas sarung bantal untuk akhirnya dijadikan bendera. Disimpan sangat hati-hati, agar tidak ketahuan tentara Jepang, hingga akhirnya berhasil pula menyelundupkan bendera tersebut dan dibawa persis waktu malam pemberontakan.
Ketika pemberontakan berlangsung, saat mortir diledakkan, aba-aba komando tanda mulainya pemberontakan diserukan oleh Supriyadi, suasana malam itu Kota Blitar benar-benar mencekam. Hiruk pikuk tentara PETA yang mulai melakukan pemberontakan terhadap Kempetai, makin menggelorakan keberanian Parthohardjono. Ia menuju tiang bendera di sisi utara lapangan markas PETA Blitar. Dengan khidmad, Sang Saka Merah Putih dinaikkan. Dalam posisi siap tegak berdiri, Parthohardjono melakukan hormat bendera. Sesaat setelahnya, dia bersujud di tanah lapang itu, mencium tanah tiga kali dengan mata berkaca-kaca haru, yakin bahwa malam itu Indonesia Merdeka.
Keterangan ini tidak saja termuat dalam buku sejarah pemberontakan PETA. Ini adalah sebuah keterangan yang disampaikan oleh menantu Parthohardjono, di Blitar. Di hari tuanya, Parthohardjono memilih untuk tetap menjadi rakyat biasa. Parthohardjono, lebih dikenal dengan nama sebutan Partho Wedhus. Wedhus adalah kambing dalam bahasa Jawa.
Memang, di hari tuanya Parthohardjono, sering membantu para petani dan tetangga desanya dengan menyumbangkan kambing untuk diternak dengan sitem bagi hasil. Permintaan Partohardjono kepada putrinya kala itu, "Jika waktunya tiba, aku jangan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan". Makam Parthohardjono, sang pengibar bendera Merah Putih, Rabu dini hari tanggal 14 Februari 1945 itu (6 bulan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945), berada disebuah makam desa, nun jauh dari Kota Blitar. Sebuah makam sederhana tanpa ada tulisan kata "pahlawan". Sementara, keberadaan Sang Dwi Warna -Bendera Merah Putih- yang dijahit Parohardjono dan telah berkibar pada 14 Februari 1945 itu, hingga kini tidak ada seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Andaryoko Mengaku Suprijadi
Cerita mengenai pemberontakan PETA Blitar, tidak hanya bicara mengenai sosok Supriyadi yang misterius. Seketika setelah pemberontakan berlangsung sebuah bendera Merah Putih, berkibar di Blitar. Pengibaran dilakukan oleh Parthohardjono (Tentara PETA Blitar), sosok yang dengan gagah berani mengibarkan merah putih di lapangan depan markas Tentara PETA Blitar. Tempat itu, kini masuk dalam kawasan taman makam pahlawan Raden Wijaya, kota Blitar, persis di seberang monumen PETA Blitar. Sebuah catatan menyebut, pasca proklamasi kemerdekaan, tahun 1946 Panglima Besar Jenderal Sudirman mengunjungi tempat ini, sekaligus menyematkan karangan bunga.
Parthohardjono, yang kala itu tidak tinggal didalam asrama Tentara PETA Blitar (karena telah menikah), memilih tinggal indekos disebuah rumah tak jauh dari asrama. Bersama istrinya, berbulan-bulan lamanya memang telah menyiapkan kain merah (bekas kain penutup peti/kotak peluru/amunisi) dan kain putih, bekas sarung bantal untuk akhirnya dijadikan bendera. Disimpan sangat hati-hati, agar tidak ketahuan tentara Jepang, hingga akhirnya berhasil pula menyelundupkan bendera tersebut dan dibawa persis waktu malam pemberontakan.
