Foto : Logo Program Studi Antropologi Sosial Unimed
WILLEM ISKANDAR, Seorang putera raja, budayawan sekaligus sastrawan yang aktif berjuang menanamkan dasar-dasar semangat pembaharuan di bidang pendidikan ala Barat dan pemikiran yang pragmatis. Sebagai penyair ia disebut-sebut 60 tahun mendahului Pujangga Baru. Pantunnya tak terikat oleh bentuk sajak tertentu. Pada tahun 1978 ia mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Willem Iskandar lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli Selatan. Nama kecilnya Sati, ia anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli Selatan. Sati mendapat pendidikan ala Barat di Sekolah Rendah Panyabungan. Sekolah ini didirikan Alexander Philipus Godon, seorang berkebangsaan Belanda yang bertugas sebagai kontrolir atau asisten presiden di Mandailing. Sebagai kontrolir ia harus menjalin hubungan baik dengan Raja Tinating agar tugasnya lancar. Sekolah Panyabungan itulah yang digunakan Godon untuk mendapatkan perhatian raja-raja setempat. Guru-gurunya terdiri dari orang-orang Melayu.
Kecerdasan Sati menarik perhatian Godon. Ketika tiba masa remaja Sati mendapat gelar Sutan Iskandar, dan ia diangkat anak oleh keluarga Godon. Saat itu usianya menginjak tahun ke-13. Pada tahun 1857 Sutan Iskandar diboyong keluarga angkatnya ke Negeri Belanda.
Di Belanda namanya berubah menjadi Willem Iskandar, dan ia masuk ke Oetenschool, sebuah sekolah guru. Salah satu gurunya Prof. H.S. Milles adalah ahli bahasa dan sastra Timur. Ia berhasil membangkitkan minat Willem Iskandar untuk mempelajari bahasa dan sastra Timur khususnya bahasa, huruf dan sastra Batak Mandailing.
Willem berhasil menamatkan pendidikannya pada tahun 1860, dan tak lama kemudian kembali ke tanah air. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi guru bantu di Sekolah Rendah Panyabungan, almamaternya dulu. Pada tahun 1862 ia mendirikan sekolah guru di Tanobate, yang guru-guru dan fasilitas sekolahnya banyak didukung oleh profesional asal Belanda. Pelajaran pokok di sekolahnya adalah fisika, matematika, bahasa Melayu dan Belanda, sedangkan ekstra kurikulernya antara lain pelajaran sejarah tanah air.
Willem mendidik pribadi-pribadi mandiri yang mampu membuat esei dan mahir menulis surat dalam Bahasa Melayu maupun Belanda. Penguasaan bahasa dimaksudkan agar muridnya memiliki pengetahuan luas, dan kelak mereka bisa menjadi guru sekaligus pengarang. Berkat kegigihannya itu Willem telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Eropa untuk kemajuan kaum pribumi di mada depan. Kendati disibukkan oleh urusan belajar mengajar, Willem terus mengembangkan kemahirannya menciptakan karya sastra disamping melakukan penerjemahan karya sastra Belanda.
Willem Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia adalah hasil tempaan dari pendidikan formal dan informal, serta pengalaman tak terbatas dan bacaan yang luas pula. Intelektualitasnya yang tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak di alam ini, dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang. Ia hidup dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan dunia intelektual yang amat maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa depan yang amat jauh.
Dalam situasi seperti itu ia tidak frustrasi, tetapi justru ia merasa bersyukur berada dalam lingkungan masyarakat yang terbelakang untuk kemudian dibangkitkannya dengan tekun. Ia bekerja melalui sekolah dan karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang tentu saja ia telah terlebih dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan yang antara lain diperolehnya melalui bacaan. Dalam hal ini karya-karya Munshi Abdullah dan Multatuli merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena sebagian besar karya-karya Abdullah telah terbit sebelum Willem Iskander lahir dan beberapa diantaranya terbit ketika ia kanak-kanak.
Kepergiannya ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang tersedia disana. Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah kesusastraan Melayu/Indonesia amat besar berupa kepeloporannya dalam melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih hidup di sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari tradisi itu, ia ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi karya-karya Abdullah telah membicarakan hal-hal yang hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman dan sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi.
Munshi Abdullah berdarah Arab-Keling, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Masa mudanya digunakan untuk belajar bahasa Arab, Tamil, Inggeris dan Melayu serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di suatu percetakan di Malaka. Karier selanjutnya antara lain sebagai juru bahasa di kantor Raffles. Pergaulannya yang luas dengan orang-orang barat menempanya menjadi seorang yang berfikir rasionil lepas dari ketahyulan. Kepribadian Abdullah seluruhnya tergambar dalam karangan-karangannya yang amat mengesankan. Kehadiran pengaruh Abdullah dalam karangan-karangan Willem Iskander dapat dirasakan terutama yang bertema pendidikan, ketuhanan dan kritik sosial, dan terasa adanya warna kepribumian yang memperjuangkan bangsa sendiri.
