Kabupaten Trenggalek terdiri dari 14 kecamatan, 152 desa dan 5 kelurahan. Pada tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Trenggalek meluncurkan program inovatif untuk mendongkrak perekomian di desa-desa tertinggal. Program ini diberi nama BUMDES (Badan Usaha Milik Desa), didanai lewat APBD/DAK, dengan besaran modal awal perdesa 10 juta rupiah.
Penanganan managemennya dipusatkan di kabupaten, melalui kecamatan, turun ke desa, di semua lini ini ada pengurusnya. Kalau di desa terdiri dari ketua, sekretaris merangkap bendahara dan pemasaran/penagihan. Sedang kepala desa berperan sebagai pelindung/penasihat.
Sistem operasionalnya sama dengan usaha perkreditan pada umumnya. Hanya bunganya mungkin lebih kecil yakni 1%, jangka waktu 10 bulan, dan pada saat jatuh tempo pelunasan cicilan terlambat, maka nasabah dikenai denda 2% (aturan ini disosialisasikan pada awal peluncuran program awal tahun 2002). Sasaran pasarnya jelas masyarakat kecil (kawula alit) di pedesaan.
Hingga sekarang sudah 7 tahun program inovatif ini berjalan, dan semua desa telah menerima dana BUMDES. Jika rata-rata tiap desa pertahun mendapatkan tambahan modal 10 juta rupiah, berarti perdesa punya modal antara 50-70 juta rupiah. Apabila dihitung dengan "kalkulator biznis" sudah jadi berapakah modal tiap desa pada akhir tahun ini?!
Tetapi, berdasarkan isu plus tanda-tanda yang beredar di masyarakat awam, ada indikasi banyak BUMDES yang tidak berjalan semestinya. Diprediksi para kawuli alit yang sedikit mahfum dalam masalah ini, dan informasi dari beberapa sumber yang dekat dengan pusat BUMDES, hanya 20% saja yang masih lancar, namun jika ditelaah dari kacamata usaha perkreditan masuk katagori MERUGI. Sedang yang 80% semrawut dalam cash (uang), bagus dalam administrasi (neraca).
Sasaran program BUMDES adalah membantu menaikkan tingkat hidup masyarakat pedesaan, khususnya kawula alit yang miskin. Namun, nyatanya yang menikmati keberadaan BUMDES kebanyakan adalah para pengurus dan orang dekatnya saja. Ada pengurus yang pinjam jutaan tanpa jaminan apapun, tidak mencicil sama sekali juga tidak memberi jasa sepeser pun. Modal BUMDES mandeg pada mereka, namun neracanya dilaporkan sehat.
Pertengahan tahun ini, pihak Pemkab bermaksud mem-perda-kan BUMDES. Upaya ini untuk mencegah kebocoran dana di kelak kemudian hari, sekaligus memberikan otonomi pada desa dalam mengelola BUMDES. Walaupun demikian, apakah dana BUMDES yang "ngleles" ditilap pengurus lama yang nakal tidak diusut tuntas? Berapa ratus juta rupiah yang menguap di korup? Apabila masalah ini tidak dituntaskan, niscaya akan muncul anggapan adanya kerja sama, konspirasi, sindikasi kepentingan antar oknum pengurus BUMDES di desa dengan oknum di institusi yang membina BUMDES daerah ini.
Jika ada indikasi, bukti yang jelas, tidak usah ditutup-tutupi. Biar masyarakat melèk dan tidak syakwasangka, institusi pembina berkewajiban memberikan informasi kepada publik, secara terbuka, akuntabel, valid, didukung kenyataan dan fakta. Bukan didukung oleh BUMDES percontohan. Keterbukaan informasi publik, pasti sangat membantu efektivitas dan dinamika program ini, sehingga dana yang diguyurkan mampu melejitkan PAD Kabupaten Trenggalek, minimal mengurangi beban DAU/DAK pembangunan pedesaan.
