USMAR ISMAI, tokoh perfilman Indonesia sekaligus perintis sandiwara modern. Separoh dari masa hidupya ia abdikan untuk dunia film. Film-filmnya mendapatkan penghargaan bergengsi tidak hanya di dalam negeri tetapi juga di pentas Asia. Ia juga menjadi penulis dan penyair produktif. Artis dan sutradara terbaik Indonesia lahir dari hasil tempaannya.
Usmar Ismail lahir hari Minggu, 20 Maret 1921 di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Ia tujuh bersaudara putra pasangan Datuk Tumenggung guru OSVIA Bukittinggi, dan ibunya Siti Fatimah. Pada tahun 1927 Usmar Ismail masuk sekolah di HIS Batu Sangkar. Setelah lulus ia berangkat ke Padang untuk mengikuti pendidikan di MULO, mengambil jurusan B atau IPA.
Pada tahun 1938 ia hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah ke AMS, lulus tahun 1942. Sebenarnya ia masih igin melanjutkan sekolah, tetapi lantaran keadaan tidak memungkinkan Usmar Ismail bekerja di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosyo). Tugasnya adalah sebagai pengarang disamping aktif di bidang sandiwara.
Tahun 1944 bersama kawan-kawannya Usar Ismail mendirikan kelompok sandiwara yang berlebel “Maya”. Ketuanya Rosihan Anwar dan beberapa anggotanya antara lain HB Jassin, Dr Abu Hanifah, dan Usmar Ismail sendiri. Salah satu sandiwara yang pernah sukses dipentaskan kelompok “Maya” adalah “Taufan di Atas Asia” gubahan El-Hakim atau Dr. Abu Hanifah. Saat naskah yang sama dipentaskan di Bandung “Maya” kembali “menuai” sukses besar.
Di dunia karang mengarang Usmar Ismail menulis kumpulan sajak “Puntung Berasap” yang diterbitkan Balai Pustaka. Ia juga menulis tiga buah buku lakon sadiwara yakni “Lakon-lakon Sandiwara Sedih dan Gembira (Balai Pustaka), “Mutiara dari Nusa Laut (Pusat kebudayaan) dan “Citra” (Gapura). Tatkala detik-detik menjelang kemerdekaan tiba, para pengarang beramai-ramai menyumbang gagasan tentang Indonesia merdeka. Usmar Ismail pun tak ketinggalan. Ia menulis “Menuju Hidup Baru” yang dimuat “Asia Raya”. Intinya bangsa Indonesia tak lagi terkungkung oleh hidup lama sebagai budak, tetapi telah memasuki hidup baru sebagai bangsa yang merdeka.
Pada awal kemerdekaan Kantor Pusat Kebudayaan dibekukan karena situasi politik yang tidak menentu. Sebagian anggota Pusat Kebudayaan lantas membentuk wadah bernama “Seniman Merdeka”. Kegiatannya berkeliling Jakarta, mengorbarkan semangat agar rakyat mempertahankan kemerdekaan. Di awal-awal kemerdekaan Indonesia Usmar Ismail sempat bekerja di Harian “Rakyat” pimpinan Sutan Mahmiri. Saat situasi Jakarta genting dan Ibukota Negara beralih ke Yogyakarta, Usmar Ismail bersama anggota “Seniman Merdeka” ikut pindah.
Di Yogya ia aktif di bidang kebudayaan, politik dan kemiliteran. Ia menjadi bagian dari Badan Inteligen. Pangkatnya Mayor dan berada di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Usmar Ismail juga diperbantukan di bagian Penerangan Tentara yang tugasnya memimpin Harian “Tentara” yang kemudian berganti nama menjadi “Patriot”. Selain itu juga merangkap sebagai pemimpin majalah “Arena” yang terbit di Yogyakarta. Di kota ini pula pada periode 1946-1947 ia dipercaya menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kegiatan di bidang politik dan kemiliteran ini membuat Usmar Ismail harus berhadapan dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Ia dituduh melakukan gerakan subversif sehingga dihukum tujuh bulan kurungan di Jakarta. Keluar dari penjara Usmar tak lagi ke Yogyakarta, tetapi ia bekerja pada "South Pacific Film Corporation”. Inilah untuk pertama kalinya ia berkecimpung di dunia film. Bersama kawan-kawannya ia lantas mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Badan usahanya berbentuk firma lantas berganti menjadi perseroan.
Seperti terinspirasi oleh sepak terjang Usmar Ismail, perusahaan film pun mulai menjamur di Indonesia, diantaranya Surya Film Trading dan Satria Drama Film. Akhirnya mereka membentuk persatuan dengan nama “Persatuan Produksi Film Negara (PPFN). Film pertama produksi PERFINI lahir pada tanggal 30 Maret 1950 berjudul “Long March” atau "Darah dan Doa” yang berkisah tentang perjalanan panjang Divisi Siliwangi. Usmar Ismail, sang kreator, menceritakan seorang anak Indonesia yang terlibat revolusi tetapi kemudian ia sendiri menjadi korban revolusi.