Kumpulan prosa dan puisinya dimuat dalam buku Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk yang telah mulai ditulis sejak tahun 1869. Isinya penuturan Willem perihal sikap luhur manusia di sisi Tuhan. Willem juga menciptakan karya-karya sastra yang mendobrak kehidupan feodalistis dengan penuturan yang humoris. Ini tentu saja tak disukai oleh keluarganya yang berdarah bangsawan. Akibatnya, Willem tak mendapat tanah warisan secuilpun. Namun pengorbanan Willem itu tak sia-sia. Pada akhirnya ia justru mampu membangun masyarakat Tapanuli Selatan menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, gemar belajar dan bekerja keras, kritis dan memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa yang otomatis menempatkan sukuisme jauh di bawah rasa kebangsaan.
Berkat Willem, rakyat biasa mulai mampu melancarkan protes terhadap penjajahan melalui pantun ataupun prosa. Pantun atau ende-ende bernada protes terhadap ketidakadilan itu biasanya digelar di tengah keramaian, di areal kebun kopi atau sawah saat orang-orang sedang berkeringat dalam sebuah kerja rodi. Ia wafat tahun 1876, namun baru pada tanggal 15 Agustus 1978 Willem Iskandar mendapatkan penghargaan dalam bidang seni dari Menteri Pedidikan dan Kebudayaan. Penerimanya, ahli warisnya yang khusus datang dari tanah Pidoli Lombang. Karya Si Hendrik Yang Baik Hati karya terjemahan pertama yang dilakukan Willem dari buku berbahasa Belanda yang berjudul De Brave Hendrik karya Gonggrijp.
Dari berbagai sumber.
Simponi.
WILLEM ISKANDAR, Seorang putera raja, budayawan sekaligus sastrawan yang aktif berjuang menanamkan dasar-dasar semangat pembaharuan di bidang pendidikan ala Barat dan pemikiran yang pragmatis. Sebagai penyair ia disebut-sebut 60 tahun mendahului Pujangga Baru. Pantunnya tak terikat oleh bentuk sajak tertentu. Pada tahun 1978 ia mendapatkan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Willem Iskandar lahir pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Tapanuli Selatan. Nama kecilnya Sati, ia anak bungsu Raja Tinating, Tapanuli Selatan. Sati mendapat pendidikan ala Barat di Sekolah Rendah Panyabungan. Sekolah ini didirikan Alexander Philipus Godon, seorang berkebangsaan Belanda yang bertugas sebagai kontrolir atau asisten presiden di Mandailing. Sebagai kontrolir ia harus menjalin hubungan baik dengan Raja Tinating agar tugasnya lancar. Sekolah Panyabungan itulah yang digunakan Godon untuk mendapatkan perhatian raja-raja setempat. Guru-gurunya terdiri dari orang-orang Melayu.
Kecerdasan Sati menarik perhatian Godon. Ketika tiba masa remaja Sati mendapat gelar Sutan Iskandar, dan ia diangkat anak oleh keluarga Godon. Saat itu usianya menginjak tahun ke-13. Pada tahun 1857 Sutan Iskandar diboyong keluarga angkatnya ke Negeri Belanda.
Di Belanda namanya berubah menjadi Willem Iskandar, dan ia masuk ke Oetenschool, sebuah sekolah guru. Salah satu gurunya Prof. H.S. Milles adalah ahli bahasa dan sastra Timur. Ia berhasil membangkitkan minat Willem Iskandar untuk mempelajari bahasa dan sastra Timur khususnya bahasa, huruf dan sastra Batak Mandailing.
Willem berhasil menamatkan pendidikannya pada tahun 1860, dan tak lama kemudian kembali ke tanah air. Pekerjaan pertamanya adalah menjadi guru bantu di Sekolah Rendah Panyabungan, almamaternya dulu. Pada tahun 1862 ia mendirikan sekolah guru di Tanobate, yang guru-guru dan fasilitas sekolahnya banyak didukung oleh profesional asal Belanda. Pelajaran pokok di sekolahnya adalah fisika, matematika, bahasa Melayu dan Belanda, sedangkan ekstra kurikulernya antara lain pelajaran sejarah tanah air.
Willem mendidik pribadi-pribadi mandiri yang mampu membuat esei dan mahir menulis surat dalam Bahasa Melayu maupun Belanda. Penguasaan bahasa dimaksudkan agar muridnya memiliki pengetahuan luas, dan kelak mereka bisa menjadi guru sekaligus pengarang. Berkat kegigihannya itu Willem telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Eropa untuk kemajuan kaum pribumi di mada depan. Kendati disibukkan oleh urusan belajar mengajar, Willem terus mengembangkan kemahirannya menciptakan karya sastra disamping melakukan penerjemahan karya sastra Belanda.