Ketika pemberontakan berlangsung, saat mortir diledakkan, aba-aba komando tanda mulainya pemberontakan diserukan oleh Supriyadi, suasana malam itu Kota Blitar benar-benar mencekam. Hiruk pikuk tentara PETA yang mulai melakukan pemberontakan terhadap Kempetai, makin menggelorakan keberanian Parthohardjono. Ia menuju tiang bendera di sisi utara lapangan markas PETA Blitar. Dengan khidmad, Sang Saka Merah Putih dinaikkan. Dalam posisi siap tegak berdiri, Parthohardjono melakukan hormat bendera. Sesaat setelahnya, dia bersujud di tanah lapang itu, mencium tanah tiga kali dengan mata berkaca-kaca haru, yakin bahwa malam itu Indonesia Merdeka.
Keterangan ini tidak saja termuat dalam buku sejarah pemberontakan PETA. Ini adalah sebuah keterangan yang disampaikan oleh menantu Parthohardjono, di Blitar. Di hari tuanya, Parthohardjono memilih untuk tetap menjadi rakyat biasa. Parthohardjono, lebih dikenal dengan nama sebutan Partho Wedhus. Wedhus adalah kambing dalam bahasa Jawa.
Memang, di hari tuanya Parthohardjono, sering membantu para petani dan tetangga desanya dengan menyumbangkan kambing untuk diternak dengan sitem bagi hasil. Permintaan Partohardjono kepada putrinya kala itu, "Jika waktunya tiba, aku jangan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan". Makam Parthohardjono, sang pengibar bendera Merah Putih, Rabu dini hari tanggal 14 Februari 1945 itu (6 bulan sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945), berada disebuah makam desa, nun jauh dari Kota Blitar. Sebuah makam sederhana tanpa ada tulisan kata "pahlawan". Sementara, keberadaan Sang Dwi Warna -Bendera Merah Putih- yang dijahit Parohardjono dan telah berkibar pada 14 Februari 1945 itu, hingga kini tidak ada seorangpun yang mampu menunjukkannya.
Andaryoko Mengaku Suprijadi
Lebih dua tahun lalu, sekitar Nopember 2008 beberapa stasiun televisi merilis berita bahwa Suprijadi, tokoh pemberontakan PETA masih hidup hingga kini. Suprijadi, yang berganti nama menjadi Andarjoko Wisnuprabu (89 tahun) hidup di Semarang. Bahkan dia kemudian membuat buku pengakuan, berjudul "Kesaksian Suprijadi" yang penulisannya dibantu sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya, sejarawan senior. Tentu bukan sekadar sensasi kalau Baskara T Wardaya sampai berani melempar dadu intelektualitasnya untuk membuat buku tersebut.
Buku yang dirilis Nopember 2008 di Semarang itu, menyebutkan "Suprijadi" - membeberkan alasan mengapa sekian lama ia tak muncul, namun ia datang sebagai jenderal nomer satu TKR pada awal Kemerdekaan. Dan juga mengapa ia terpaksa harus berganti identitas dan hidup sebagai tokoh “gerilya” dalam pentas-pentas politik bangsa.
Suprijadi -yang berganti nama Andarjoko- ini menunjukkan dokumen-dokumen berupa kliping koran soal penunjukkannya sebagai panglima TKR dan foto bareng Soekarno. Mungkin itu foto saat Soekarno mengunjungi rumahnya di Blitar atau saat pendidikan PETA di Tangerang.
Andarjoko menyebut pemberontakan PETA sebetulnya tak pernah ada *). Yang terjadi adalah peristiwa di mana dirinya dan dua rekannya tiba-tiba ditangkap Jepang dan akan dieksekusi tanpa alasan. Suprijadi ini mengaku saat itu difitnah rekannya R Priyadi. Ketika masuk lapangan eksekusi, ketiganya berontak dan melarikan diri. Jepang yang ngamuk lantas melampiaskannya dengan menghajar tentara PETA di Blitar yang berujung pada bentrokan bersenjata.