Pada tanggal 14 Oktober 1951 film kedua PERFINI lahir dengan judul “Enam Jam di Yogyakarta”, masih bertema sama mengangkat soal revolusi. Pada tahun 1951 Usmar Ismail berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk kepentingan tugas belajar di University of California”, memperdalam bidang sinematografi selama satu tahun. Sebelum berangkat ia telah berhasil meluncurkan film ketiganya berjudul “Dosa Tak Berampun”.
Sepulang dari AS ia kembali memimpin PERFINI, dan pada tahun 1953 film keempatnya “Krisis” mendapat sukses besar. Selama empat minggu nonstop film itu diputar di bioskop Metropole. Sampai dengan tahun 1955 sebanyak 22 judul film telah lahir dari tangan Usmar Ismail. Beberapa diantaranya meraih Piala Citra. Film yang mendapat hadiah komedi terbaik dalam Festival Film Asia (FFA) di Hongkong berjudul “Tamu Agung”. Tak hanya itu, dua filmnya meraih penghargaan untuk aktor terbaik berjudul “Pejuang” yang menang di Moskow dan “Asmara Dara” menang di Tokyo untuk aktris cilik terbaik.
Berkat reputasinya, pada tahun 1962 Usmar Ismail mendapatkan penghargaan “Piagam Wijaya Kusuma” dari Presiden Soekarno. Usmar Ismail memiliki andil besar dalam mengkader insan-insan berbakat di dunia film baik pemain, sutradara, penulis naskah. Mereka diantaranya Mieke Wijaya, Suzana (aktris wanita), Teguh Karya, Syumanjaya, Nya Abbas Acub (sutradara); Sumardjono, Kasim Abas (editor); Soekarno M Noer (penulis skenario) dan masih banyak lagi. Ia juga menjadi inisiator pendiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Direktur Bank Kemakmuran (Bank Film).
Pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 1971 Usmar Ismail berpulang ke pangkuan Tuhan. Meninggal akibat pendarahan otak. Karyanya “Indonesia Tanah Kekasih” (cerpen, dimuat surat kabar “Asia Raya”). Sedangkan film-film karya Usmar Ismail antara lain: 1. “Harimau Campa”. 2. “Lewat Jam Malam”. 3. “The Big Village” (film ini dibuat berkat kerjasama dengan PT Sarinah Jaya dan Pemda DKI, mengingat pada tahun 1966-1969 PERFINI menghentikan semua kegiatan lantaran adanya penyusupan anggota PKI). 4. “Ananda” (film terakhir PERFINI yang mengorbitkan bintangnya Leny Marlina).
Dari berbagai sumber. Foto : urangminang
Usmar Ismail lahir hari Minggu, 20 Maret 1921 di Batu Sangkar, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Ia tujuh bersaudara putra pasangan Datuk Tumenggung guru OSVIA Bukittinggi, dan ibunya Siti Fatimah. Pada tahun 1927 Usmar Ismail masuk sekolah di HIS Batu Sangkar. Setelah lulus ia berangkat ke Padang untuk mengikuti pendidikan di MULO, mengambil jurusan B atau IPA.
Pada tahun 1938 ia hijrah ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolah ke AMS, lulus tahun 1942. Sebenarnya ia masih igin melanjutkan sekolah, tetapi lantaran keadaan tidak memungkinkan Usmar Ismail bekerja di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Sidosyo). Tugasnya adalah sebagai pengarang disamping aktif di bidang sandiwara.
Tahun 1944 bersama kawan-kawannya Usar Ismail mendirikan kelompok sandiwara yang berlebel “Maya”. Ketuanya Rosihan Anwar dan beberapa anggotanya antara lain HB Jassin, Dr Abu Hanifah, dan Usmar Ismail sendiri. Salah satu sandiwara yang pernah sukses dipentaskan kelompok “Maya” adalah “Taufan di Atas Asia” gubahan El-Hakim atau Dr. Abu Hanifah. Saat naskah yang sama dipentaskan di Bandung “Maya” kembali “menuai” sukses besar.
Di dunia karang mengarang Usmar Ismail menulis kumpulan sajak “Puntung Berasap” yang diterbitkan Balai Pustaka. Ia juga menulis tiga buah buku lakon sadiwara yakni “Lakon-lakon Sandiwara Sedih dan Gembira (Balai Pustaka), “Mutiara dari Nusa Laut (Pusat kebudayaan) dan “Citra” (Gapura). Tatkala detik-detik menjelang kemerdekaan tiba, para pengarang beramai-ramai menyumbang gagasan tentang Indonesia merdeka. Usmar Ismail pun tak ketinggalan. Ia menulis “Menuju Hidup Baru” yang dimuat “Asia Raya”. Intinya bangsa Indonesia tak lagi terkungkung oleh hidup lama sebagai budak, tetapi telah memasuki hidup baru sebagai bangsa yang merdeka.
