RWY LARASSUMBOGO, seorang Penabuh gendang dan pencipta gendhing-gendhing Jawa produktif. Alunan gendhing-gendhing ciptaanya masih dinikmati masyarakat sampai sekarang.
RWY Larassumbogo lahir tanggal 7 Juli 1884 di Yogyakarta, dengan nama R. Suharjo. Sejak kecil Suharjo menyukai seni karawitan yang ia tonton bersamaan dengan pertunjukkan wayang. Bahkan ia tak sekedar menjadi penonton. Jika penabuh gamelan ada yang absen, Suharjo menggantikan posisinya. Mula-mula ia belum mahir, tetapi lama-lama kemahirannya tak kalah jika disejajarkan dengan penabuh gamelan berpengalaman. Ia paling suka memukul gendang, karena itu Suharjo berlatih dan terus berlatih.
Pada usia belasan tahun pukulan gendangnya mampu menarik perhatian banyak orang, salah satunya Gusti Pangeran Tejokusumo. Pangeran itulah yang kemudian mengirim Suharjo kepada KRT Purbaningrat untuk meningkatkan kemahiran menabuh gendang. Suharjo terus berlatih baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Ia menjelma menjadi penabuh gendang piawai. Ia lantas magang menjadi pegawai kraton Yogyakarta. Dalam masa itu ia masih sering pergi berlatih memukul gendang di Surakarta terutama untuk meningkatkan kemampuan menggendang batangan sekaligus menggender.
Pada tahun 1904 Suharjo diangkat sebagai abdi dalem wiyaga punokawan dengan pangkat jajar dan mendapat nama Larassumbogo. Pada awalnya Larassumbogo belum diijinkan memegang gendang, kendati ia sangat menginginkannya. Ia baru diijinkan memegang gender dan gambang. Enam tahun kemudian, tahun 1910, cita-citanya tercapai. Larassumbogo diijinkan untuk menabuh gendang dan pangkatnya dinaikkan menjadi bekel anem. Ia diakui sebagai penabuh gendang terbaik.
Sejak itu order menambuh gendang di luar tembok kratonpun berdatangan. Waktu itu, ia sudah menikah dengan Sarijah, wanita Yogyakarta. Pada tahun 1917 pangkatnya naik menjadi bekel sepuh, dan pada tahun 1923 pangkatnya kembali naik menjadi lurah. Setahun kemudian ia bercerai dari istrinya Sarijah, dan pada tahun 1925 ia kembali menikah dengan Rr. Ujiah. Istri keduanya itu sangat mendukung kegiatan Larassumbogo, karena itu semangatnya berkerawitan kian menggebu-gebu.
Pada tahun 1934 Larassumbogo aktif mengisi acara di radio Mavro (Mataram vereniging voo radio mroep). Di masa penjajahan Jepang, semua radio yang berdiri pada masa penjajahan Belanda dihentikan, kemudian berdiri radio baru Hosok Yoku. Larassumbogo ikut bergabung. Pada masa kemerdekaan Larassumbogo bergabung dengan Radio Republik Indonesia Stasiun Yogyakarta.
Tak hanya sebatas mengudara di RRI. Larassumbogo juga berperan menabuh gamelan saat diadakan upacara hari kemerdekaan RI baik di Yogyakarta maupun di Istana Negara Jakarta. Larassumbogo pun mulai menciptakan gending-gending. Pada tahun 1953 buku berjudul “Titi Laras Gendhing Ageng Jilid I” diterbitkan oleh Noordhoff Kolf N.V. Jakarta. Buku itu berisi 30 gendhing slendro pathethem dan 61 gendhing pathet manyuro. Sejumlah 18 diantaranya adalah ciptaan Larassumbogo.
Pada tanggal 11 Oktober 1958 Larassumbogo meninggal dunia. Ia dikenang sebagai pencipta gendhing-gendhing gamelan Jawa produktif yang terus dinikmati pendengarnya hingga sekarang. Karya Gendhing-gendhing karya Larassumbogo antara lain: Gendhing Ngeksigondo, Ladrang Teguh Jiwa Slendro Pathet, Ngeksi Utomo, Ngeksi Ngastuti, Ngeksi Brangta, Mendes, Among-among, Tawang Puja, Mintasih, Jati Kumala, Madusari, Ngeksilaras, Ngeksi Winulyo Winduaji, Langen Suka, Hanjala Gita, Susila, Mandyalatri, Westminster, Teguh Jiwa, Ngeksi Ganda Westminster dan Winduaji.