*) Pernyataan yang ini bertentangan dengan statemen Soekarno dalam buku Cindy Adams “Penyambung Lidah Rakyat” terasa bertolak belakang. Pada Halaman 290, Soekarno mengaku pernah bertemu Suprijadi.
- “Apa jang tidak diketahui orang sampai sekarang ialah bahwa Soekarno sendiri tersangkut dalam pemberontakan ini. Bagi orang Djepang maka pemberontakan PETA merupakan suatu peristiwa jang tidak diduga sama sekali. Akan tetapi bagi Soekarno tidak. Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar. Orang tuaku tinggal di Blitar. Pada waktu aku berkundjung pada orang tuaku ke Blitar (waktu itu beriringan dengan meninggalnya ayahanda Bung Karno yang dimakamkan di Jakarta dan diboyongnya ibunya Idayu Nyoman Rai oleh P. Wardoyo kembali ke Blitar), beberapa orang perwira PETA datang kepadaku. Para perwira ini mempersoalkan maksud mereka hendak mengadakan pemberontakan.
“Kami baru mulai merencanakan.” Mereka menyampaikan dengan kepercayaan penuh. “Akan tetapi kami ingin mengetahui pendapat Bung Karno sendiri".
Di Mana Suprijadi, Tidak Penting
Masih banyak lagi wacana-wacana soal sang pahlawan PETA Suprijadi. Saling silang kabar yang ada dimungkinkan karena memang hingga kini jasad Suprijadi tak pernah diketemukan. Pemerintah sendiri sudah menetapkan Suprijadi sebagai sosok pahlawan. Tindakan Soekarno-Hatta yang mengangkatnya sebagai menteri Keamanan Rakjat adalah bukti dari pengakuan tersebut.
Bukti sejarah yang mendukung keberadaan atau sebaliknya tewasnya Suprijadi, hingga kini masih belum ada. Namun, barangkali yang lebih masuk akal adalah bahwa Suprijadi sudah terlebih dahulu dipancung oleh Kempetai tanpa sepengetahuan teman-teman PETA-nya. Suprijadi dipancung diam-diam saat mereka tertangkap, yakni di tengah perjalanan dari hutan Ngancar menuju markas PETA. Andai ketika itu, Suprijadi belum mereka pancung, pasti pihak Nippon akan menyebut namanya dalam persidangan militer di Jakarta, sewaktu memvonis 78 anggota pasukan PETA yang memberontak tersebut, di mana 6 orang tokoh Peta dipancung.
Bagi kita generasi Trenggalek, misteri keberadaan Suprijadi pasca pemberontakan PETA 14 Februari 1945, tidaklah terlalu penting. Jauh lebih penting (tanpa mengesampingkan pahlawan PETA yang lain), adalah fakta bahwa Suprijadi adalah putra Pertiwi yang lahir di bumi Menak Sopal, bumi Trenggalek, sudah mengabdikan masa mudanya, bahkan seluruh hidupnya untuk menentang kekuasaan angkara murka.
Masih adakah generasi Trenggalek yang berdarah ksatria, berjiwa joang, siap berkorban bagi bangsa dan rakyat yang disiksa dalam kerja rodi semasa romusha, pada jaman Jepang membangun bendungan Tulungagung dan terowongan menembus gunung Kelud?
Dari Suparijadi, kita belajar bahwa hidup ini tiada artinya bila kita diam saja tatkala melihat kedzaliman penguasa (ketika itu: penjajah) menyiksa bangsanya. Mari, kita pupuk rasa nasionalisme dan patriotisme. Kita pertahankan Sang Saka Merah Putih dari Sabang sampai Merauke, dari Mangias hingga Pulau Rote, demi kebahagiaan Ibu Pertiwi, dalam semangat Garuda Pancasila.
(dari berbagai sumber: wikipedia, detik.com, aroengbinang, dll.).
2 Komentar:
informasi yang menarik,menambah wawasan tentang sejarah para pejuang, thanks
oh gitu ya...lupa2 ingat, terimakasih sudah mengingatkan :)
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".