Pentingnya Ilmu Farmasi dalam Kehidupan Manusia
3 bulan yang lalu
4 Komentar:
Suka Nge-blog juga rupanya pak?
hm...teringat dulu ketika awal2 terpilihnya HAMAS. aku masih baru lulus kuliah. IKAT ngadain urun rembug buat nyusun RPJM Trenggalek. aku datang trus kebagian presentasi. ga banyak kok. cuma menyarankan membentuk BUMD dan kerjasama dengan DJP untuk meningkatkan penerimaan pajak. namanya juga masih anak kemarin sore. banyak yg ga setuju atau dibiarin aja alias "ra ganceng". bagiku sih gapapa. toh ga ada ruginya.
tapi kok bermasalah ya dengan BUMDESnya. berarti ada permasalahan tuh. haduh...apa perlu dibuatkan sistem akuntansi yang sederhana saja pakai MS Excel gitu. biar pelaporannya jelas. ya itu tentu harus didukung dengan integritas yang baik. kalo rada akademis nih, menurut COSO, elemen internal control yang paling mendasar adalah "control environtment". yang didalamnya mencakup integritas.
weleh...weleh...weleh..
Opini dan ide anda sungguh mengagumkan. Saya salut. Mestinya, waktu itu segera direspon positif. Namun apa lacur? Anda sendiri tahu jawabannya.
Secara administrasi, BUMDES nampak baik. Tapi, jika 'investigasi' audit independen dilakukan, tentu banyak oknum pengurus yang kalangkabut.
Btw, anda kok menyapa saya "pak" seakan anda sudah mengenal saya? Do you know hwo am I? I've never wrote my original name. Because this blog is not bring up my private mission. Just for "kawula alit" and how to build the clean goverment. Just a society control only. Maybe hearsay.
Salam hormat untuk IKAT, ide, tulisan anda -saya tunggu di sini.
Lebih baik berbuat dari pada hanya "nrimo".
Memang salah satu problem pelik dari otonomi desa ---dimana BUMDES ada di dalamnya --- menurut saya adalah soal penguatan kapasitas. Ya,penguatan kapasitas kelembagaan desa.Termasuk BUMDES.Sekarang ini,dimanapun,institusi perdesaan belum ada yang kuat ( ya kades-nya,ya BPD-nya,ya BUMDES-nya).Karena itu,program seperti BUMDES harus diimbangi dengan penguatan kapasitas BUMDES.Misalnya dengan sentuhan manajemen,atau mungkin diklat keuangan seperti diusulkan mas Wipy.Nah,untuk itu,pada hemat saya,kuncinya ada pada kualitas SDM dari seluruh pemegang institusi desa.Termasuk institusi BUMDES.Jika SDM-nya oke,yakin saya,BUMDES akan lebih bagus.Wallahu a`lam
Usulan mas Wipy dilengkapi dengan wejangan sesepuh kita Kang Mul, memang bisa jadi solusi ke depan dalam proses pembinaan lembaga di pedesaan. Namun, lebih dari itu, tuntutan masyarakat saat ini adalah mengais ceceran dana yang ditilap oknum pengurus yang serakah. Seorang kawan saya (dan teman-teman BPD-nya) sejak tahun 2004 sudah pernah mengingatkan Kades-nya, bahkan melayangkan surat 'somasi' ke Kades tembusan Camat, Bupati dan DPRD Kabupaten, namun jawabannya adalah BPD tidak berhak mengawasi BUMDES. Pada bulan Agustus lalu, atas nama warga teman saya itu (kini sudah bukan BPD) dkk. telah mengkorek borok pengurus BUMDES di desanya, dan berhasil mengembalikan dana yang ditilap sebesar hampir 35 juta. Pada waktu itu, ada info dari berbagai sumber yang bisa dipercaya, mengatakan di lain desa masih banyak dana yang bocor yang belum dikembalikan. Di desa teman saya pun sekarang masih jutaan rupiah yang dipakai pengurus, belum dicicil.
Jika mau mengkorek lebih dalam dan luas masalah 'perduitan', tidak bisa hanya menyalahkan institusi dan SDM di desa. Bagaimanapun, para pembina otonomi desa tidak pantas lepas tangan begitu saja dari tanggung jawab.
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".