TEGUH KARYA, salah seorang Sutradara ternama di blantika perfilman kita. Film-filmnya langganan peraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia. Lewat Teater Populer ia menggembleng calon sutradara muda.
Teguh Karya lahir pada tanggal 22 September 1937 di desa Maja Pandeglang, Jawa Barat. Anak tertua dari lima bersaudara, yang memiliki nama asli Lim Tjoan Hok. Kawan-kawan sepermainannya lantas memanggilnya Steve Lim. Ayahnya bernama Laksana Karya (Tjoan Hok) dan ibunya Naomi Yahya, keduanya warga Tiong Hoa. Kakek neneknya berasal dari Fu Kien Cina Selatan yang datang ke Indonesia pada masa pembangunan jalan kereta api. Dari sang nenek itulah Steve Lim mengenal cerita-cerita rakyat seperti “Kancil Mencuri Ketimun”, “Adu Lari Siput dengan Kancil” dan “Cinderella”. Di usianya yang ke-tujuh Steve Lim diboyong orang tuanya hijrah ke Jakarta.
Riwayat pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat di Pandeglang, kemudian berlanjut di Jakarta. Persahabatannya dengan Om Lea, adik kandung ibunya, mewarnai perjalanan hidup Steve Lim selanjutnya. Dari sang paman itulah, yang bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia, ia mengenal dunia sastra. Beberapa tahun berselang, ketertarikannya terhadap dunia sastra tumbuh. Ia mulai mengikuti pementasan-pementasan drama terutama di gereja.
Pada tahun 1954 Steve Lim pergi ke Yogyakarta untuk belajar di Akademi Seni Drama dan Film. Tahun 1957 ia melanjutkan pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) mengambil bidang penyutradaraan, tamat tahun 1961. Sebenarnya Steve Lim bimbang dan ragu saat membayangkan dunia seni sebagai masa depannya. Karena itu ia sempat beralih mempelajari bidang pertanian dan teologia. Apalagi saat itu ibunya berharap agar Steve menjadi seorang pendeta. Keraguan dan sikap bimbang itu berhasil ditepisnya setelah ia kuliah di ATNI dan banyak berdiskusi dengan seniman kondang seperti Usmar Ismail dan Asrul Sani. Dari merekalah Steve Lim mendapatkan keyakinan bahwa seni adalah dunianya kelak. Pada tahun 1957 Steve bermain dalam drama “Tjakar Monyet” karya W.W. Jacob, disutradarai Usmar Ismail.
Kritikus film, Satyagraha Hoerip, yang ikut menonton menilai Steve sebagai pemain berbakat. Sementara awal karirnya sebagai sutradara, ia tunjukkan dalam pementasan drama “Taupan” karya Ju Sin Ming Hin. Di sinilah publik film, seniman dan pecinta seni dan masyarakat luas terpesona dengan bakat besar Steve Lim sebagai sutradara. Pengakuan akan bakat Teguh Karya itu diwujudkan ATNI dalam bentuk pemberian bea siswa untuk membiayai Teguh Karya memperdalam ilmu bidang tata artistik di East West Centre, Honolulu, Hawai. Sepulang dari Hawai, Teguh Karya mendirikan Teater Populer. Pendukungnya tak tanggung-tanggung, para insan seni peran yang memiliki nama besar seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra Malaon, R. Riantiarno. Teguh Karya menggarap drama pertamanya di bawah payung Teater Populer yang berjudul “Wajah Seorang Lelaki”, dipentaskan di Hotel Indonesia Jakarta. Dalam perjalanan selanjutnya, Teater Populer tumbuh menjadi “bengkel” tempat penggemblengan calon sutradara. Salah satu alumninya, sutradara kondang Slamet Raharjo. Pada tahun 1970-an teguh Karya mulai menyutradarai film.
Di tangannya film dikemas apik, menarik, memiliki pesan ideologis yang kental namun tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Ia tumbuh menjadi sutradara handal yang pernah dimiliki Indonesia. Film-filmnya meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) tidak saja untuk penyutradaraan tetapi juga kategori lainnya. Film-film kelas Piala Citra Teguh Karya yakni:
(Dari berbagai sumber. Foto : fauzibowo)
Teguh Karya lahir pada tanggal 22 September 1937 di desa Maja Pandeglang, Jawa Barat. Anak tertua dari lima bersaudara, yang memiliki nama asli Lim Tjoan Hok. Kawan-kawan sepermainannya lantas memanggilnya Steve Lim. Ayahnya bernama Laksana Karya (Tjoan Hok) dan ibunya Naomi Yahya, keduanya warga Tiong Hoa. Kakek neneknya berasal dari Fu Kien Cina Selatan yang datang ke Indonesia pada masa pembangunan jalan kereta api. Dari sang nenek itulah Steve Lim mengenal cerita-cerita rakyat seperti “Kancil Mencuri Ketimun”, “Adu Lari Siput dengan Kancil” dan “Cinderella”. Di usianya yang ke-tujuh Steve Lim diboyong orang tuanya hijrah ke Jakarta.