Willem Iskander bukan secara kebetulan menjadi pengarang, akan tetapi ia adalah hasil tempaan dari pendidikan formal dan informal, serta pengalaman tak terbatas dan bacaan yang luas pula. Intelektualitasnya yang tinggi, kepekaannya terhadap segala sesuatu yang bergerak di alam ini, dan kehausannya terhadap ilmu menyebabkan ia tumbuh dan berkembang. Ia hidup dalam dua dunai. Dunia sekitarnya yang masih terbelakang dan dunia intelektual yang amat maju di depan. Ia sungguh terlempar ke masa depan yang amat jauh.
Dalam situasi seperti itu ia tidak frustrasi, tetapi justru ia merasa bersyukur berada dalam lingkungan masyarakat yang terbelakang untuk kemudian dibangkitkannya dengan tekun. Ia bekerja melalui sekolah dan karangan-karangannya. Sebelum ia mengarang tentu saja ia telah terlebih dahulu membekali dirinya dengan pengetahuan yang antara lain diperolehnya melalui bacaan. Dalam hal ini karya-karya Munshi Abdullah dan Multatuli merupakan bacaannya yang utama, ini dapat difahami, karena sebagian besar karya-karya Abdullah telah terbit sebelum Willem Iskander lahir dan beberapa diantaranya terbit ketika ia kanak-kanak.
Kepergiannya ke negeri Belanja untuk belajar, 1857-1861, memberi peluang yang amat luas baginya untuk membaca sebanyak-banyaknya karja-karja Abdullah yang tersedia disana. Telah diketahui bahwa peranan Abdullah dalam sejarah kesusastraan Melayu/Indonesia amat besar berupa kepeloporannya dalam melepaskan diri dari tradisi kesusastraan lama yang masih hidup di sekitar istana. Sekalipun Abdullah belum dapat lepas sama sekali dari tradisi itu, ia ternyata telah meninggalkan kehidupan istana. Isi karya-karya Abdullah telah membicarakan hal-hal yang hidup dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, ia menentang setiap kezaliman dan sekaligus memperhatikan pendidikan pribumi.
Munshi Abdullah berdarah Arab-Keling, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang terpelajar. Masa mudanya digunakan untuk belajar bahasa Arab, Tamil, Inggeris dan Melayu serta agama Islam. Kemudian ia bekerja di suatu percetakan di Malaka. Karier selanjutnya antara lain sebagai juru bahasa di kantor Raffles. Pergaulannya yang luas dengan orang-orang barat menempanya menjadi seorang yang berfikir rasionil lepas dari ketahyulan. Kepribadian Abdullah seluruhnya tergambar dalam karangan-karangannya yang amat mengesankan. Kehadiran pengaruh Abdullah dalam karangan-karangan Willem Iskander dapat dirasakan terutama yang bertema pendidikan, ketuhanan dan kritik sosial, dan terasa adanya warna kepribumian yang memperjuangkan bangsa sendiri.
Kumpulan prosa dan puisinya dimuat dalam buku Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk yang telah mulai ditulis sejak tahun 1869. Isinya penuturan Willem perihal sikap luhur manusia di sisi Tuhan. Willem juga menciptakan karya-karya sastra yang mendobrak kehidupan feodalistis dengan penuturan yang humoris. Ini tentu saja tak disukai oleh keluarganya yang berdarah bangsawan. Akibatnya, Willem tak mendapat tanah warisan secuilpun. Namun pengorbanan Willem itu tak sia-sia. Pada akhirnya ia justru mampu membangun masyarakat Tapanuli Selatan menjadi pribadi-pribadi yang kreatif, gemar belajar dan bekerja keras, kritis dan memiliki semangat nasionalisme yang luar biasa yang otomatis menempatkan sukuisme jauh di bawah rasa kebangsaan.
Berkat Willem, rakyat biasa mulai mampu melancarkan protes terhadap penjajahan melalui pantun ataupun prosa. Pantun atau ende-ende bernada protes terhadap ketidakadilan itu biasanya digelar di tengah keramaian, di areal kebun kopi atau sawah saat orang-orang sedang berkeringat dalam sebuah kerja rodi. Ia wafat tahun 1876, namun baru pada tanggal 15 Agustus 1978 Willem Iskandar mendapatkan penghargaan dalam bidang seni dari Menteri Pedidikan dan Kebudayaan. Penerimanya, ahli warisnya yang khusus datang dari tanah Pidoli Lombang. Karya Si Hendrik Yang Baik Hati karya terjemahan pertama yang dilakukan Willem dari buku berbahasa Belanda yang berjudul De Brave Hendrik karya Gonggrijp.
Dari berbagai sumber.
Simponi.
Foto : unimed
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".