Sumber utama : RWY Larassumbogo Karya dan Pengabdiannya oleh Moeljono (1984)
RWY Larassumbogo lahir tanggal 7 Juli 1884 di Yogyakarta, dengan nama R. Suharjo. Sejak kecil Suharjo menyukai seni karawitan yang ia tonton bersamaan dengan pertunjukkan wayang. Bahkan ia tak sekedar menjadi penonton. Jika penabuh gamelan ada yang absen, Suharjo menggantikan posisinya. Mula-mula ia belum mahir, tetapi lama-lama kemahirannya tak kalah jika disejajarkan dengan penabuh gamelan berpengalaman. Ia paling suka memukul gendang, karena itu Suharjo berlatih dan terus berlatih.
Pada usia belasan tahun pukulan gendangnya mampu menarik perhatian banyak orang, salah satunya Gusti Pangeran Tejokusumo. Pangeran itulah yang kemudian mengirim Suharjo kepada KRT Purbaningrat untuk meningkatkan kemahiran menabuh gendang. Suharjo terus berlatih baik di Yogyakarta maupun di Surakarta. Ia menjelma menjadi penabuh gendang piawai. Ia lantas magang menjadi pegawai kraton Yogyakarta. Dalam masa itu ia masih sering pergi berlatih memukul gendang di Surakarta terutama untuk meningkatkan kemampuan menggendang batangan sekaligus menggender.
Pada tahun 1904 Suharjo diangkat sebagai abdi dalem wiyaga punokawan dengan pangkat jajar dan mendapat nama Larassumbogo. Pada awalnya Larassumbogo belum diijinkan memegang gendang, kendati ia sangat menginginkannya. Ia baru diijinkan memegang gender dan gambang. Enam tahun kemudian, tahun 1910, cita-citanya tercapai. Larassumbogo diijinkan untuk menabuh gendang dan pangkatnya dinaikkan menjadi bekel anem. Ia diakui sebagai penabuh gendang terbaik.
Sejak itu order menambuh gendang di luar tembok kratonpun berdatangan. Waktu itu, ia sudah menikah dengan Sarijah, wanita Yogyakarta. Pada tahun 1917 pangkatnya naik menjadi bekel sepuh, dan pada tahun 1923 pangkatnya kembali naik menjadi lurah. Setahun kemudian ia bercerai dari istrinya Sarijah, dan pada tahun 1925 ia kembali menikah dengan Rr. Ujiah. Istri keduanya itu sangat mendukung kegiatan Larassumbogo, karena itu semangatnya berkerawitan kian menggebu-gebu.
Pada tahun 1934 Larassumbogo aktif mengisi acara di radio Mavro (Mataram vereniging voo radio mroep). Di masa penjajahan Jepang, semua radio yang berdiri pada masa penjajahan Belanda dihentikan, kemudian berdiri radio baru Hosok Yoku. Larassumbogo ikut bergabung. Pada masa kemerdekaan Larassumbogo bergabung dengan Radio Republik Indonesia Stasiun Yogyakarta.
Tak hanya sebatas mengudara di RRI. Larassumbogo juga berperan menabuh gamelan saat diadakan upacara hari kemerdekaan RI baik di Yogyakarta maupun di Istana Negara Jakarta. Larassumbogo pun mulai menciptakan gending-gending. Pada tahun 1953 buku berjudul “Titi Laras Gendhing Ageng Jilid I” diterbitkan oleh Noordhoff Kolf N.V. Jakarta. Buku itu berisi 30 gendhing slendro pathethem dan 61 gendhing pathet manyuro. Sejumlah 18 diantaranya adalah ciptaan Larassumbogo.
Pada tanggal 11 Oktober 1958 Larassumbogo meninggal dunia. Ia dikenang sebagai pencipta gendhing-gendhing gamelan Jawa produktif yang terus dinikmati pendengarnya hingga sekarang. Karya Gendhing-gendhing karya Larassumbogo antara lain: Gendhing Ngeksigondo, Ladrang Teguh Jiwa Slendro Pathet, Ngeksi Utomo, Ngeksi Ngastuti, Ngeksi Brangta, Mendes, Among-among, Tawang Puja, Mintasih, Jati Kumala, Madusari, Ngeksilaras, Ngeksi Winulyo Winduaji, Langen Suka, Hanjala Gita, Susila, Mandyalatri, Westminster, Teguh Jiwa, Ngeksi Ganda Westminster dan Winduaji.
Sumber utama : RWY Larassumbogo Karya dan Pengabdiannya oleh Moeljono (1984)
0 Komentar:
Posting Komentar
"Bila Anda berkenan, dengan segala kerendahan hati, saya mohon, sudilah menuliskan komentar di sini; Bagi Anda yang berniat Copas konten blog, saya persilahkan, dan tolong link balik diikutkan. Terima kasih, Love and Peace".