Riwayat pendidikannya dimulai dari Sekolah Rakyat di Pandeglang, kemudian berlanjut di Jakarta. Persahabatannya dengan Om Lea, adik kandung ibunya, mewarnai perjalanan hidup Steve Lim selanjutnya. Dari sang paman itulah, yang bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia, ia mengenal dunia sastra. Beberapa tahun berselang, ketertarikannya terhadap dunia sastra tumbuh. Ia mulai mengikuti pementasan-pementasan drama terutama di gereja.
Pada tahun 1954 Steve Lim pergi ke Yogyakarta untuk belajar di Akademi Seni Drama dan Film. Tahun 1957 ia melanjutkan pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) mengambil bidang penyutradaraan, tamat tahun 1961. Sebenarnya Steve Lim bimbang dan ragu saat membayangkan dunia seni sebagai masa depannya. Karena itu ia sempat beralih mempelajari bidang pertanian dan teologia. Apalagi saat itu ibunya berharap agar Steve menjadi seorang pendeta. Keraguan dan sikap bimbang itu berhasil ditepisnya setelah ia kuliah di ATNI dan banyak berdiskusi dengan seniman kondang seperti Usmar Ismail dan Asrul Sani. Dari merekalah Steve Lim mendapatkan keyakinan bahwa seni adalah dunianya kelak. Pada tahun 1957 Steve bermain dalam drama “Tjakar Monyet” karya W.W. Jacob, disutradarai Usmar Ismail.
Kritikus film, Satyagraha Hoerip, yang ikut menonton menilai Steve sebagai pemain berbakat. Sementara awal karirnya sebagai sutradara, ia tunjukkan dalam pementasan drama “Taupan” karya Ju Sin Ming Hin. Di sinilah publik film, seniman dan pecinta seni dan masyarakat luas terpesona dengan bakat besar Steve Lim sebagai sutradara. Pengakuan akan bakat Teguh Karya itu diwujudkan ATNI dalam bentuk pemberian bea siswa untuk membiayai Teguh Karya memperdalam ilmu bidang tata artistik di East West Centre, Honolulu, Hawai. Sepulang dari Hawai, Teguh Karya mendirikan Teater Populer. Pendukungnya tak tanggung-tanggung, para insan seni peran yang memiliki nama besar seperti Slamet Raharjo, Tuti Indra Malaon, R. Riantiarno. Teguh Karya menggarap drama pertamanya di bawah payung Teater Populer yang berjudul “Wajah Seorang Lelaki”, dipentaskan di Hotel Indonesia Jakarta. Dalam perjalanan selanjutnya, Teater Populer tumbuh menjadi “bengkel” tempat penggemblengan calon sutradara. Salah satu alumninya, sutradara kondang Slamet Raharjo. Pada tahun 1970-an teguh Karya mulai menyutradarai film.
Di tangannya film dikemas apik, menarik, memiliki pesan ideologis yang kental namun tetap memiliki nilai jual yang tinggi. Ia tumbuh menjadi sutradara handal yang pernah dimiliki Indonesia. Film-filmnya meraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI) tidak saja untuk penyutradaraan tetapi juga kategori lainnya. Film-film kelas Piala Citra Teguh Karya yakni:
- Cinta Pertama (1973, empat Piala Citra),
- Ranjang Pengantin (1974, 6 Piala Citra),
- Kawin Lari (1975, 1 Piala Citra),
- Badai Pasti Berlalu (1977, 4 Piala Citra),
- Usia 18 (1980, 3 Piala Citra),
- Dibalik Kelambu (1982, 6 Piala Citra),
- Ibunda (1986, 9 Piala Citra),
- Doea Tanda Mata (1986, 4 Piala Citra),
- Pacar Ketinggalan Kereta (1990).
(Dari berbagai sumber. Foto : fauzibowo)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".