Pada awal kemerdekaan Kantor Pusat Kebudayaan dibekukan karena situasi politik yang tidak menentu. Sebagian anggota Pusat Kebudayaan lantas membentuk wadah bernama “Seniman Merdeka”. Kegiatannya berkeliling Jakarta, mengorbarkan semangat agar rakyat mempertahankan kemerdekaan. Di awal-awal kemerdekaan Indonesia Usmar Ismail sempat bekerja di Harian “Rakyat” pimpinan Sutan Mahmiri. Saat situasi Jakarta genting dan Ibukota Negara beralih ke Yogyakarta, Usmar Ismail bersama anggota “Seniman Merdeka” ikut pindah.
Di Yogya ia aktif di bidang kebudayaan, politik dan kemiliteran. Ia menjadi bagian dari Badan Inteligen. Pangkatnya Mayor dan berada di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Usmar Ismail juga diperbantukan di bagian Penerangan Tentara yang tugasnya memimpin Harian “Tentara” yang kemudian berganti nama menjadi “Patriot”. Selain itu juga merangkap sebagai pemimpin majalah “Arena” yang terbit di Yogyakarta. Di kota ini pula pada periode 1946-1947 ia dipercaya menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Kegiatan di bidang politik dan kemiliteran ini membuat Usmar Ismail harus berhadapan dengan Pemerintahan Hindia Belanda. Ia dituduh melakukan gerakan subversif sehingga dihukum tujuh bulan kurungan di Jakarta. Keluar dari penjara Usmar tak lagi ke Yogyakarta, tetapi ia bekerja pada "South Pacific Film Corporation”. Inilah untuk pertama kalinya ia berkecimpung di dunia film. Bersama kawan-kawannya ia lantas mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI). Badan usahanya berbentuk firma lantas berganti menjadi perseroan.
Seperti terinspirasi oleh sepak terjang Usmar Ismail, perusahaan film pun mulai menjamur di Indonesia, diantaranya Surya Film Trading dan Satria Drama Film. Akhirnya mereka membentuk persatuan dengan nama “Persatuan Produksi Film Negara (PPFN). Film pertama produksi PERFINI lahir pada tanggal 30 Maret 1950 berjudul “Long March” atau "Darah dan Doa” yang berkisah tentang perjalanan panjang Divisi Siliwangi. Usmar Ismail, sang kreator, menceritakan seorang anak Indonesia yang terlibat revolusi tetapi kemudian ia sendiri menjadi korban revolusi.
Pada tanggal 14 Oktober 1951 film kedua PERFINI lahir dengan judul “Enam Jam di Yogyakarta”, masih bertema sama mengangkat soal revolusi. Pada tahun 1951 Usmar Ismail berangkat ke Amerika Serikat (AS) untuk kepentingan tugas belajar di University of California”, memperdalam bidang sinematografi selama satu tahun. Sebelum berangkat ia telah berhasil meluncurkan film ketiganya berjudul “Dosa Tak Berampun”.
Sepulang dari AS ia kembali memimpin PERFINI, dan pada tahun 1953 film keempatnya “Krisis” mendapat sukses besar. Selama empat minggu nonstop film itu diputar di bioskop Metropole. Sampai dengan tahun 1955 sebanyak 22 judul film telah lahir dari tangan Usmar Ismail. Beberapa diantaranya meraih Piala Citra. Film yang mendapat hadiah komedi terbaik dalam Festival Film Asia (FFA) di Hongkong berjudul “Tamu Agung”. Tak hanya itu, dua filmnya meraih penghargaan untuk aktor terbaik berjudul “Pejuang” yang menang di Moskow dan “Asmara Dara” menang di Tokyo untuk aktris cilik terbaik.
Berkat reputasinya, pada tahun 1962 Usmar Ismail mendapatkan penghargaan “Piagam Wijaya Kusuma” dari Presiden Soekarno. Usmar Ismail memiliki andil besar dalam mengkader insan-insan berbakat di dunia film baik pemain, sutradara, penulis naskah. Mereka diantaranya Mieke Wijaya, Suzana (aktris wanita), Teguh Karya, Syumanjaya, Nya Abbas Acub (sutradara); Sumardjono, Kasim Abas (editor); Soekarno M Noer (penulis skenario) dan masih banyak lagi. Ia juga menjadi inisiator pendiri Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan Direktur Bank Kemakmuran (Bank Film).
Pada hari Sabtu, tanggal 2 Januari 1971 Usmar Ismail berpulang ke pangkuan Tuhan. Meninggal akibat pendarahan otak. Karyanya “Indonesia Tanah Kekasih” (cerpen, dimuat surat kabar “Asia Raya”). Sedangkan film-film karya Usmar Ismail antara lain: 1. “Harimau Campa”. 2. “Lewat Jam Malam”. 3. “The Big Village” (film ini dibuat berkat kerjasama dengan PT Sarinah Jaya dan Pemda DKI, mengingat pada tahun 1966-1969 PERFINI menghentikan semua kegiatan lantaran adanya penyusupan anggota PKI). 4. “Ananda” (film terakhir PERFINI yang mengorbitkan bintangnya Leny Marlina).
Dari berbagai sumber. Foto : urangminang
1 Komentar:
makasih mas telah muterin sejarah perfileman indonesia,,, bener baru tau nie,, salam kenal
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".